PRESIDEN: JANGAN DEWAKAN MATERI DAN LUPA AGAMA [1]
Jakarta, Kompas
Presiden Soeharto menekankan lagi agar bangsa Indonesia tidak mendewa dewakan materi, tapi mampu menjaga keseimbangan kehidupan spirituil dan materi. Para ulama punya peranan utama dalam menyeimbangkan kedua hal itu.
“Bagi orang yang memegang agama, sangat penting mencapai keseimbangan hidup antara lahir, batin, material, spiritual, dunia, dan akhirat,”kata Kepala Negara saat bersilaturahmi dengan sekitar 78 ulama se-Jawa Barat di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (15/9).
Usai bersilaturahmi dan shalat di Masjid Istana, para ulama Jawa Barat mengadakan silaturahmi dengan Wakil Presiden Try Sutrisno di Istana Merdeka Selatan. Dalam kesempatan ini, Wapres antara lain mengharapkan agar bangsa Indonesia terus bekerja keras untuk kesejahteraan dan kemajuan seluruh bangsa . Pekan lalu, para ulama se Jawa Timur juga bersilahturahmi dengan Presiden dan Wapres.
Kepada para ulama Jabar, Presiden menekankan, agar selalu memanfaatkan dan meningkatkan kecintaan kepada tanah air.
“Dan ternyata juga bahwasanya, dalam 50 tahun ini banyak hal telah kita Iakukan, dan kita hasilkan yang semata-mata karena ridho Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi, tentunya belum semua yang bisa dicapai,” kata Kepala Negara.
Menurut Kepala Negara,hingga saat ini Indonesia masih belum mampu mengatasi masalah kemiskinan, atau mengentaskan sekitar 26 juta warga yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
“Rakyat kita masih hidup di bawah garis kemiskinan, karena itu menjadi tantangan kita untuk mengatasi dalam pelita berikutnya , dari Pelita VI sampai nanti Pelita X. Dan mudah-mudahan dengan Pelita VI ini saja, sisa penduduk yang masih hidup dibawah garis kemiskinan ini bisa kita angkat ,” lanjut Presiden. Hal itu di antaranya bisa dilakukan dengan program IDT dari partisipasi seluruh masyarakat.
Tak Hanya Materi
Walau begitu, Presiden menekankan, pentingnya menyeimbangkan hidup. Dalam arti, masalah kemiskinan tidak hanya memerlukan bantuan materi, tetapi sekaligus dorongan spiritual. Sektor ini, memerlukan peranan utama para ulama.
“Dan yang penting , yang sudah kita lakukan, kita tidak hanya ingin secara material tetapi juga dorongan spiritual, lha inilah peranan bagi para ulama. Lebih-lebih bagi mereka yang belum terangkat ini. Kalau imannya itu tidak kuat barangkali akan meninggalkan ketakwaannya. Satu-satunya yang memegang peranan hanyalah ulama,” tegas Kepala Negara.
Namun, Presiden mengingatkan, agar para ulama tidak hanya mendorong kelompok miskin, tetapi juga kelompok yang sudah berhasil. “Jangan sampai lantas lupa daratan, hanya mendewa -dewakan material saja, tapi lantas kemudian lupa kepada kehidupan agamanya, lupa pada bekalnya nanti di akhirat nanti ditanyakan, apakah hanya menuruti nafsunya di dunia saja,”kata Kepala Negara. Presiden juga menekankan kernbali pentingnya kesatuan dan persatuan. Menurut Kepala Negara, tanpa kedua faktor itu, tidak akan terjadi stabilitas nasional. “Kesatuan dan persatuan ini menentukan stabilitas nasional, dan stabilitas nasional memungkinkan kita membangun. Ada pembangunan, ada pertumbuhan, kalau ada pertumbuhan berarti kita ada kemampuan untuk memperbarui hidup ,”kata Kepala negara. Kepala Negara melanjutkan bahwa cita-cita bangsa Indonesia adalah masyarakat adil dan makmur. “Makmur baru adil, adil baru makmur, kalau cuma adil itu gampang, ya to. Mudah. Membagi kemelaratan itu yang berat, adil, tapi melarat. Tapi embel embel makmurnya itu yang susah, tidak bisa dicapai sekaligus. Tapi kalau adil dalam kemelaratan ya bagaimana …..,”ujar Presiden lagi. Usai berdialog, pertemuan yang berlangsung sekitar setengahjam itu dilanjutkan dengan foto bersama di tangga depan gedung Istana Merdeka.
Sumber :KOMPAS ( 16/09/1995)
__________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 526-528.