PRESIDEN MENJADI JURU PENERANG
TAJUK RENCANA :
Terjadi dialog yang menarik dalam temu wicara antara Presiden Soeharto dan Ibu Lurah, Nyonya S Maitimu, dalam temu wicara dengan masyarakat, di Batu Gong, di luar kota Ambon seusai peresmian 10 pabrik kayu lapis di Maluku.
Ibu Maitimu memakai kesempatan itu untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang dipimpinnya, sehubungan dengan kehadiran pabrik kayu lapis di desanya.
la mengemukakan harapan, agar selain yang sudah tertampung untuk bekerja di pabrik itu, rakyatnya yang belum memperoleh kesempatan bekerja juga di tampung.
Ibu Kepala Desa ini juga dengan hati-hati mengemukakan masalah ombak yang timbul dan dirasakan rakyatnya berhubung dengan kehadiran pabrik itu.
Jawaban Presiden kepada Ibu Maitimu itulah yang mengandung nilai penerangan yang besar, tidak saja bagi masyarakat setempat, tapi juga bagi kebanyakan orang di dalam masyarakat kita yang besar ini.
Presiden menerangkan bagaimana mestinya kehadiran suatu industri dipahami oleh masyarakat sekitamya, khususnya oleh mereka yang mendapat kesempatan kerja di dalam industri itu.
Presiden menerangkan, industri di Indonesia, siapa pun pemiliknya, “putra Indonesia, keturunan. atau orang asing” adalah modal nasional. Makna pengertian itu pun diterangkan Presiden dengan mengaitkan industri dengan kepentingan langsung masyarakat yang berpikiran sederhana industri adalah kesempatan kerja.
Dengan penjelasan seperti itu Presiden sebenamya telah secara populer menanamkan pengetahuan tentang suatu pengertian ekonomi yang rumit investasi.
Dengan pengetahuan tentang apa yang dapat dipetik sebagai manfaat dari penanaman modal di bidang industri, siapa pun pemodalnya, dibentuklah sikap dasar masyarakat terhadap kehadiran industri, tanpa mempermasalahkan secara emosional masalah pemilikannya.
Sikap rasional terhadap modal, pemodal dan eksploitasi modal itu demi manfaat sosial ekonominya, merupakan salah satu sikap yang diperlukan dalam modernisasi ekonomi. Pengetahuan yang perlu dan sikap yang benar itulah yang telah disampaikan dengan baiknya oleh Presiden Soeharto.
Presiden pun menerangkan bahwa industri bukan “jawatan sosial” yang dapat menampung siapa saja yang memerlukan pekerjaan. Dengan demikian Presiden juga memerangi sikap salah terhadap perusahaan, seperti banyak kita jumpai, tidak saja di pelosok-pelosok Tanah Air kita yang luas ini, tapi juga bahkan di kota-kota besar.
Dengan sederhana digambarkan apa akibatnya jika industri dipaksa menampung tenaga kerja melampaui keperluannya “ambruk dalam dua tahun”, dan hilanglah kesempatan kerja bagi siapa pun.
Kadangkadang kita dengar keluh kesah usahawan tentang banyaknya pengeluaran sosial yang harus ditanggung, dan ini menunjukkan bahwa pesan penerangan Presiden itu tidak saja relevan di Ambon, tapi juga di banyak tempat, di mana ada operasi usaha.
Dengan gambaran jelas tentang arti industri bagi masyarakat itu, jelas pulalah bagi masyarakat yang berpikiran sederhana pun, apa artinya jika dikatakan bahwa industri di Indonesia, siapa pun pemiliknya, adalah modal atau harta nasional.
Dengan demikian lebih mudah pula bagi karyawan yang memperoleh kesempatan kerja untuk merasa lebih beruntung daripada yang belum memperolehnya, sehingga lebih mudah pula mengembangkan kesadaran ikut memiliki serta tekad ikut mempertahankannya.
Kemampuan Presiden Soeharto menyampaikan pesan penerangan yang pada hakikatnya canggih tapi dengan bahasa yang mudah dipahami siapa pun itu juga kita lihat bahkan dalam sambutan resminya, ketika Presiden menerangkan arti nilai tambah :
“….melalui industri yang mengolah kekayaan alam menjadi barang setengah jadi, maka nilai kekayaan alam itu akan bertambah besar. Dengan kata lain, ada nilai tambahnya. Jika kekayaan alam itu diolah negara lain, maka nilai tambah itu akan dinikmati orang lain pula. Sebab itu, dengan makin banyak mengolah kekayaan alam “di negeri sendiri, maka nilai tambahnya pun akan dinikmati bangsa “sendiri”.
Presiden Soeharto telah memberi contoh bagaimana menyampaikan pesan penerangan yang rumit kepada masyarakat yang berpikiran sederhana.
Tapi jika kita ingin meniru, perlu kita pahami bahwa untuk dapat menyampaikan suatu pesan penerangan, pertama-tama kita sendiri perlu memahami sedalam-dalamnya seluruh isi pesan yang hendak disampaikan, untuk selanjutnya menyampaikannya dengan sudut pandang pihak yang hendak kita ajak bicara.
Segi terakhir ini mengandung arti keterbukaan dan sikap akomodatif, seperti juga sudah ditunjukkan Presiden pada awal tanggapannya kepada Ibu Maitimu. (RA)
…
Jakarta, Suara Karya
Sumber : SUARA KARYA (24/01/1985)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 16-18.