PRESIDEN LANTIK EMPAT DUBES BARU
Presiden Soeharto menyatakan, Indonesia berketetapan hari mengembangkan kerja sama Selatan-Selatan, baik berupa pemberian kesempatan kepada kekuatan ekonomi negara dunia ketiga untuk ikut serta melaksanakan proyek pembangunan di Indonesia maupun dengan jalan memberikan bantuan teknik.
“Ini merupakan bukti nyata kemauan politik kita untuk melaksanakan kerja sama antar sesama negara sedang membangun,” kata Kepala Negara di Istana Negara hari Sabtu, ketika melantik empat Duta Besar baru.
Ia mengemukakan, akhir-akhir ini ada tanda menguatnya kembali proteksionisme di kalangan negara-negara industri maju serta kebijaksanaan ekonomi lain yang dapat menghambat perkembangan ekonomi negara-negara sedang membangun.
Karena itu, lanjutnya, Indonesia tidak jemu berusaha sekuat tenaga membangun tata ekonomi dunia baru yang lebih berkeadilan, serta tidak henti menyerukan dialog Utara-Selatan yang lebih efektif dan jujur.
R. Sajogo, 60 tahun, dilantik menjadi Duta besar Luar biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Srilanka merangkap Maladewa. Teuku M. Hadi Thayeb, 65 tahun, dilantik menjadi Dubes RI untuk Swiss.
Drs. Muhammad Singgih Hadipranowo, 55 tahun, menjadi Dubes untuk Aljazair merangkap Mali dan Guinea. Sedang Drs. J.B. Soedarmanto Kadarisnen, 57 tahun, menjadi Dubes untuk Argentina merangkap Chili, Uruguay dan Paraguay.
Ke empatnya adalah diplomat karir. Sajogo sebelumnya adalah Kepala Biro Umum pada Setjen Deplu, Hadi Thayeb bekas Gubernur Aceh yang pernah juga menjadi Dubes di Polandia, Italia dan Saudi Arabia. Sedang Singgih sebelumnya adalah Direktur Urusan Amerika pada Deplu dan Soedarmanto bekas Wakil Kepala Perwakilan RI di Belanda.
Kepada para Dubes yang dilantik, Presiden mengingatkan bahwa tugas sebagai Dubes bukan tugas ringan dan rutin.
Dijelaskan bahwa strategi pelaksanaan politik luar negeri Indonesia serta keputusan-keputusan politik mendasar memang ditetapkan di Jakarta. Namun pelaksanaan strategi dan keputusan politik itu masih harus dirumuskan dan dilaksanakan sebaik-baiknya oleh para dubes, dengan bantuan segenap tenaga di Kedutaan besar.
Pengalaman mengajarkan bahwa antara strategi dan pelaksanaannya tidak jarang ada jarak lebar, yang satu dengan yang lain sama pentingnya. Meskipun strategi baik, tapi kalau pelaksanaannya tidak kena maka seluruh strategi akan gagal.
Sebaliknya, lanjut Presiden, penyusunan strategi memerlukan masukan-masukan yang benar. Jika masukan tidak tepat, strategi yang disusun juga akan keliru, katanya.
Masukan itu terutama diharapkan dari para Dutabesar yang berada di tengahtengah medan diplomasi.
Berkaitan Erat
Dalam upacara pelantikan yang dihadiri Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, para menteri dan pejabat tinggi negara lainnya itu Presiden memaparkan kembali strategi nasional dalam pembangunan maupun politik luar negeri.
Dikemukakan, masalah kemerdekaan nasional, perdamaian dunia dan masalah pembangunan ekonomi dunia telah mewarnai wajah pelaksanaan politik luar negeri Indonesia selama ini.
Pengalaman juga mengajarkan bahwa masalah-masalah kemerdekaan nasional, perdamaian dan keadilan sosial erat berkaitan satu sama lain, kata Kepala Negara.
Gangguan luar terhadap kemerdekaan nasional selalu menjadi sumber konflik yang acap kali mengundang campur tangan berbagai fihak, sehingga merupakan ancaman terhadap perdamaian dunia, kata Presiden.
Pada gilirannya, lanjut Presiden, ancaman terhadap perdamaian akan menghambat usaha pembangunan ekonomi menuju keadilan sosial.
Ketidakberhasilan pembangunan suatu bangsa, juga menurut Presiden, dapat menjadi sumber ketegangan sosial yang tak jarang menjadi awal gejolak politik.
Pada gilirannya hal itu tidak jarang mendorong campur tangan luar, sehingga membahayakan kemerdekaan nasional dan mengancam pula perdamaian dunia, demikian Soeharto.
Oleh karena itu Indonesia senantiasa mengajak semua negara di dunia untuk saling menghormati kedaulatan masing-masing, saling tidak mencampuri urusan dalam negeri dan saling bekerja sama secara konstruktif guna pembangunan bangsa-bangsa.
“Tanpa pembangunan ekonomi dan sosial, tidak akan pernah ada perdamaian sejati”, demikian Presiden Soeharto. (RA)
…
Jakarta, Antara
Sumber : ANTARA (14/03/1987)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 76-77.