PRESIDEN: DEMONSTRASI BOLEH, MERUSAK YANG DITINDAK TEGAS [1]
Jakarta, Antara
Presiden Soeharto menegaskan bahwa demonstrasi boleh saja sepanjang memiliki izin serta berjalan dengan baik, namun pemerintah akan menindak tegas demonstrasi yang merusak sesuai dengan hukum berlaku.
“Jadi yang ditindak sebenamya bukan demonstrasinya, yang ditindak secara hukum adalah kegiatan merusak seperti membakar yang kriminal itu,” tegas Kepala Negara dalam amanatnya kepada Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS) di Peternakan Tri-S, Tapos, Ciawi, Bogor, Jabar, Minggu.
Presiden mengingatkan bahwa demonstrasi apalagi yang menyangkut SARA dan merusak yang sudah dibangun merupakan tindakan melawan hukum. Kepala Negara mengingatkan pula bahwa demonstrasi yang membawa massa ratusan apalagi ribuan dan tidak memiliki ikatan disiplin akan sulit sekali dikendalikan. “Jangankan ribuan orang mengendalikan satu peleton saja susah,” tambah Presiden yang disambut tertawa hadirin.
Dalam acara yang diikuti 221 peserta alumni penerima beasiswa Supersemar yang tengah mengikuti latihan menjadi calon tenaga sukarelawan tenaga pendamping dalam program IDT itu, Kepala Negara menambahkan, demonstrasi yang merusak itu merugikan orang lain.
“Kita membangun bertahun-tahun lalu dirusak begitu saja, kapan makmurnya,” tambah Kepala Negara sambil tersenyum. Kepala Negara dalam pertemuan itu menegaskan pula bahwa “pembangunan politik itu sulit dan tidak kelihatan serta makan waktu lama”.
Namun, Kepala Negara menegaskan tidak benar anggapan yang menyatakan bahwa pembangunan politik dikorbankan untuk pembangunan ekonomi. Sejak awal Orde Baru, pembangunan politik telah dilaksanakan yaitu meningkatkan kesadaran warga negara mengenai hak dan kewajibannya dalam wadah negara Pancasila dan UUD 1945.
“Jadi, jangan hanya menuntut hak apalagi tuntutan itu di luar garis Pancasila dan UUD 1945. Sistem demokrasi kita jelas yaitu Demokrasi Pancasila,” tegas Kepala Negara.
Hak Prerogatif
Kepala Negara juga menegaskan bahwa menteri tidak bertanggungjawab kepada DPR dan keputusan penentuan dan pengunduran menteri merupakan hak prerogatif Presiden.
Jadi, tegas Kepala Negara, secara konstitusi salah jika DPR meminta menteri mundur. Keputusan itu berada di tangan Presiden dan hal tersebut diputuskan tanpa adanya tekanan pihak luar. Jika ada sistem yang berisikan menteri bertanggungjawab kepada parlemen maka berarti sistem itu mernpakan sistern di luar. “Tapi sesuai dengan konstitusi, kita tidak begitu,”tegas Presiden.
Mekanisme itu, tegas Kepala Negara, merupakan mekanisme nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus terus dipupuk. Kepala Negara menegaskan pula bahwa wawasan kebangsaan yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini, sebenarnya sudah jelas terpatri dalam Pancasila dan UUD 1945.”Kita tinggal mewujudkannya,”tambah Presiden.
Namun dalam upaya itu, tambah Presiden, masih ada yang kurang yakin terhadap Pancasila dan UUD 1945. Kelompok itu bahkan tidak percaya terhadap lembaga politik yang resmi. Mereka kemudian membentuk LSM yang menjadi semacam parlemen jalanan, kata Kepala Negara. “Ini namanya kan ngajak ‘bubrah’ (bongkar dan kacau-balau, Red),” kata Kepala Negara dalam acara yang dihadiri Meneg Perencanaan Pembangunan Nasional Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita. Anggota KMA-PBS yang mengikuti latihan menjadi calon sukarelawan tenaga pendamping itu seusai mengikuti latihan selama 45 hari akan bertugas di desa tertinggal selama tiga tahun di seluruh Indonesia. (T-EU03/15.00/DN06/16:58!RE2/ 5/06/9419:33)
Sumber: ANTARA (05/06/1994)
________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 68-69.