PRESIDEN: KERJASAMA ANTARBANGSA MUTLAK PERLU

PRESIDEN: KERJASAMA ANTARBANGSA MUTLAK PERLU[1]

 

Jakarta, Republika

Perang dingin telah usai. Dalam pandangan Presiden Soeharto, ini merupakan kesempatan besar bagi bangsa-bangsa untuk membangun dirinya. Untuk ini, diperlukan kerjasama antar bangsa. “Sekarang bangkit kesadaran bahwa kerja sama antar-bangsa mutlak perlu. Suasana tadi juga memberi harapan baru bagi masa depan dunia,”ucap Presiden saat membuka Kongres Internasional Pengusaha Kecil ke-21 di Balai Sidang Jakarta, Senin (19/9).

Dengan disetujuinya kesepakatan dalam rangka Putaran Uruguay, kata Presiden, bangsa-bangsa akan terikat untuk melaksanakan ketentuan perdagangan bebas. Ini membuka peluang bagi perusahaan berskala besar maupun kecil. “Namun kita sadari bahwa tidak sedikit masalah yang harus kita hadapi dalam mengembangkan usaha kecil, khususnya di negara-negara yang sedang membangun,” tegas Kepala Negara dalam Kongres bertemakan “Peranan Usaha Kecil dan Menengah dalam Pembangunan yang Berkelanjutan Kerjasama Utara-Selatan “itu. Menurut Presiden, usaha kecil memegang peranan penting dalam pembangunan.

“Usaha kecil membuka lapangun kerja yang luas, membuka kesempatan usaha, dan memperluas basis pembangunan. Dalam berbagai bidang usaha kecil juga meningkatkan ekspor,”ujarnya. Usaha kecil, menurut Presiden, merupakan sumber dinamika ekonomi.

“Dewasa ini struktur perekonomian Indonesia sedang berubah dari struktur ekonomi yang berat ke agraris menuju ke arah membesarnya peranan industri. Setahap demi setahap industri kami berkembang makin kuat, sehingga menjadi penggerak utama pembangunan, “ucapnya Presiden mengatakan, peranan sektor industri dalam produksi nasional meningkat dari 9,2% pada 1969 menjadi 22,3% pada 1973. Struktur lapangan kerja juga bergeser dari sektor pertanian ke industri dan jasa. Jika pada 1971 sektor pertanian menampung 64% dari keseluruhan angkatan kerja, maka pada 1990 turun menjadi 50%. Bergesernya struktur ekonomi tadi, kata Presiden, antara lain disebabkan meningkatnya kemampuan industri. “Barang-barang industri kami mulai mampu bersaing di pasar intemasional. Selama pembangunan jangka panjang 25 tahun pertama, eskpor Indonesia secara keseluruhan meningkat rata-rata hampir 16% setiap lahun,” ujamya.

Jika pada 1968 nilai ekspor Indonesia hanya US$ 872 juta, maka pada 1993/1994 naik menjadi US$ 36,5 milyar. Selama kurun waktu yang sama, ekspor non migas meningkat lebih besar lagi, rata-rata 16,5% setiap tahun. Bahkan, saat ini ekspor non-migas merupakan 74% dari seluruh penerimaan devisa. Dari jumlah itu 63,4% berupa ekspor basil industri pengolahan. Dalam perkembangan ekspor tadi, yang amat menggembirakan adalah meningkatnya peran industri kecil.

Dalam laporannya, Menteri Koperasi Subiakto Tjakrawardaya menyatakan, Kongres akan membahas berbagai makalah menyangkut kebijaksanaan dan strategi mengenai peranan usaha kecil dan menengah dalam pembangunan berkelanjutan baik dalam konteks kerjasama Selatan-Selatan, maupun kerjasama Utara-Selatan.

Kongres ini akan mendiskusikan pengalaman berbagai negara. Kongres diikuti 651 peserta, 406 dari negara maju dan berkembang, serta 245 dari Indonesia, dan berlangsung sampai 21 September 1994. Diantara penyaji makalah dari luar negeri terdapat nama Deputi PM Singapura B.G. Lee Hsien Loong, Wakil UNCTAD Masataka Fujita, dan Wakil Nan yang University Raymond W.Y Kao.  (ha)

Sumber :REPUBLIKA ( 20/09/1994)

________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 109-110.

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.