Presiden Membuka Muktamar ke-28 NU DI LUAR KEGIATAN POLITIK PRAKTIS, TERBENTANG PENGABDIAN YANG LUAS

Presiden Membuka Muktamar ke-28 NU DI LUAR KEGIATAN POLITIK PRAKTIS, TERBENTANG PENGABDIAN YANG LUAS

 

 

Jakarta, Kompas

Presiden Soeharto menilai, keputusan Nahdlatul Ulama (NU) semenjak Muktamar ke-27 di Situbondo yang memantapkan dirinya kembali sebagai jam’iyah sosial keagamaan, sungguh tepat. Dengan demikian NU mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mengerahkan dan mengarahkan segala kemampuannya untuk lebih meningkatkan perhatian, pemikiran dan pengabdian dalam pengembangan kehidupan beragama di Tanah Air.

“Sesungguhnyalah, di luar kegiatan politik praktis terbentang bidang pengabdian yang sangat luas untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara kita. Suatu perjuangan yang harus kita tangani secara baik dan sungguh-sungguh,” tegas Kepala Negara ketika membuka Muktamar ke-28 NU sekaligus Kongres Muslimat ke-12 NU, dan Kongres ke-10 Fatayat NU di Pondok Pesantren AI-Munawwir, Krapyak, sekitar empat kilometer sebelah selatan dari Yogyakarta, Sabtu pagi.

Kepala Negara mengemukakan, pengembangan kehidupan beragama di Tanah Air memang memerlukan perhatian, pemikiran dan penanganan yang makin sungguh­sungguh. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mejemuk. Di negeri ini hidup dan berkembang berbagai agama dan berbagai aliran keagamaan. “Oleh karena itu penanganan bidang keagamaan memerlukan sikap yang arif bijaksana,” tambahnya.

Diingatkan, betapa sejumlah negara mengalami gejolak sosial yang berkepanjangan karena masalah keagamaan. Tapi kita bersyukur karena berkat Pancasila sebagai dasar falsafah negara, bangsa Indonesia terhindar dari gejolak yang berkepanjangan itu.

“Dengan Pancasila sebagai dasar falsafah negara, kita tidak menonjolkan salah satu agama sebagai agama negara. Dalam kehidupan kenegaraan kita, semua agama mempunyai kedudukan yang sama. Hal ini tidak berarti negara kita sama sekali tidak memperdulikan kehidupan keagamaan di negeri kita. Malahan sebaliknya, negara kita sangat berkepentingan dengan perkembangan kehidupan agama yang semarak, sehat, dan dinarnis,” tandasnya.

 

Pelopor Satu Asas

Begitu tiba di tempat upacara, Presiden Soeharto secara spontan disambut Shalawat Badr oleh ribuan jamiyah NU yang berada di lokasi sejak pagi hari. Sebelum menuju tempat upacara, Presiden bersama Ny Tien Soeharto berkesempatan bersilaturahmi kepada Pimpinan Pondok Pesantren Krapyak KH. Ali Ma’shum (74) di tempat kediaman pribadi. Karena kondisinya telah uzur, ulama sepuh ini tak hadir di tempat upacara.

Dari rumah KH Ali Ma’shum Presiden kemudian dijemput Menag Munawir Sjadzali, Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid, Ketua Umum Muslimat Ny H. Asmah Sjachruni dan Ketua Umum Fatayat H Machfudoh Aly Ubaid.

Di depan ratusan peserta , pengamat dan masyarakat sekitar, Presiden mengingatkan kembali perjalanan sejarah, di mana di antara pendahulu yang merumuskan Pancasila sebagai dasar falsafah negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD, terdapat pemimpin bangsa yang berasal dari kalangan nahdliyin. Sejarah mencatat pula bahwa jam’iyah NU adalah pelopor dalam menegaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

“Penegasan ini dinyatakan tanpa keraguan sedikitpun dan mendahului kelompok­ kelompok dan organisasi-organisasi keagamaan lainnya,” tambahnya .Selain itu, NU juga menegaskan bahwa bagi umat Islam, Negara RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai keberadaan yang sudah final dan karenanya tidak perlu dipersoalkan dan dikutik-kutik lagi.

Semuanya itu, menurut Presiden Soeharto, merupakan sumbangan yang sangat besar dalam usaha bangsa Indonesia memantapkan kesatuan dan keutuhan bangsa kita yang sangat majemuk ini. “Sikap yang dilandasi oleh keyakinan dan patokan-patokan agama ini memberikan bobot tersendiri pada Pancasila sebagai ideologi nasional bangsa,” ujar Kepala Negara.

Bertindak selaku pemberi sambutan Shahibul Bait (tuan rumah) pada upacara pembukaan kemarin, putra sulung KH. Ali Ma’shum, Drs H Atabik Ali, dan kemudian disusul Khutbah Iftitah oleh Rais Aam PBNU KH. Ahmad Shiddiq. Karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan berdiri lama, maka Shiddiq menyampaikan khotbah sambil duduk.

 

Keikutsertaan

Lebih lanjut Kepala Negara mengemukakan, pembangunan sebagai pengamalan Pancasila memberikan tempat yang tinggi pada agama. Bagaimana mewujudkan peran agama yang sangat penting itu, pertama-tama tentu terpulang kepada diri sendiri.

“Peranan organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti Nahdlatul Ulama sangat kita perlukan. Tantangan yang dihadapi oleh organisasi-organisasi keagamaan adalah bagaimana meningkatkan dan mengembangkan kemampuan mereka sehingga dapat memberi sumbangan yang sebesar-besarnya dan sebaik-baiknya bagi pemban gunan masyarakat Pancasila yang kita cita-citakan,” katanya.

Dalam kaitan ini Presiden mengharapkan para pemuka agama, para ulama, meningkatkan keterlibatan dan keikutsertaan mereka dalam pembangunan bangsa yang saat ini sudah berada di tahap akhir pembangunan jangka panjang yang pertama. Diingatkan, di banyak negara sedang membangun, masalah keagamaan sering menjadi sumber bagi hambatan dan gangguan dalam pembangunan menuju tinggal landas.

“Di tahun-tahun yang akan datang, para pemikir dan pemuka dari semua golongan agama perlu mengembangkan pemikiran yang kreatif, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan tetap setia kepada iman yang mereka yakini masing-masing,” katanya.

Diharapkan pula, kepekaan para ulama dan pemuka agama terhadap tantangan masyarakat dan zamannya, yang perubahannya berlangsung lebih cepat dari yang dibayangkan. Dalam hubungan ini, Presiden menyatakan kegembiraannya melihat pesantren yang dinilainya, “makin membuka diri untuk menjawab tantangan masyarakat yang mengalami perubahan begitu cepat”.

Di bagian lain sambutannya, Presiden Soeharto juga menyambut gembira diselenggarakannya Kongres Muslimat NU dan Fatayat NU bersamaan dengan Muktamar NU itu. Hal ini membuktikan bahwa Nahdlatul Ulama tidak menganggap kedudukan kaum wanita lebih rendah dari kedudukan pria.

 

Tak Begitu Ketat

Pembukaan pesta demokrasi organisasi sosial kemasyarakatan yang berusia lebih 60 tahun ini, ditandai pemukulan bedug sebanyak 18 kali. Pada kesempatan itu Kepala Negara didampingi Menteri Agama Munawir Sjadzali, Pejabat Gubernur DIY Paku Alam VIII serta Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid dan disaksikan ribuan warga NU meski hanya dari layar TV monitor yang dipasang di rumah-rumah penduduk sekitarnya.

Tampak hadir antara lain Menko Polkam Sudomo, Mensesneg Moerdiono, Menag Munawir Sjadzali, Mendagri Rudini, Meneg UPW Ny AS Murpratomo, Gubernur Jateng Ismail, Sultan Hamengku Buwono X, Ketua Umum Golkar tidak tampak, hanya diwakili Sugandhi salah seorang ketua, Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metaerum, Ketua Umum PDI Suryadi, para pejabat tinggi sipil dan militer lainnya, serta sejumlah duta besar negara sahabat serta para ulama terpandang.

Sebelum acara berakhir, Abdurrahman Wahid menyerahkan kenang-kenangan kepada Kepala Negara berupa ukiran kayu lambang Nahdlatul ulama karya perajin Nurhadi asal Jepara, Jateng.

Tak seperti biasanya, acara Presiden di Krapyak kemarin tidak begitu ketat. Malah ratusan santri yang berada di sampingj alan yang dilalui Presiden berada pada jarak yang sangat dekat. Petugas keamanan tak menyingkirkan mereka.

Mengenai tidak hadirnya KH. As’ad Syamsul Arifin pada acara pembukaan ini, Sekjen PBNU H. Anwar Nurris mengatakan, pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah itu sedang sakit. Pemberitahuannya disampaikan melalui surat tertanggal 23 November kepada Ketua Tanfidziyah PBNU.

 

Membaca Tanda Zaman

Sementara itu Mendagri Rudini dalam pengarahannya di depan para peserta Muktamar mengemukakan, NU senantiasa dapat tumbuh dan mengembangkan diri secara dinamis terutama disebabkan oleh kemampuannya membaca dan mengantisipasi tanda-tanda perkembangan dan perubahan masyarakat, lingkungan, dan zaman.

Ditambahkan, kelahiran NU tidak hanya merupakan suatu aksi sejarah, tapi sekaligus reaksi terhadap sejarah. Karena itu NU dapat memberikan jawaban kreatif,

luwes dan dinamis terhadap perkembangan sejarah terutama dengan cara membangun langkah-langkah yang ditujukan untuk menjawab perubahan yang berlangsung dan melingkupi keberadaannya dan kiprah kemasyarakatannya.

Sikap itu, lanjutnya, jelas berkaitan erat dengan wawasan keterbukaan, demokratik, kekeluargaan dan tradisi musyawarah untuk mufakat. Wawasan seperti ini menjadikan manusia senantiasa merniliki kemampuan untuk mengolah dan menerima adanya berbagai perbedaan pendapat dan berbagai kelompok yang berbeda tanpa harus menimbulkan permusuhan satu dengan yang lain.

Mendagri menambahkan, salah satu persoalan penting yang mungkin meminta perhatian khusus muktamar ini adalah dilema yang secara umum dihadapi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan-keagamaan seperti NU ini, yakni, di satu pihak ada kebutuhan institusionalisasi kehidupan beragama dan di lain pihak muncul kebutuhan-­kebutuhan mendesak dan berubah-ubah sejalan dengan perkembangan zaman.

Menghadapi persoalan itu, perubahan dalam pengertian upaya menyempurnakan tampaknya memang perlu terjadi dalam hal-hal yang menyangkut bentuk dan irama kegiatan NU, meski tidak berarti harus mengubah sifat dasar dan isi dasarnya. Bahkan NU harus terus berpegang kepada sifat dan isi dasarnya yang dilandasi oleh keimanan dan ketaqwaan yang mendalam kepada keagungan Tuhan, tapi terbuka kepada proses sejarah dan masyarakat dalam membangun jawaban-jawaban yang dinamis, kreatif dan konstruklif, kata Mendagri.

 

Pidato Menhankam

Sementara itu di tempat sama malam harinya, Menhankam LB Moerdani mengatakan, peranan lembaga pendidikan di lingkungan NU dengan pesantrennya merupakan salah satu lembaga untuk membentuk kader-kader pemimpin bangsa yang profesional.

Namun demikian ia mengingatkan, di dalam menentukan sasaran pendidikan hendaklah selalu diusahakan agar kepentingan yang bersifat keagamaan dan kepentingan kemasyarakatan atau nasional diintegrasikan pemikirannya serta dipadukan dalam pelaksanaan programnya.

Suatu program yang hanya melihat kepentingan keagamaan saja, akan kurang optimal menunjang kepentingan nasional, bahkan mungkin dapat menjurus pada sikap yang berpandangan sempit dan bersifat ekstrem. Dan hal itu akan memperlemah ketahanan nasional sehingga akan menghambat proses pembangunan nasional,

“Tandas Moerdani yang terbang langsung dari Kuala Lumpur. Malaysia ke Yogyakarta untuk memberikan ceramah tersebut. Sebelumnya moderator KH Syah Manaf mengungkapkan bahwa kesehatan LB Moerdani sebenarnya tidak dalam kondisi fit karena habis jatuh dan kakinya terkilir. ‘Tetapi demi NU, beliau bersedia hadir di sini.” Ketika berjalan menuju mobil, LB Moerdani memang kelihatan terpincang-pincang.

“Kader-kader pemimpin yang dibina di lembaga pendidikan pesantren seharusnya tidak berbeda dengan kader-kader pernimpin yang dibina di lembaga pendidikan lainnya,” ujar Moerdari. Pengembangan dan pembinaan harus difokuskan pada pembentukan kader-kader yang memiliki kualitas guna mendukung kelanjutan pembangunan di segala bidang dengan bobot keagamaan yang lebih mantap.

Pada bagian lain ceramahnya. Menhankam mengharapkan muktamar ini tidak akan merupakan forum adu kekuatan untuk memuaskan ambisi pribadi-pribadi tertentu dengan menonjolkan kepentingannya masing-masing, melainkan suatu forum integrasi aspirasi-aspirasi yang berkembang dalam masyarakat yang dapat disumbangkan dalam rangka men yongsong hari depan bangsa Indonesia. Sebelum berceramah. LB Moerdani bersilaturahrni kepada KH Ali Ma’shum di tempat kediaman resminya . Keduanya berbincang-bincan g secara akrab di atas tempat tidur.

 

Batasan Politik

Sekjen PB NU H. Anwar Nurris seusai pembahasan peraturan tata tertib muktamar mengungkapkan, muktamar ini antara lain akan merumuskan batasan pengertian politik praktis. Ini penting untuk pegangan warga NU, khususnya menjelang pemilu. Agar ormas maupun warga NU tidak akan melakukan penggembosan-penggembosan, seperti pemilu lalu. Dikatakan, dalam pemilu nanti antara warga NU yang menyalurkan aspirasi politiknya melalui PPP, Golkar dan PDI akan ada persaudaraan yang kental.

Menyinggung duduknya warga NU dalam organisasi-organisasi sospol dinyatakan, tidak atas perintah PB NU tapi karena kualitas dan dedikasinya masing-masing. Ditegaskan, NU tidak akan terbujuk dengan politik praktis. Sebab keputusan kembali ke Khittah 26 sangat strategis.

Sementara itu KH Yusuf Hasyim, Pemimpin Pondok Tebuireng menilai pernyataan Mendagri di atas sudah menjawab problem yang dihadapi, secara jelas, bening, jernih. Pernyataan itu menjelaskan dengan bening bagaimana seharusnya hubungan NU dengan pemerintah, maupun orsos dan intern ke dalam. Hal itu dinilai akan sangat membantu pembahasan program kerja dalam sidang komisi.

Dahulu, ulama yang berperanan di NU dibatasi hanya ulama-ulama fiqih (hokum agama), tapi kini tak terbatas begitu saja, termasuk para purnawirawan ABRI yang disebut-sebut dalam komentar usai Rudini berpidato, agar masuk NU.

Menyangkut aktivitas Syuriah, lembaga di dalam organisasi NU yang berfungsi menggodok segala macam program, Yusuf Hasyim mengakui selama ini memang tak

pernah berjalan. Sesuai AD/ART mestinya Syuriah berfungsi, tetapi selama periode lima tahun ini, meja kerja untuk anggota Syuriah di kantor Jakarta, satu pun tak ada. Jadi PB NU yang akan datang, harus punya meja dan kegiatan sendiri. Namun ia menolak memberi jawaban penyebab kemacetan itu.

“Apa karena ada gap antara Syuriah dan Ketua PBNU Gus Dur,” tanya wartawan. “Saya nggak etis dong, saya Syuriah kok mengkritik Syuriah,” katanya. Hal serupa dikatakan, anggota tertua PB NU Drs. Syah Manaf.

Menteri Agama Munawir Sjadzali dalam ceramahnya Sabtu malam antara lain mengingatkan, tantangan yang dihadapi sekarang makin menempatkan peranan yang penting bagi agama dalam kehidupan bermasyarakat untuk menanggapinya. Apabila pemikiran agama tidak dapat merespon tantangan yang semakin besar itu, dikhawatirkan pada saat Indonesia tinggal landas, agama tinggal di landasan.

Prof. Nakamura, peneliti asal Jepang yang dimintai tanggapannya menyatakan, tak sependapat dengan anggapan bahwa banyak warga pendukung NU “gamang” setelah NU kembali ke Kittah 1926, sebab selama ini mereka terbiasa berpolitik. Saat ini justru banyak kiai dan warga NU merasa gembira karena NU dibebaskan dari kegiatan politiknya. Dengan demikian NU dapat mengkonsentrasikan diri pada kegiatan agama.

Dikatakan, Khittah 1926 tidak akan mengurangi peranan NU sebagai penyalur aspirasi. Sebab para pimpinan NU, khususnya dalam hal para kiai, mempunyai cirikhas pendekatan keulamaan. Artinya, mereka, tidak menganggap NU sebagai kelompok yang sama dengan partai politik atau organisasi sosial yang lain. Sedang anggota PB NU Drs. Syah Manaf menilai, peralihan mental mengenai itu oleh pendukung NU tidak bisa terjadi sekaligus. Namun kini, dinilai perubahan sudah terasa.

 

 

Sumber : KOMPAS (26/11/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 578-584.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.