PRESIDEN : PENANGANAN DAERAH KUMUH TANGGUNG JAWAB BERSAMA

PRESIDEN : PENANGANAN DAERAH KUMUH TANGGUNG JAWAB BERSAMA[1]

 

Jakarta, Suara Pembaruan

Presiden Soeharto menegaskan, daerah kumuh adalah daerah yang tidak layak huni. Daerah kumuh juga merupakan cermin adanya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Karena itu, penanganan daerah kumuh harus mendapat perhatian dan menjadi tanggungjawab bersama, tanggungjawab pemerintah serta seluruh golongan lapisan masyarakat.

Presiden mengatakan hal itu dalam sambutannya ketika meresmikan rumah susun Bidaracina, Jakarta Timur, Jumat pagi.

Menurut Presiden, rumah tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang utama. Tanpa rumah tinggal yang layak ; perwujudan keluarga yang bahagia dan sejahtera akan mengalami kesulitan. Masyarakat yang maju dan sejahtera dan berkeadilan sosial yang menjadi tujuan pembangunan juga tidak mungkin dapat diwujudkan jika puluhan juta dalam keluarga tidak dapat hidup sejahtera.

Menyadari akan hal itu, maka dalam melaksanakan pembangunan selama ini pemerintah telah berusaha sekuat tenaga memenuhi kebutuhan rumah tinggal bagi masyarakat. Kita semua mengetahui bahwa penyediaan rumah bagi masyarakat bukan pekerjaan yang mudah. Masalah perumahan juga mempunyai kaitan dengan masalah­masalah pembangunan yang lain seperti pemilikan tanah, peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan pembanguan industri dan sebagainya.

Pada bagian lain sambutannya, Presiden menjelaskan, pembangunan rumah susun Bidaracina merupakan mencerminkan tingginya kesetiakawanan sosial masyarakat, khususnya masyarakat Jakarta. Karena rumah susun tersebut dibangun dengan bantuan dana para pengusaha. Peruntukannya adalah bagi saudara-saudara kita yang tinggal di daerah aliran Sungai Ciliwung yang sedang dibenahi terus menerus.

“Dalam masa pembangunan sekarang ini, kita harus terns memperkuat rasa kesetiakawanan sosial. Sebab, pembangunan kita mengutamakan kemakmuran masyarakat, bukan kemakmuran orang seorang. Hakikat pembangunan kita adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia.” kata Presiden.

Presiden mengatakan, daerah aliran Sungai Ciliwung perlu dibenahi, karena daerah ini salah satu daerah kumuh di Ibu Kota. Daerah-daerah kurnuh sepanjang sungai ini telah mengotori sungai, menghambat aliran sungai, menurunkan mutu dan lingkungan banyak hal yang merugikan semua anggota masyarakat.

Padahal Sungai Ciliwung merupakan salah satu surnber kehidupan yang penting bagi masyarakat Jakarta, Sungai Ciliwung harus bersih dan terpelihara baik.

Membantu

Sementara itu, dalam acara temu wicara dengan warga rumah susun (rusun) Bidaracina Presiden mengingatkan agar seluruh warga yang lahannya diprogramkan untuk pembangunan rusun bersedia membantu pemerintah dengan ikut berpartisipasi.

“Partisipasi itu bisa dalam bentuk pengorbanan. Sukses pembangunan tergantung dari rakyat. Maka dalam membangun rusun juga diharapkan partisipasi masyarakat, yaitu merelakan lahannya untuk dibangun.” tutur Kepala Negara.

Kepala Negara mengakui bahwa kini banyak yang mengatakan bahwa dia telah tinggal lama di suatu lahan dan sudah membayar pajak, sehingga merasa mempunyai hak atas tanah tersebut. Bahkan ada yang mengatakan ingin tinggal terus sampai mati di atas tanah tersebut.

Kalau begitu, menurut Presiden, tidak dapat dibangun rusun sesuai dengan rencana pemerintah. Apalagi ada 1 sampai 2 orang yang tidak mau menerima hasil musyawarah bersama. Hal seperti inilah yang membuat rencana pemerintah sulit dilakukan.

“Kalau masyarakat merasa mempunyai hak, kewajibannya juga harus dituruti. Kalau orang lain sudah mau menerima (ganti rugi) yang lain mau saja. Jadi partisipasinya dalam bentuk pengorbanan.” kata Presiden.

Presiden berpendapat, kalau warga tidak mau merelakan tanahnya untuk pembangunan rusun, itu berarti menyengsarakan orang banyak.

Sumber : SUARA PEMBARUAN (24/03/1995)

_________________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 715-717.

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.