PRESIDEN DI AMERIKA SERIKAT

PRESIDEN DI AMERIKA SERIKAT

 

 

Jakarta, Merdeka

Presiden Soeharto beserta rombongan Senin malam telah bertolak ke New York, Amerika Serikat. Pada tanggal 8 Juni bersamaan dengan hari ulang tahunnya ke 68, Presiden Soeharto akan menerima penghargaan dari organisasi PBB suatu Population Award yaitu penghargaan di bidang kependudukan. Pada tanggal 9 Juni, hari Jumat menurut rencana di gedung Putih akan mengadakan pembicaraan dengan Presiden AS, George Bush.

Dari kantor berita Asing Selasa disiarkan bahwa pada pembicaraan dengan Presiden AS George Bush kemungkinan Presiden AS tadi akan kembali membicarakan masalah hak-hak asasi manusia. Tentunya disamping masalah-masalah hubungan bilateral dan internasional lainnya. Mengenai masalah bilateral diperlukan masalah hubungan ekonomi dan memperoleh tempat teratas dalam pembicaraan tersebut.

Hal itu tampak tersirat jelas, ketika Presiden Soeharto menerima surat-surat kepercayaan Dubes AS untuk Indonesia, Monjo belum lama berselang. Dimana masalah proteksionisme telah menjadi sorotan utama. Dalam pidatonya Dubes AS untuk Rl, John Monjo pada tanggal 31 Mei lalu menegaskan niat pemerintahan Bush untuk menolak suara yang bernada proteksionis dan menjarnin pasar Amerika tetap terbuka bagi barang-barang Indonesia.

Ini artinya setiap sorotan negara manapun kepada Indonesia yang menyangkut masalah hak-hak asasi manusia harus dikaitkan dengan falsafah bangsa kita sendiri. Tolok-ukumya harus selalu berlandaskan falsafah negara dan bangsa kita tadi. Dan sama sekali tidak tepat apabila dilandasi pola pemikiran falsafah atau bangsa lain.

Sebab setiap bangsa dimana pun mereka berada, niscaya memiliki kepribadian nasionalnya masing-masing. Pandangan hidup bangsa kita sudah jelas dan gamblang yakni Pancasila. Demokrasinya pun adalah demokrasi Pancasila. Jadi bukan sistim, demokrasi liberal maupun demokrasi totaliter. Dan ini semua merupakan kesepakatan nasional yang tidak seorang pun dapat merubahnya.

Oleh karena itu, apabila hal itu benar-benar menjadi pembicaraan Presiden Soeharto dengan Presiden George Bush pada hari Jumat sudah barang tentu segalanya akanjelas dan gamblang. Artinya sistim politik sosial, ekonomi Indonesia bagaimana pun tidak boleh terlepas dari dasar falsafah dan pandangan hidup bangsanya yakni Pancasila.

Kiranya kurang tepat, kalau masih ada sementara kalangan yang memandang sistim sosial politik bangsa Indonesia, termasuk didalamnya yang menyangkut masalah hak-hak asasi manusia mendasarkan pandangannya diluar kerangka sistim sosial politik Pancasila tadi. Masalah hak-hak asasi manusia merupakan suatu sub sistim yang tidak dapat terlepas dari sistim Pancasila itu sendiri.

Dengan mengakui adanya perbedaan pandangan seperti itu, kiranya hubungan bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat tidak akan mengalami hambatan dan berbagai kendala. Justru menumbuhkan sikap kemajemukan dalam melihat masyarakat internasional sekarang ini merupakan sesuatu yang dibutuhkan. Bukankah keterbukaan untuk menerima berbagai pandangan yang berbeda merupakan inti dari pada arti demokrasi yang sejati?

Dan sudah berulangkali dikemukakan oleh banyak tokoh dunia bahwa tak ada suatu model pemerintahan yang dapat dijadikan model universal. Setiap bangsa dan negara, niscaya merniliki kekhasannya sendiri. Setiap negara dan bangsa niscaya memiliki ciri-ciri kepribadian nasionalnya sendiri. Dan justru dalam kemajemukan itulah, kerjasarna yang saling menguntungkan, saling horrnat menghorrnati demi perdamaian dan kesejahteraan umat manusia diseluruh dunia akan terwujud.

 

 

Sumber : MERDEKA(07/06/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 182-183.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.