PRESIDEN: MENCARl MAKMURNYA ITU YANG SUSAH, KALAU ADIL SAJA GAMPANG
Jakarta, Merdeka
Presiden Soeharto menegaskan, cita-cita bangsa Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila sungguh mulia. Jadi harus keduanya. Adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Tidak hanya adil atau makmur saja.
Ini dikemukakan oleh Kepala Negara ketika menerima 123 peserta Penataran Kewaspadaan Nasional (Tarpadnas) Pemuda Angkatan VIII di Peternakan Tri-S. Tapos, Bogor, Jawa Barat, Minggu.
“Kalau adil saja gampang yaitu membagi kemiskinan. Jadi semua miskin dan gampang makan satu mangkokya semua satu mangkok itu namanya adil tetapi tidak makmur. Nah mencari makmurnya itu yang susah,” katanya.
Dikatakan, untuk mencari ukuran kemakmuran bisa dengan membangun dan ini tidak bisa dicapai dalam waktu singkat tetapi harus bertahap. Sekarang kemakmuran itu ada, sedangkan yang harus dipikirkan adalah mencari pemerataannya.
Pemerataan itu pun tidak dengan sendirinya kemudian merata karena memang pertumbuhan belum banyak untuk dapat diratakan, untuk dapat membantu lainnya.
Presiden mengemukakan, sekarang sudah ada yang punya pikiran bahwa pembangunan sekarang menonjolkan pertumbuhan saja. Dalam pertumbuhan itu, katanya, tidak bisa mencakup keseluruhannya. Tetapi mereka menilai yang memiliki potensi yang diberi kesempatan dan yang mempunyai potensi itu ternyataya hanya itu saja.
”Namun lantas orang sudah menilai ini pembangunan strateginya keliru karena hanya melihat yang pertumbuhan saja,” kata Presiden.
Ditegaskan, kemakmuran itu tidak bisa dicapai dengan sendirinya, tetapi berkaitan erat dengan pertumbuhan dan pemerataan. Ketiganya itu, sudah tercakup dalam Trilogi Pembangunan, yang juga menekankan pentingnya stabilitas.
Ideologi
Hendaknya disadari pula, menurut Kepala Negara bahwa kehancuran satu bangsa tidak hanya dari dalam negeri. Dan tantangan itu tidak dari kekuatan militer tetapijuga hancurnya dari ideologi.
Selain itu, lanjut Presiden, dari sudut ekonomi pun juga bisa menghancurkan kehidupan negara dan bangsa. Karena itu kewaspadaan tidak selalu digambarkan dari senjata, ideologi tetapi juga ekonomi atau bahkan kebudayaan.
“Ini semua kita harus yakini bisa dihadapi dengan ketahanan nasional,” katanya. Sebagai contoh ancaman yang datang dari dalam itu Presiden menyebutkan, runtuhnya negara-negara di Eropa Timur belakangan ini bukan karena kekayaan negara-negara Barat yang menentangnya. Tetapi justru kehancuran itu terjadi dari dalam negerinya sendiri.
“Kehancuran negara-negara Eropa Timur itu bukan karena adanya pertentangan dengan negara-negara Barat, tetapi karena kekeliruan ideologi mereka, yaitu komunisme. Ideologi yang dianut mereka ternyata tidak bisa memenuhi harapan untuk meningkatkan kemakmuran rakyatnya,” katanya.
Dikatakan, karena dengan menerapkan sistem sosialis komunis temyata mereka tidak bisa membawa kemakmuran rakyatnya, dengan sendirinya mereka mencoba mencari altematiflain, yang ternyata tidak memperoleh altematif yang tepat.
“Inilah salah satu kewaspadaan yang belum diterapkan di dalam negeri mereka. Mereka mengakui kesalahan, tetapi kemudian mencari altematif yang belum teruji akibatnya seperti itu,” kata Presiden.
Kepala Negara mengemukakan, komunisme dulu dikatakan sebagai paham berbahaya, karena para penganutnya mempunyai doktrin untuk mengkomuniskan dunia dalam rangka mensejahterakan umat manusia. Tetapi temyata jangankan mensejahterakan manusia sedunia, untuk mensejahterakan bangsanya sendiri saja tidak bisa. Karena itulah mereka menyadari dan kemudian mencari altenatif lainnya. “Dalam hal ini, maka salah satu bahaya yang kita hadapi, yaitu mereka ingin mengkomuniskan dunia akan berkurang, karena masalahnya untuk memperbaiki dalam negerinya saja belum menemukan yang tepat,” tuturnya.
Apakah komunisme itu tetap membahayakan ? Menurut Presiden, meskipun mereka itu gagal, segala sesuatunya harus menjadi pertimbangan untuk selalu diwaspadai, sebab masih ada orang-orang komunis yang menginginkan kembali ke ideologinya, setelah melihat altematif yang mereka pilih belurn berhasil.
Senjata
Presiden mengemukakan, akibat adanya perubahan yang cepat itu, pertentangan antara Barat dan Timur sekarang menjadi mereda dan perang dingin juga mereda. Karena perang dingin mereda maka perlombaan senjata juga mereda. Ini berarti konfrontasi juga mereda, kemungkinan perangjuga akan mereda.
Dikatakan, memang ada satu teori, yaitu teori Von Clausewits bahwasanya menggunakan senjata untuk perang itu sebenamya adalah sebagai kelanjutan dari politik yang gagal. Karena politik gagal maka digunakan senjata untuk memaksa orang lain mengikuti kehendak politiknya.
Tetapi teori itu kenyataannya tidak berlaku secara utuh. Karena nyatanya setelah Perang Dunia II kekuatan senjata itu bukan satu kekuatan yang menentukan segala galanya. Artinya, kekuatan yang memaksa menghancurkan musuh kemudian lawannya menyerah begitu saja.
“Hal ini terbukti kita bisa merasakannya sendiri sewaktu revolusi di mana kita hanya mempunyai senjata yang sangat sederhana dan Belanda memiliki yang jauh lebih kuat, tetapi toh mereka tidak bisa melaksanakan kekuatan senjatanya kepada kita,” kata Presiden sambil menambahkan. “Banyak contoh negara lainnya, seperti AS terhadap Vietnam dan sebagainya.”
Menurut Presiden apa sebabnya kekuatan senjata itu tidak bisa mengalahkan segalanya,karena masih ada kekuatan lain yaitu kekuatan rakyat yang bisa dihimpun sedemikian rupa sehingga menjadi kekuatan nasional. Mulai dari kekuatan ideologi politik, kekuatan ekonomi, kekuatan sosial budaya dan kekuatan Hankam.
“Semua kekuatan yang dihimpun, dibina dan dikelola sehingga memiliki keuletan dan ketangguhan sedemikian rupa untuk sanggup menghadapi tantangan yang tin1bul dari dalam maupun dan luar.Inilah yang disebut ketahanan nasional bangsa. Sehingga dengan ketahanan nasional segala tantangan dapat dihadapi, baik yang timbul dari dalam maupun dari luar,” tuturnya.
Menurut Kepala Negara, ketahanan nasional sebenamya adalah penyusunan semua potensi yang dimiliki dari yang kecil hingga yang besar kemudian dihimpun dalam kekuatan, baik politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam, yang kemudian dibina dan dikelola sehingga mempunyai kekuatan dan keuletan yang sanggup menghadapi segala tantangan dari dalam dan luar negeri. “Ciri ketahanan nasional yang telah dibuktikan adalah, percaya kepada diri sendiri dan tidak mengenal menyerah serta sanggup berkorban untuk kepentingan yang lebih besar. Ternyata dengan ketahanan nasional yang seperti itu bisa mengatasi segala kekuatan yang timbul dari luar walaupun kekuatan itu adalah kekuatan senjata yang lebih modern dan lebih canggih,” katanya.
Ancaman
Selanjutnya diingatkan, ancaman yang dihadapi Indonesia sekarang tidak sematamata hanya datang dari luar, tetapi yang paling berbahaya yang harus diwaspadai adalah ancaman dari dalam. Untuk membentengi ancaman tersebut, seluruh rakyat hendaknya meyakini benar-benar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya teori saja, tetapi juga pelaksanaannya.
Dikatakan bangsa Indonesia mempunyai tekad untuk melaksanakan kemurnian Pancasila dan UUD 45 dalam mencapai cita-cita perjuangan bangsa, namun tidak dengan hanya mengerti teori nya tetapi juga mengenai pengamalan dan penghayatannya. Tetapi kemudian timbul orang-orang yang kurang mengerti Pancasila dan UUD 45, sudah menyalahkatmya dan lalu memiliki pikiran dan altematif lain.
“lni sudah merupakan ancaman tersendiri. Kalau kita biarkan dengan sendirinya akan mengganggu minimal stabilitas nasional yang kita perlukan sebagai prasyarat untuk membangun,” tegasnya.
Menurut Kepala Negara, kalau kemudian ada orang kurang mendalami Pancasila dan UUD 45 dan melontarkan pemikiran yang lain, maka ini sudah merupakan satu gangguan dan satu ancaman.
Karena itu, kata Presiden, setiap warga negara harus betul-betul membentengi diri dengan mengerti dan mengetahui apa Pancasila dan UUD 45.
“Jadi jangan sampai belum mengerti, kemudian menilai itu salah. Berpendapat yang baik adalah demikian, padahal belum mengerti apa sebenamya Pancasila dan UUD 45 dengan segala sistemnya. Tetapi dia ingin melemparkan gagasannya, karena mungkin apa yang diketahui belajar dari bangsa dan negara lain, tetapi sudah memvonis Pancasila dan UUD 45 salah dan pendapatnya yang baik,” tuturnya. Karena itu Presiden minta kepada generasi muda, yang nantinya akan menerima tongkat estafet dari generasi tua, untuk meningkatkan kewaspadaan dari segala macam tantangan dan ancaman yang mungkin timbul yang bisa menghambat dan menjadi rintangan, bahkan bisa membahayakan kelangsungan hidup negara.
Sumber : MERDEKA (03/02/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 66-70.