PRESIDEN DAN WAKIL BERBAGI TUGAS NAMUN BUKAN BERBAGI KEKUASAAN
Hubungan Operasional Menurut UUD
Prof. Padmo Wahjono SH dari FH-UI maupun Prof. Abdul Gani MS dari FH UNAIR (Universitas Airlangga) Surabaya tidak sependapat apabila fungsi lembaga kepresidenan sebagai satu dari lima lembaga tinggi negara diatur dalam UndangUndang atau TAP (Ketetapan) MPR sekalipun.
Hal ini dipertanyakan karena keempat lembaga tinggi negara lainnya yakni DPR, DPA, Bepeka dan MA (Mahkamah Agung) sudah diatur dengan UndangUndang (UU), sedang lembaga tinggi Presiden belum.
Di samping itu ada suara yang mengatakan lembaga Wakil Presiden secara operasional dapat ditingkatkan apabila untuk itu ada peraturan yang jelas hitam di atas putih.
Prof. Padmo Wahjono dalam wawancara khusus dengan "SH" baru-baru ini menandaskan, memang UUD-45 mengatur bahwa Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden dalam melakukan kewajibannya, hanya itu. Tidak diatur lebih lanjut bagaimana fungsi Wakil Presiden tersebut.
Mungkin para pembuat UUD-45 sudah memikirkan demikianlah sebaiknya, karena tidak mungkin fungsi kepresidenan itu dibagi dua. Namun demikian, apabila fungsi Wakil Presiden tsb mau diberikan juga silahkan. Tetapi jangan dengan UU atau merupakan upaya menambah, melengkapi atau mengurangi yang ada dalam UUD-45.
Lewat Konvensi
Ketika ditanya bagaimana sebaiknya, guru besar mata kuliah Pancasila dan Ilmu Negara itu berpendapat, kalau fungsi tsb mau diatur harus melalui hukum dasar tidak tertulis atau konvensi yaitu kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan yang timbul dalam praktek yang lama kelamaan menjadi mengikat. Jadi menurut guru besar itu yang bisa diatur dengan UU adalah pembentukannya. Sebab fungsi Presiden sudah diatur sepenuhnya dalam UUD-45.
Menjawab pertanyaan bagaimana pelaksanaan fungsi Presiden dan Wakil Presiden dalam suasana "Dwi Tunggal" Sukarno – Hatta, Prof. Padmo berpendapat sama saja dengan apa yang ada sekarang. Dan perlu diingat, "kedwi-tunggalan" dulu itu harus dilihat secara historis bukan yuridis, katanya menambahkan. Memang agak berbeda dengan yang sekarang. Sebab, waktu itu Bung Karno dan Bung Hatta bersama-sama menjadi pemegang mandat karena mereka berdua memproklamasikan kemerdekaan Indonesia atas nama seluruh rakyat.
Tetapi Presiden yang sekarang adalah hasil pemilihan MPR sebagai Mandataris sehingga pertanggungjawabannya adalah mandiri. Sedang Wakil Presiden bukan pemegang mandat selama Presiden dapat menjalankan tugas dan kewajibannya. Oleh karenanya, Wakil Presiden hanya sebagai pembantu. Jadi tidak perlu melakukan pertanggungjawaban walaupun ia dipilih dan diangkat oleh MPR.
Jabatan Protokoler
"Inilah beda antara Wakil Presiden dan Menteri yang menurut konstitusi adalah sama pembantu Presiden. Sebab Menteri tidak akan dapat menggantikan Presiden sekalipun Kepala Negara berhalangan tetap. Hak ini hanya ada pada Wakil Presiden sedangkan Wakil Presiden dalam kedudukan tidak menjadi pemegang mandat, tidak mempunyai fungsi pemerintahan," kata Padmo.
Ditambahkan, selama Presiden menjalankan fungsinya, Wakil Presiden adalah Wakil Kepala Negara, bukan Wakil Kepala Pemerintahan. Jadi Wakil Presiden tidak identik dengan Wakil Kepala Pemerintahan. Sedangkan Menteri bukan pembantu Kepala Negara, tetapi pembantu Kepala Pemerintahan, katanya memperjelas perbedaan penggunaan kata "pembantu" untuk Wakil Presiden dan Menteri dalam konstitusi.
Tetapi ditambahkan olehnya, fungsi Wakil Presiden akan berubah menjadi juga Kepala Pemerintahan apabila Presiden tidak dapat menjalankan tugasnya karena berhalangan tetap. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jabatan Wakil Presiden tsb adalah jabatan protokoler, bukan fungsional.
Sentral
Prof. Abdul Gani MS dari FH UNAIR dengan tegas mengatakan tidak mungkin diadakan pembagian kekuasaan antara Presiden dan Wakil Presiden. Pokoknya kekuasaan Presiden tidak bisa dibagi bagi, tegasnya. Sebab Presiden, menurut konstitusi, dalam hubungan kelangsungan kehidupan negara dan penyelenggaraan pemerintahan negara adalah sentral dan fundamental tidak pada lembaga negara lainnya.
Kalau toh keadaan memerlukan semacam mekanisme kerja antara Presiden dan Wakil Presiden, hal itu jangan diartikan dalam kerangka "pembagian kekuasaan".
"Saya cenderung menamakannya sebagai ‘pembagian tugas’ atau ‘pembagian pekerjaan’. Atau paling maksimal dalam bentuk "pelimpahan wewenang dan atau kekuasaan (delegation of power and I or authority)", tambahnya.
Diterangkan, melalui pelimpahan, wewenang asli dan seutuhnya tetap di tangan Presiden. Jadi tidak ada pengurangan atau pembagian-pembagian. Dan pelimpahan wewenang itu pun sekali-kali jangan dituangkan secara tertulis.
Jadi semacam kerjasama dalam pengertian saling percaya mempercayai. Berdasarkan kesepakatan berdua di atas landasan itikad baik yang kesemuanya mengarah kepada pelaksanaan tugas Presiden sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan.
Seperti halnya Prof. Padmo Wahjono, guru besar UNAIR itupun sependapat bahwa fungsi lembaga kepresidenan sebagai salah satu lembaga tinggi negara tidak perlu diatur dalam bentuk UU atau TAP MPR. Sebab, menurut guru besar tersebut, fungsi, wewenang, kekuasaan, kedudukan dan pertanggung jawaban Presiden sudah diatur dalam UUD 45. Dengan kata lain semua masalah itu sudah ditetapkan secara konstitusional selengkapnya
Wapres dan Menteri
Hal ini berbedadengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya seperti DPR, DPA, Bepeka dan MA. UUD memang mewajibkan pengaturannya melalui UU. Ketentuan inipun menjadi bukti betapa lembagakepresidenan tersebut mempunyai kedudukan tersendiri dalarn struktur ketatanegaraan kita dan menjadi titik sentral penyelenggaraan negara.
Tetapi kalau toh diperlukan pengaturan, Abdul Gani sependapat dengan Padmo Wahjono, seharusnya masalah tersebut tidak diatur secara tertulis tetapi berdasarkan konvensi atau hukum dasar yang tidak tertulis sepanjang tidak bertentangan dengan UUD dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dikatakan, secara konstitusional hubungan operasional antara Presiden dan Wakil Presiden memang tidak ada. Demikian juga halnya antara Wakil Presiden dan para Menteri. Masalahnya sekarang bagaimana caranya menciptakan hubungan operasional antara Wakil Presiden dan para Menteri. Hal itu hanya dapat dilakukan melalui daya pelimpahan wewenang dari Presiden kepada Wakil Presiden.
Melalui pelimpahan wewenang yang demikian maka Wakil Presiden akan mempunyai landasan formal dalam kerangka tugasnya memerintah dan menegor Menteri secara langsung. Tanpa pelimpahan wewenang seperti itu maka Wakil Presiden tidak punyahubungan formal secara langsung memerintah atau menegur para Menteri, demikian Prof. Abdul Gani MS.
Masalah hubungan formal dan operasional iuipun pemah diutarakan Wakil Presiden Adam Malik sesuai dengan pelimpahan tugas mengkoordinir pengawasan pembangunan oleh Presiden.
Hal itu merupakan isyarat perlunya ada semacam ‘juklak" (petunjuk pelaksanaan) karena Wakil Presiden dalarn struktur pemerintahan secara konstitusional pada hakekatnya tidak punya hubungan, operasional langsung dengan para Menteri. Kalau toh hal itu dilakukan, hanyalah melalui kekuatan pelimpahan wewenang dari Presiden. (DTS).
…
Jakarta, Sinar Harapan
Sumber: SINAR HARAPAN (24/12/1981)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 335-338.