PRESIDEN: KEPENTINGAN PETANI PANGKAL TOLAK PENERTIBAN MASALAH TANAH PERTANIAN
Masalah tanah pertanian harus diperhatikan secara sungguh-sungguh untuk menggairahkan peranan kaum tani dalam pembangunan. Demikian ditegaskan oleh Presiden Soeharto ketika menerima peserta Musyawarah Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) di Istana Negara, Sabtu pagi.
Di depan 610 peserta musyawarah nasional HKTI yang berasal dari 266 cabang organisasi itu, Kepala Negara menyatakan bahwa penertiban masalah tanah pertanian ini merupakan masalah pokok yang sangat strategis dalam usaha meningkatkan taraf hidup petani.
"Kita harus bersikap tegas" kata Presiden, "bahwa tanah pertanian harus digunakan sesuai dengan fungsinya dan memberikan manfaat yang wajar bagi petani".
Menurut Kepala Negara penertiban masalah tanah pertanian menyangkut masalah penataan kembali penggunaan penguasaan dan pemilikan tanah seperti ditegaskan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Masalah ini juga menyangkut pemindahan penduduk dari daerah yang sudah padat ke daerah-daerah yang masih jarang penduduknya.
Pertumbuhan Penduduk Setempat
Lebih Ianjut Presiden Soeharto mengemukakan bahwa transmigrasi tidak dilihat hanya sebagai masalah pemindahan penduduk dari daerah padat ke daerah yang kekurangan penduduk, tetapi dikaitkan dengan pembangunan regional secara keseluruhan.
Menurut Presiden, penduduk setempat yang berdekatan dengan lokasi transmigrasi juga harus memperoleh keuntungan dan pertumbuhan. Oleh Kepala Negara dimintakan perhatian bahwa karena transmigrasi merupakan faktor dalam pembangunan regional maka harus terpelihara dengan sebaik-baiknya keselarasan di bidang ekonomi, sosial dan budaya antara penduduk baru dan penduduk lama.
Dalam hal irti, oleh Presiden diharapkan agar HKTI dapat berperan dalam memelihara kerukunan antara petani pendatang dan petani setempat.
Menurut Presiden, pembinaan kerukunan merupakan salah satu cita-cita yang menjiwai organisasi ini.Lebih-lebih dalam Repelita III, peranan dan tugas HKTI akan sangat besar karena, demikian kata Presiden dalam periode lima tahun itu akan diusahakan peningkatan produksi pangan untuk mencukupi kebutuhan menuju swasembada pangan sekaligus meningkatkan gizi masyarakat.
Dikatakan oleh Presiden bahwa selamaRepelita III akan ditingkatkan pula ekspor disamping pengurangan impor pertanian. Juga akan diusahakan peningkatan hasil-hasil pertanian yang diperlukan industri, pemeliharaan kelestarian sumber alam dan lingkungan hidup serta pertumbuhan pembangunan pedesaan secara terpadu dalam rangka pembangunan daerah.
Sebagian Besar Petani
Disamping itu Presiden menyatakan bahwa pembangunan nasional harus melibatkan dan memperhatikan petani, karena Indonesia merupakan negara agraris dah sebagian besar bangsa Indonesia adalah petani. Itulah sebabnya, menurut Presiden, mengapa titik berat pembangunan nasional tetap pada pembangunan sektor pertanian.
Dalam GBHN digariskan bahwa titik berat Repelita III tetap sektor pertanian, di samping meningkatkan sector industri yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi.
Dalam jangka panjang, masyarakat modern yang akan dibangun di Indonesia harus berupa masyarakat dengan industri yang kuat. Tapi kemajuan industri bagi Indonesia yang besar jumlah penduduknya hanya akan kuat bila didukung oleh bidang pertanian yang tangguh. Karena itu peranan pertanian dalam pembangunan harus tetap ditingkatkan.
Oleh karena itu pula peranan organisasi profesi seperti HKTI sangat penting arti dan peranannya. Tapi menurut Presiden, yang terpenting ialah agar melalui HKTI petani diikutsertakan dalam membicarakan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan mereka.
Selanjutnya, oleh Presiden diingatkan jangan sampai HKTI terlibat dalam perbedaan sikap politik. HKTI harus menjadi perekat dan perukun masyarakat yang berbeda paham dan organisasi politiknya. Sasaran utama HKTI haruslah sektor pertanian dan petani.
Hasil Munas Pertama HKTI
Sebelumnya Ketua Umum HKTI Martono menyampaikan hasil Munas Pertama kepada Presiden Soeharto. Dari hasil Munas HKTI itu antara lain disebutkan, pemilikan atau pengusaha tanah pertanian menunjukkan ketimpangan dan ketidakadilan. Skala tanah garapan sebagai modal produksi yang digunakan untuk menentukan tingkat pendapatan rata-rata, terlalu kecil dan berkeping-keping.
Menurut kesimpulan Munas HKTI ini, pemindahan hak atas tanah tidak terkontrol, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Terdapat penyimpangan yang merajalela dalam pelaksanaan UUPA tahun 1960, khususnya UU No. 56 tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian.
Selain itu banyak pula terjadi pelanggaran temadap UU landre form yang menyolok dan sudah makin terasa memberatkan petani gurem, terutama mengenai Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1960 tentang redistribusi tanah dan UU No.2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi-hasil.
Disebutkan bahwa sejak tahun 1969/1970 telah berlangsung proses pemusatan pemilikan atau penguasaan tanah baik di kota maupun di desa. Penguasaan tanah secara guntai oleh orang kota ataupun penggunaannya untuk bangunan gedung peristirahatan dan untuk hal-hal yang tidak produktif, merupakan pemborosan pengurasan sosial ekonomi pedesaan.
Sejak tahun 1970/1971 land reform tidak lagi didukung oleh dana APBN, sehingga sebagian besar ganti-rugi atas tanah yang menjadi obyeknya belum dilunasi.
Selain itu terdapat pula kelemahan dalam organisasi land reform dan administrasi pertanahan. Berbagai bentuk ketimpangan dan penyimpangan dalam penguasaan tanah menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
"Rata-rata kaum tani dan penduduk kota yang lemah ekonominya belum menikmati pemerataan dan keadilan dalam rangka penggunaan tanah sebagai sumber kemakmuran rakyat," kata pernyataan HKTI.
Dalam hubungan ini HKTI berpendapat bahwa petani kecil dan penduduk ekonomi lemah di kota perlu dijamin dan dilindungi haknya atas tanah untuk menghadapi ketamakan kaum bermodal dan spekulan. Untuk itu, land reform harus dilakukan secara konsekwen. Karena ini merupakan kunci berhasilnya pembangunan pertanian dan pedesaan, peningkatan produksi serta peningkatan pendapatan petani.
Musyawarah Nasional I HKTI yang berlangsung dari 13-17 Februari diikuti oleh 620 peserta, yang terdiri dari 45 orang dari DPP HKTI, 532 utusan dari 266 cabang HKTI dan 71 utusan dari 27 propinsi, termasuk Timor Timur. (DTS)
…
Jakarta, Kompas
Sumber: KOMPAS (19/02/1979)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 447-450.