PRESIDEN: KEPENDUDUKAN TETAP MERUPAKAN MASALAH BESAR

PRESIDEN: KEPENDUDUKAN TETAP MERUPAKAN MASALAH BESAR[1]

Jakarta, Kompas

Presiden Soeharto mengingatkan kependudukan tetap merupakan masalah besar sebab tingkat pertumbuhan penduduk masih cukup tinggi, persebarannya belum merata, dan kualitasnya masih harus ditingkatkan.

“Jika dalam Repelita VI nanti pembangunan kependudukan kurang berhasil, maka beban pembangunan nasional di masa datang akan bertambah berat lagi. Karena itu, penanganan masalah kependudukan perlu diperluas lagi dengan meningkatkan kualitasnya, mengarahkan mobilitas serta menjaga dampaknya terhadap lingkungan hidup dan pembangunan itu sendiri.”

Demikiah pesan Kepala Negara pada peringatan Hari Kependudukan sedunia dan peresmian pembukaan Konferensi Kependudukan Indonesia 1993 di Istana Negara Jakarta Selasa (13/7).

Meskipun demikian, Presiden juga mencatat sejumlah keberhasilan. Pada saat mulai melaksanakan pembangunan, penduduk Indonesia 120 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,3 persen. Dewasa ini jumlah penduduk 185 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan sekitar 1,6 persen. Kualitas pendudukpun bertambah baik.

“Dapat dibayangkan betapa besarnya masalah yang harus dihadapi jika dalam melaksanakan pembangunan selama ini tidak berhasil menangani masalah kependudukan. Pertumbuhan ekonomi nasional akan tersendat, peningkatan kesejahteraan masyarakat akan terhambat, lingkungan hidup lebih buruk, “tutur Presiden.

Sangat Timpang

Persebaran penduduk yang sangat timpang dewasa ini juga merupakan masalah yang memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh. Kenyataan ini, menurut Presiden, mengharuskan semua pihak untuk mengembangkan strategi kependudukan terpadu yang mendorong tercapainya persebaran penduduk yang seimbang dan pemerataan sumber daya manusia seluruh wilayah tanah air.

Kepala Negara menekankan, salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembangunan di masa datang adalah meningkatnya jumlah penduduk produktif, yang pada akhir Repelita VI diperkirakan mencapai 125 juta orang.

Penduduk yang berusia 15-60 tahun tersebut tidak saja memerlukan pangan, sandang, papan, pendidikan, pelayanan kesehatan dan seterusnya, tetapi juga berada dalam usia yang produktif dan fisiknya masih kuat danpikirannya masih segar. Mereka adalah penggerak utama pembangunan.

“Karena itu kita harus dapat membina dan sekaligus memanfaatkan potensi penduduk kita itu sesuai dengan semangat, keahlian, keterampilan dan keinginannya bagi pembangunan,”sambung Kepala Negara.

Hal penting lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah meningkatnya harapan hidup penduduk Indonesia. Dengan meningkatnya harapan hidup, jumlah penduduk yang berusia lanjut bertambah besar. Banyak di antara mereka yang masih produktif, yang dapat memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi pembangunan. Sementara yang lemah fisik dan terbatas kemampuannya perlu memperoleh pelayanan yang dapat meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraannya.

Kepala Negara mengingatkan, makin terkendalinya tingkat kelahiran dan bertambah baiknya pendidikan menyebabkan meningkatnya jumlah wanita yang memasuki pasar kerja, sehingga perlu disediakan lapangan kerja yang sesuai dengan pendidikan  dan keterampilannya.

Berkat  Komitmen

Menteri Kependudukan  Kepala BKKBN Haryono Suyono dalam laporannya menyatakan, selama 20 tahun terakhir tingkat kelahiran dapat diturunkan hampir 50 persen, tingkat kematian bayi 60 persen, angka buta huruf menurun drastis, dan usia harapan hidup melonjak melebihi angka 60 tahun.

Akibat “baby boom” tahun 1960 dan 1970-an, serta kemajuan pendidikan dan kesehatan, katanya, pada tahun 1990-an terjadi ledakan angkatan kerja baru yang terdiri dari pria dan wanita yang tingkat pendidikannya makin tinggi. “Usaha mengembangkan suasana yang kondusif penting agar mereka memperoleh dukungan, suasana dan kesempatan,” katanya.

Kepada Presiden dilaporkan juga rencana pertemuan para ahli kependudukan tingkat negara-negara Non Blok di Bali 19-21 Juli, menyongsong diselenggarakannya Konferensi Kependudukan Dunia September mendatang di Cairo.

Bukan Belas Kasihan

Pada kesempatan lain, setelah Menteri/Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasrnita bertemu Presiden di Istana Merdeka hari Selasa, ia menegaskan bahwa program untuk mengentaskan kemiskinan bukan merupakan “pesta belas kasihan” dari pemerintah atau orang kaya terhadap orang miskin.

“Program pengentasan kemiskinan, lebih menekankan pada upaya memandirikan rakyat miskin agar mereka mampu berusaha mencari nafkah,” kata Ginanjar. Hal ini menjawab pertanyaan wartawan mengenai kemungkinan ada tumpang tindih antara program pengentasan kemiskinan dengan program Departemen Sosial yang juga banyak memberikan bantuan material.

“Program pengentasan kemiskinan ini merupakan Inpres dan harus mencakup semua instansi. Sedangkan Depsos menangani masalah yang rentan,” ujar Ginandjar. Meski kegiatan pengentasan kerniskinan ini adalah masalah sosial, sambungnya, tetapi jangan menjadi proyek sosial sehingga seolah-olah mereka hanya sebagai penerima atau penandatangan.

“Kita harus memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengentaskan diri dari kemiskinan. Jadi oleh dirinya sendiri, bukan oleh orang lain. Kita mengembangkan kemampuan dan swadaya masyarakat untuk dapat mengentaskan diri dari kemiskinan,”tutur Ginandjar.

Untuk itulah, tambahnya, pemerintah menciptakan Inpres untuk desa rniskin yang akan dimulai pada tahun anggaran 1994/ 1995 sebagai perangsang bagi desa miskin itu untuk berusaha. Dalam kaitan ini dibutuhkan mekanisme pengawasan sehingga dana itu nanti benar-benar sampai ke desa secara utuh.

Sementara itu dalam acara Konperensi Kependudukan Indonesia, Selasa (13/7) di Jakarta, Ginanjar juga menyatakan, akhir bulan Juli ini akan diselesaikan data mutakhir mengenai profil penduduk miskin termasuk peta kemiskinannya. Profil rumah tangga dan wilayah miskin ini akan mengindikasikan bagaimana penanggulangan kemiskinan di pedesaan, dan perkotaan yang berbeda, sehingga programnya dapat disusun sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.

Menurut Ginanjar, diharapkan dalam PJPT II masalah kemiskinan absolut sebagian besar sudah dapat diselesaikan. Namun ia mengingatkan, kebijaksanaan umum yang bersifat sektoral maupun regional mungkin tidak dapat mengurangi jumlah penduduk miskin secepat seperti di masa lalu (PJPT I). Kebijaksanaan yang berlaku umum akan menjadi kurang efektif, dan peran utamanya harus digantikan dengan kebijaksanaan  khusus yang langsung ditujukan kepada dan untuk penduduk miskin.

Sumber: KOMPAS (14/07/1993)

___________________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 161-163.

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.