Presiden Penuhi Harapan Warga Sumbawa:
DAM MAMAK BAGAIKAN LAMPU MEMIKAT LARON
[1]
Mataram, Suara Pembaruan
Peresmian Dam Mamak bagi masyarakat NTB khususnya di kabupaten Sumbawa mempunyai arti yang sangat penting dari sisi meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran.
Momentum itu mempunyai nilai historis, bukan saja karena diresmikan oleh Kepala Negara akan tetapi dengan berfungsinya Dam Mamak akan merubah sistem ekonomi , sosial dan budaya masyarakat di kabupaten Sumbawa yang telah memiliki tradisi turun-temurun selama beberapa abad.
Selama ini masyarakat Sumbawa, dengan tidak tersedianya cukup air untuk pertanian, alamnya yang sebahagian besar kering mengandalkan peternakan sebagai ketergantungan ekonomi masyarakat setempat.
Dam Mamak yang diresmikan Presiden Soeharto 11 April lalu merupakan pilihan tepat dalam mengatasi kekurangan air di pulau Sumbawa. Pembangunannya mendapat dana bunga lunak dari Asian Development Bank (ADB) sebesar Rp 45 miliar yang mampu mengairi sawah seluas 5.000 hektar lebih setelah beroperasi.
Bahkan sebuah pembangkit tenaga listrik dengan tenaga air (mikro-hidro) akan pula segera berfungsi yang menurut rencana akan memberikan penerangan bagi 1.500 KK yang ada di sekitar dam tersebut.
Selain itu bendungan ini akan memberi nuansa bam bagi keindahan alam dan akan dijadikan tempat rekreasi dan objek pariwisata air di kabupaten Sumbawa. Letaknya yang hanya sekitar 45 Km dari ibu kota Kabupaten Sumbawa Besar akan bisa menjadi pemikat bagi masyarakat untuk memanfaatkan lahan-lahan yang selama ini tidak bermanfaat menjadi lahan pertanian produktif baik itu tanaman pangan dan tanaman perkebunan.
Gubernur NTB, H. Warsito dalam satu kesempatan menyatakan melalui kepemimpinannya diupayakan berbagai terobosan dalam meningkatkan dan memajukan daerah dan masyarakat NTB.
“Nah, salah satunya dam Mamak ini, kita harap menjadi lampu yang memikat laron. Orang Lombok mau datang pindah kemari, ” tutur Warsito. Dengan membangun dam yang cukup mahal itu diharapkan pemerataan menyebaran penduduk dari Lombok yang padat penduduknya ke Sumbawa yang luasnya tiga kali pulau Lombok tetapi masih sangat kosong penghuni.
Dengan adanya dam kemudian dilakukan pencetakan sawah bam sebanyak 529 hektar lebih. Lahan sawah bam itu diharapkan diberikan kepada penduduk yang akan pindah dari Lombok dan sebahagian untuk masyarakat setempat.
Bendungan Mamak merupakan salah satu bendungan yang dibangun di kabupaten Sumbawa. Beberapa bendungan yang dibangun untuk pengairan teknis antara lain seperti bendungan/dam Batu Bulan yang akan mengairi sawah 5000 hektar, Dam Tiu Kulit di Kecamatan Pelampang pada tahun 1903, Lunyuk Kompleks di tahun 1997 dan juga di Kecamatan Empang. Secara keseluruhan rencana pembangunan berbagai bendungan akan merupakan berkah yang akan membuat Pulau Sumbawa yang selama ini kering meranggas menjadi pulau yang hijau royo-royo. Maka kehidupan masyarakat akan beralih kepada pola pertanian teknis yang intensif dari kebiasaan pertanian non-teknis seperti berladang, tegalan dan melepas ternak secara bebas di lahan-lahan yang ada.
Penyesuaian
Maka setelah bendungan demi bendungan akan dibangun secara keseluruhan di pulau Sumbawa, timbul pertanyaan sejauh manakah masyarakat pulau Sumbawa yang seluruhnya kurang satu juta orang dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru pasca bendungan?
Selama ini masyarakat di sana terbiasa dengan kondisi lingkungan yang kering tanpa air. Peternakan dipandang sangat cocok bagi mereka, oleh sebab itu sudah siapkah petani peternak untuk beralih menjadi petani lahan, asal yang memproduksi tanaman pangan?
Mampukah nanti kebiasaan masyarakat Sumbawa dengan hukum adat setempat yang menempatkan petemakan sebagai yang dominan,yaitu tanaman pertanian harus dipagar kuat-kuat sementara ternak-ternak di lepas bebas.
Kebiasaan selama ini, tidak pernah pemilik ternak akan dipersalahkan oleh sangsi adat karena merusak tanaman karena memakan dan merusak lahan-lahan pertanian, sebab telah menjadi ketentuan petani yang memiliki lahan yang harus bertanggung jawab terhadap kerusakan itu dan menanggung akibatnya.
Jangan dipersalahkan kuda, kerbau, sapi dan kambing yang masuk. Yang salah adalah petani pemilik lahan yang tidak memagar tanamannya kuat-kuat. Gambaran bila menyaksikan kondisi Sumbawa maka lahan-lahan pertanian akan dipagar kuat-kuat dan tinggi-tinggi dengan pohon hidup atau balok-balok kayu besar. Sementara kita akan sering menjumpai sekawanan kerbau, sapi atau kuda yang lepas bebas tanpa digembalakan.
Kebiasaan yang telah turun-temurun berlangsung ini sudah tentu perlu di cari jalan keluarnya apabila nanti Dam Mamak benar-benar sudah berfungsi. Tantangan adalah merubah pola kebiasaan lama menjadi pola baru di mana peternak mau menggembalakan ternaknya dan dikandangkan dengan pengawasan sehingga tidak akan merusak lahan-lahan pertanian tanaman pangan yang segera akan berkembang di kabupaten Sumbawa dan Pulau Sumbawa umumnya.
Melihat gambaran urnurn kondisi geografis Pulau Sumbawa yang luasnya sekitar 15.414 kilometer persegi dengan kondisi hujan yang tidak merata dan pendek menunjukkan pulau ini beriklim kering. Tanahnya secara umum terdiri dari batuan vulkanik dengan delapan jenis endapan seperti, litosol, mediteram dan ragosol. Jika dilihat dari pemanfaatan lahan yang ada selama ini maka 0,82% pemukiman, 17,4% lahan pertanian, 1,74% perkebunan, 66,92% hutan, 10,9% semak dan alang-alang, 0,85% rawa dan tambak 24,2% tanah tandus dan lainnya.
Di lahan-lahan yang kering baik di musim hujan atau kemarau masyarakat Sumbawa biasa melepas ternaknya dalam kawanan- kawanan tanpa diangon. Pemilikan ternak di sini bisa ratusan atau puluhan seorang. Biasanya, setiap pemilik sudah tahu dimana ternaknya berkeliaran, sehingga cukup sekali waktu dia menengoknya dan setiap ada yang barn lahir setelah beberapa bulan diberi ciri sebagai tanda pemiliknya.
“Yang heran, dalam gerombolan ternaknya itu, si pemilik tahu ada ternaknya yang hilang, pada hal ia jarang melihatnya, ” kata seorang penduduk. Masyarakat Sumbawa memandang ternak sebagai simbol status. Siapa pemilik ternak terbanyak dialah orang terpandang dan terkaya.
Oleh sebab itu masyarakat Sumbawa sudah menyatu dengan kehidupan peternakan dengan pemeliharaan tradisional merupakan ancaman dan lahan pertanian yang ada.
Oleh sebab itu Menteri PU Radinal Mochtar ketika berkunjung ke Sumbawa meninjau pembangunan Dam Mamak Desember tahun lalu berpesan agar peternakan jangan dilepas liar, harus diperhatikan agar tidak merusak badan bendungan dan jaringan irigasi yang melengkapinya sebab dibangun dengan biaya yang besar.
Memang ada harapan, seperti yang diungkap Bupati KDH TK II Sumbawa Yakub Koswara bahwa sawah baru seluas 529 hektar yang dicetak mengiringi kehadiran Dam Mamak adalah diperuntukkan kepada 300 KK warga Lombok dari Lombok Barat dan Lombok Tengah yang akan dipindahkan. Dari mereka akan tertular pola-pola baru dalam teknologi pertanian dilahan basah yang akan ditularkan kepada masyarakat tani setempat yang biasa berladang dan menanam padi ditegalan dengan sistem gogo.
Harga Tanah
Satu hal lain yang akan menjadi dampak kehadiran bendungan itu mempengaruhi harga tanah disekitarnya. Selama ini di Sumbawa karena lahan kering harga tanah hampir tak ada artinya bila dijual.
Dalam perhitungan bahwa dengan terairinya lahan-lahan pertanian seluas 5.000 hektar lebih akan meningkatkan intensitas produksi dari 105% menjadi 240%. Demikian pula perikanan juga akan menunjukkan produksinya. Oleh sebab itu 5.000 bibit ikan akan segera ditebar dan akan dilepas secara simbolik oleh Kepala Negara.
Masyarakat Sumbawa jelas sangat bersyukur dengan kehadiran bendungan itu walau sudah tentu ada hal-hal yang masih bersifat antagonistis dari dua kepentingan yang akan muncul, merubah diri dari petemakan menjadi petani yang diandalkan.
Seraya kita sudah tentu tetap memperhitungkan secara cermat dampak positif yang akan dihadapi setelah bendungan ini berfungsi maupun yang berpengaruh secara negatif baik lingkungan budaya, sosial dan ekononli masyarakat setempat. Pembaruan/Chairul Makmursyah
Sumber: Suara Pembaruan (13/04/1992)
_________________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 751-761.