Presiden: PEMBANGUNAN JANGAN DIGANGGU[1]
Jakarta, Suara Pembaruan
Presiden Soeharto mengingatkan kembali bahwa bangsa Indonesia akan menjadi korban dan hanya sebagai penonton. Bahkan hanya menjadi pasar bagi negara- negara industri, jika tidak bisa memanfaatkan perkembangan kawasan Asia Pasiflk yang akan menguasai 80% GNP dunia pada tahun 2020.
“Ini tergantung kepada kita.Karena itulah segala perkembangan pembangunan yang sekarang kita letakkan sebagai dasar untuk menuju kepada kemampuan kita bersaing dengan negara-negara lain itujangan diganggu dengan tetek bengeknya daripada berita-berita yang tidak benar, sehingga rakyat katanya gelisah dan sebagainya,” kata Presiden di dalam pesawat DC-10 Garuda Indonesia yang membawa Kepala Negara dari Osaka, Jepang, Senin (20/11)sore.
Presiden tiba kembali di Tanah Air Senin sore setelah menghadiri pertemuan in formal para pemirnpin ekonomi APEC (AELM-APEC Economic Leaders Meeting) di Osaka tanggal 19 November 1995. Selain lbu Tien Soeharto, turut dalam rombongan Menko Indag Hartarto, Menlu Ali Alatas, Mensesneg Moerdiono, penasihat ekonomi Presiden , Prof Dr Widjojo Nitisastro yang menjadi anggota delegasi Indonesia dalam pertemuan tersebut. Dikatakan, kalau gangguan itu berjalan terus-menerus ,berarti kesiapan dan semua potensi akan terganggu. “Setidak-tidaknya timbul keragu-raguan, tidak bisa memusatkan langkah pikiran untuk membangun sehingga peningkatan daya saing kita itu menjadi kurang,” kata Kepala Negara.
“Saya minta wartawan turut merenungkan, mengambil bagian, berpartisipasi untuk menyukseskan pembangunan kita, untuk dapat menghadapi segala tantangan. Semuanya akan bisa dinikmati anak cucu kita. Jangan sampai anak cucu kita menghadapi keadaan yang tidak baik. Harapan kita cukup besar, tapi semua terletak kepada kita semuanya. Sekarang, bisa tidak kita mewariskan sesuatu yang membahagiakan nanti anak cucu kita itu,” kata Presiden Soeharto.
Abad Pasifik
Kepala Negara secara rinci menjelaskan prospek perkembangan ekonorni dunia khususnya di Asia dan Asia Pasifik akan besar sekali. Juga dikemukakan dasar perhitungan para pakar yang mengatakan abad 21 adalah abad Pasifik. Apalagi dengan perkembangan sekarang ini, baik di Asia maupun negara-negara maju. Dari hitungan-hitungan itu, kata Presiden Soeharto, GNP dunia tahun 1994 meliputi 27 triliun dolar AS. Negara maju ada 3, yaitu Eropa, Jepang dan Amerika Serikat yang menguasai 67% dari GNP tersebut. Kemudian Asia 21 %, termasuk In dia. Lain-lainnya Afrika, Australia dan Selandia Baru 12%. Dengan perkembangan di Asia, dan Asia Timur yang begitu pesat dengan pertumbuhan 7% dan bahkan ada yang 10%,karena terus-menerus demikian keadaan akan berubah. GNP-nya akan meningkat. Kemampuannya juga akan berubah. “Sebagai satu gambaran, tahun 2014 akan menjadi seimbang. Jika sebelumnya perbandingannya 67% dengan 21%, maka dalam tahun 2014 akan menjadi seimbang yaitu negara maju menguasai GNP 26,9 triliun dolar AS, Asia akan menjadi 26,2 triliun dolar AS, sedangkan yang lainnya hanya 6,6 triliun dolar AS.” Pada tahun 2020, saat menghadapi perdagangan bebas, maka keadaan akan berubah lagi. Negara maju hanya meliputi 39%, sedangkanAsia 51%, lain-lain 10%. Kalau dihitung dalam dolar negara maju 29,7 triliun dolar AS, Asia 38,4 triliun dolar AS, lain-lain 7,8 triliun dolar AS. “Ini masih dipisahkan negara maju dengan Asia. SedangkanAsia Pasifik Jepang dengan Amerika Serikat masuk di dalamnya, sehingga jumlahnya tidak kurang dari 80% dari GNP di Asia Pasifik. Itu maka digambarkan abad 21 adalah abad Asia Pasifik.”
Kelanjutan
Sebelumnya Kepala Negara menjelaskan mengenai pertemuan informal para pemimpin ekonomi APEC (AELM) di Osaka Jepang sebagai kelanjutan dari pertemuan di Bogor, Indonesia. Sedangkan di Bogor sebagai kelanjutan dari pertemuan di Seattle, Amerika Serikat. Pertemuan di Seattle telah mengutarakan visi dari kerja sama ekonomi di Asia Pasifik sehubungan dengan selesainya perang dingin dan menghadapi globalisasi yang serba cepat. Kemudian dilanjutkan dengan pertemuan di Bogor dan di sana telah dirumuskan tujuan-tujuan dan arah dari kerja sama ekonomi antara negara dan bangsa di Asia Pasifik ini dan telah ditonjolkan 3 pilar kerja sama ekonomi, yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi, fasilitasi perdagangan dan investasi, serta kerja sama ekonorni dan teknik. Kemudian ditegaskanjangka waktu pelaksanaan liberalisasi perdagangan bagi negara-negara maju supaya sudah membuka pintunya untuk melaksanakan perdagangan bebas setelah tahun 2010, dan bagi negara-negara berkembang supaya membuka pintunya melaksanakan liberalisasi perdagangan tahun 2020. Yang berarti adajangka waktu 15 tahun bagi negara-negara maju dan 25 tahun bagi negara-negara berkembang. “Ini menunjukkan suatu perbedaan antara negara-negara yang sudah mampu maupun negara-negara berkembang memerlukan waktu untuk mengkonsolidasikan kekuatan ekonominya,” kata Kepala Negara. Salah satu keputusan Deklarasi Bogor adalah ditugaskannya para menteri untuk membuat rencana rinci atau cetak biru (blue print) dari pelaksanaan Deklarasi Bogor dan diajukan pada pertemuan para pemimpin ekonomi secara informal di Osaka. “Rupanya proses dari penyiapan para menteri yang menugaskan pejabat seniornya berulang-ulang mengadakan rapat dan rupanya merupakan perjuangan yang tidak ringan di dalam membuat cetak biru dalam melaksanakan Deklarasi Bogor.” Tapi, kata Presiden, dengan segala usaha dan keuletan serta jiwa dan semangat kemitraan serta semangat yang besar membantu yang lemah, serta kerja sama yang saling menguntungkan, akhirnya semua perbedaan itu bisa dikembalikan. Pada dasarnya, kata Kepala Negara, apa yang dicapai itu merupakan suatu prestasi yang tidak kecil. Para pejabat senior dan para menteri telah menghasilkan antara lain dasar-dasar dari AgendaAksi dan program aksi dan rencana aksi dalam melaksanakan tiga pilar yang disetujui. Ini merupakan suatu basil yang baik karena semuanya dibuat dalam sistematika yang meyakinkan agar kerja sama itu dapat berlangsung. (M-5)
Sumber: SUARA PEMBARUAN (21/11/1995)
_______________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 309-311.