PRESIDEN: EGOISME SEKTORAL BIROKRAT HARUS DIHAPUS

PRESIDEN: EGOISME SEKTORAL BIROKRAT HARUS DIHAPUS[1]

Jakarta, Suara Karya

Presiden Soeharto minta agar sifat egoisme sektoral di kalangan birokrat, yakni sifat setiap instansi atau pejabat merasa bahwa dirinya yang paling berkepentingan, harus dihapuskan.

“Birokrat itu harus mengetahui bahwa pekerjaannya sangat terkait dengan kewenangan dan pekerjaan yang lain, karena itu para birokrat harus berpikir secara integratif, “kata Kepala Negara, Rabu, seperti yang dikutip Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Sarwono Kusumaatmadja didampingi Ketua Lembaga Administrasi Negara (LAN) JB Kristiadi.

Menurut Menpan, sifat egois sektoral itu masih banyak ditemui di kalangan birokrat bahkan masalah merupakan hal yang kompleks, karena ada hubungannya dengan fakta bahwa birokrasi di sini sangat berlebihan dalam menjalankan sistem, sehingga menirnbulkan tumpang tindih kewenangan. “Jadi ada beberapa jabatan yang mempunyai kewenangan yang mirip, dan masing-masing merasa dialah yang paling berwenang,” katanya.

Sifat egois sektoral ini, menurut Menpan, hanya bisa dipecahkan melalui perampingan birokrasi dan menciptakan komunikasi. Dengan demikian, satu kebijakan bukan dengan sendirinya keluar begitu saja, tapi ada latar belakangnya.

”Ada yang ingin dituntut dengan dikeluarkannya kebijakan itu, sudah barang tentu satu kebijakan tidak pemah dikeluarkan untuk memperkuat kewenangan  pejabat, ” katanya.

Sebenarnya, menurut Sarwono, suatu kebijakan dikeluarkan untuk memecahkan persoalan, tapi karena komunikasi tidak lancar seringkali pejabat menyangka satu kebijakan ditujukan untuk memperkuat kewenangan dia saja.

Menpan menyebutkan, selain persoalan komunikasi dan organisasi, hal lain yang perlu dimiliki adalah wawasan, karena wawasan aparatur saat ini lebih banyak memikirkan sebagai abdi negara. “Jadi dengan pola pikir yang demikian ini, maka yang keluar adalah kesadaran kekuasaan untuk mengikis mental semacam itu maka perlu diimbangi dengan kesadaran yang lebih besar tentang posisi aparatur sebagai abdi masyarakat, sehingga akan tumbuh kesadaran pelayanan.”

Langkah awal yang ditempuh, lanjut Menpan, adalah melalui pendidikan dan latihan yang sekaligus terkait dengan karir, sehingga seseorang tidak akan bisa mencapai jenjang lebih tinggi jika tidak mengikuti pendidikan Sekolah Staf Pimpinan dan Administrasi (Sespa).

Menpan dan Ketua LAN dalam pertemuan dengan Kepala Negara juga melaporkan kegiatan yang dilakukan LAN, sebagai tindak-lanjut dari berbagai instruksi Presiden, yakni berupa kegiatan pendidikan latihan dan komunikasi. Dengan demikian diklat itu dirasakan perlu dikaitkan dengan karir.

Dengan demikian, kata Sarwono, setiap pejabat calon pejabat eselon II terlebih dulu harus mengikuti pendidikan Sespa yang sudah dilakukan dua angkatan. Pada angkatan terdahulu, keikutsertaan seseorang di dalam pendidikan Sespa tidak dikaitkan dengan promosi, tapi sekarang pendidikan itu dikaitkan. “Selain itu, karena pemerintah sudah banyak menelorkan kebijakan baru maka dirasa perlu mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan tersebut bukan hanya diantara pejabat pemerintah, tapi juga di kalangan masyarakat, termasuk penugasan dari Presiden dan inisiatif sendiri,” kata Menpan.

Swadana

Menpan juga melaporkan tindak lanjut Keppres No.38/19yi tentang Unit Swadana. “Dengan adanya Keppres itu dimaksudkan agar untuk pelaksana teknis pada saatnya nanti tidak akan membebani APBN dalam operasionalnya, jadi mereka harus bisa mandiri karena mereka menyediakan pelayanan-pelayanan yang ada tarifnya, “katanya.

Dengan kemandirian itu, kata Menpan, mereka bisa memberikan pelayanan murah, cepat dan bermutu, berdasarkan pengalaman hal itu bisa dilakukan, dua instansi yang antusias mengenai hal itu Depkes dan Departemen Pertambangan dan Energi. “Selain itu yang masih perlu penelitian mendalam adalah usulan-usulan dari Departemen PU, “ujar Sarwono.

Menpan menyebutkan, dengan mandirinya unit pelaksana teknis ketiga departemen itu masyarakat tidak perlu khawatir akan terkena beban berat karena unit pelaksana teknisnya berbeda dengan swasta. (A-6)

Sumber: SUARAKARYA(13 /08/1992)

___________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 598-599.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.