PRESIDEN DI DEPAN SIDANG PERTAMA MPR
Jangan membawa Perpecahan ke dalam Tubuh Bangsa
Pembangunan Tetap Pokok Masalah [1]
Jakarta, Angkatan Bersenjata
PRESIDEN Soeharto memesankan kepada MPR bahwa apapun putusan yang diambil, haluan negara apapun yang akan ditetapkan. Bangsa Indonesia haruslah tetap bangsa Indonesia, Indonesia akan tetap Indonesia apabila pandangan hidupnya, nilai2 hidup yang dianggap luhur, cita2 masa depan depannya serta azas dan sendi tata hidup bangsa dan Negaranya tetap tidak berubah dari apa yang lahir bersama-sama Kemerdekaannya.
Ini berarti harus tetap dipertahankannya Pancasila dan UUD 1945 pada jiwa bangsa kita, soal tegak atau runtuhnya Bangsa ini. Apabila demikian perjalanannya maka membicarakan lagi Pancasila dan UUD 1945 bukan saja tidak perlu malahan mungkin membawa perpecahan dari dalam.
Dalam hal inipun kita jangan mengulangi kekeliruan yang sama seperti yang telah diperbuat oleh Dewan Konstituante dahulu yang hampir menyeret Bangsa kita ke jurang kehancuran, kata Presiden.
Upacara peresmian 920 Anggota MPR itu berjalan dengan sangat lancar. Yang diperkirakan memakan waktu 4 jam 40 menit ternyata hanya 2 jam saja sehingga 100 menit lebih cepat dari rencana. Tampak hadir dalam upacara tersebut para Menteri Kabinet Pembangunan yang tidak menjadi anggota MPR, Ketua DPA, para Anggota Corps Diplomatik dan undangan lainnya. Acara dimulai jam 10.00 selesai jam 12.00 WIB.
Luwes dan Modern
Presiden selanjutnya menandaskan bahwa UUD 1945 yang singkat itu cukup luwes dan mencerminkan sifat UUD negara yang modern. Justru hanya mengarahkan disempurnakan oleh Badan Pekerja yang akan dibentuk oleh sidang MPR ini, sehingga siap dibicarakan dan disyahkan oleh Sidang MPR bulan Maret tahun 1978 nanti.
Pimpinan MPR
Tugas dan wewenang MPR menurut Presiden Soeharto adalah sepenuhnya berada ditangan Majelis sebagai satu kesatuan, tidak mungkin dilimpahkan kepada Pimpinan Majelis atau badan2 yang dibentuknya. Justeru karena wewenang yang hampir dapat dikatakan tidak terbatas dari Majelis, maka prinsip yang demikian perlu ditegaskan, katanya.
Karena alasan tadi, ditambah pula dengan pertimbangan untuk mencegah timbulnya kesimpang siuran tata hubungan antara Lembaga2 Negara Tertinggi, maka kiranya menurut Presiden cukup alasan apabila ditetapkan bahwa Pimpinan Majelis tidak melembaga.
Artinya Pimpinan Majelis ini ada dan berfungsi hanya selama persidangan saja. Atau dengan perkataan lain, Pimpinan Majelis tidak perlu ada selama tidak mengadakan persidangan, kata Presiden.
Selanjutnya dikatakan karena pengawasan yang terus menerus terhadap pelaksanaan Haluan Negara dilakukan oleh DPR, maka sudah sewajarnya apabila Pimpinan Dewan memahami benar segala kebijaksanaan dan tindakan Presiden dalam melaksanakan Haluan Negara tadi. Hal yang demikian itu, menurut Pak Harto sangat diperlukan oleh Pimpinan Majelis dalam persidangan untuk menilai atau meminta pertanggungan jawab Presiden.
Untuk memahami hal itu, disarankan oleh Presiden kiranya akan tepat apabila Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan menjadi Pimpinan Majelis sedangkan untuk mencerminkan terwakilinya unsur Daerah dalam pengamanan, maka seorang wakil dari Daerah dapat ditetapkan pula menjadi salah seorang Wakil Ketua Majelis, demikian Presiden.
Itu bahwa: Orde Baru pada hakekatnya adalah suatu sikap mental. Tujuannya ialah menciptakan kehidupan sosial, politik, ekonomi, kulturil yang dijiwai oleh moral Panca Sila, khususnya oleh Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian Dr. AH. Nasution.
Sejarah Lahirnya Orde Baru
Mengungkapkan kembali peristiwa hitam 7 tahun yg lalu. Ketua MPRS menunjuk kesimpulan Seminar AD. Bahwa hal2 yang menyebabkan dan memungkinkan tragedi 30 September’ 65 adalah suatu periode yang penuh dengan penyelewengan UUD ‘ 45 dan kedaulatan rakyat dimana petualang2 ala Durno mudah bersemi.
Penonjolan secara berlebih-lebihan mitos revolusi pada waktu itu telah menyebabkan pemusatan segala kekuasaan negara disatu tangan: Pemerintahan pribadi. Alat khususnya ialah intel BPI yang memorodasir fitnah2 terhadap lawan2 politiknya, serta dana2 khusus non budgetair dsb. Moralnya ialah tujuan menghalalkan segala cara, sedang politiknya ialah pemusnahan dan monopoli kekuasaan. Kondisi tsb digunakan oleh PKI dengan agitasi “kabir setan desa” dsb.
Pola serangannya ialah seperti yang mereka lakukan ditahun ’48 di Madiun membunuh inti pimpinan tentara lalu mengoper pimpinan AD dan dengan basis ini menegakkan kekuasaan politik berbentuk Dewan Revolusi sebagaimana pengakuan Supardjo bahwa 1 Oktober pagi Senko pindah Ke MBAD. Jenderal2 Menteri dipanggil bagi2 tenaga. . . !
Tapi rencana mereka tidak seluruhnya berhasil Pankostrad bertindak sebagai pimpinan AD menurut Standing Order AD Pangdam V Jaya bertindak pula besoknya Pangal dan Pangak mendukung tindakan2 AD. Setelah kenyataan2 tsb sesuai pola siasat tadi maka pimpinan operasi G30S menghadap Presiden dan Presiden mengumumkan bahwa beliau mengoper langsung pimpinan AD dan menunjuk calon G30S sebagai care takernya. Tak bisa lagi kita pertahankan bersama legalitas Pimpinan AD sesuai Standing Order AD. Akhirnya dengan penemuan dokumen Latief tokoh G30S, Presiden terpaksa merobah keputusannya.
Pihak sana lalu memperbaiki siasat, yaitu defensif aktif untuk mematangkan kontra offensif. Polanya ialah jangan gontok2an demi penyelesaian politik, membentuk panitya negara menyelidiki tindakan tokoh2 G30S. Puncaknya ialah membela Presiden terhadap katanya pendongkelan oleh Nekolim. Demikian Jenderal Nasution yang selanjutnya mengatakan bahwa sebenarnya minggu kedua setelah G30S meletus, oleh Hankam dengan tertulis telah diajukan 5 pasal penyelesaian kepada Presiden, yakni pengangkatan Pangad definitif. Yakni Pangkostrad, retooling pimpinan AURI pengadilan militer PENPRES 7 terhadap partai tersangkut dan penertiban badan2 intel untuk meniadakan iklim fitnah tapi ditolak oleh Presiden.
Dualisme pimpinan melarut-larutkan penyelesaian sehingga terjadi pembunuhan2 akibat kondisi2 lokal. Akhirnya pendobrakan terhadap impassa datang dari aksi Tritura Mahasiswa dengan kerja sama berbagai satuan serta tokoh2 TNI yang meningkatkan suasana, hingga Presiden tak mampu lagi menguasai keadaan dan mengeluarkan Supersemar, menjadi wujud ibu tenaga Orde Baru. Yang dikokohkan oleh MPRS dan dinyatakan berlaku sampai terbentuknya MPR hasil Pemilu.
Dengan uraian itu Ketua MPRS mengajak kita lebih merasakan dan menyadari lagi keadaan proloog yang menyebabkan dan memungkinkan pengkhianatan Lubang Buaya, merasakan dan menyadari kembali pertarungan kita membela ke-Pancasilaan Republik dan ke Saptamargaan AD.
Dengan demikian maka menurut Jenderal Nasution reaksi kita terhadap kegagalan G30S tersebut ialah koreksi total, dengan moral menegakkan kebenaran dan keadilan. dan konsekwen terhadap UUD ‘ 45. Moral dgn kembali bertaqwa kepada Tuhan dan setia kepada Pancasila UUD’ 45 sebagaimana dalam ketentuan2 TAP2 MPRS, bahwa untuk jabatan2 negara yang penting seperti Menteri, calon dalam pemilu dsb dipersyaratkan pertama2 ketaqwaan kepada Tuhan YME dan kedua kesetiaan kepada Pancasila/ UUD’ 45. (DTS)
Sumber: ANGKATAN BERSENJATA (02/10/1972)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku III (1972-1975), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 1-4.