PRESIDEN: PERJUANGAN BUKAN ‘HANTAM KROMO
Kini sudah tiba saatnya Indonesia mengembangkan kebudyaan dan kebiasaan yang positif dalam hubungan antar bangsa, perundingan dan persahabatan, kerjasama dan bantu membantu secara konstruktif, Presiden Soeharto mengatakan ketika melantik empat orang duta besar RI di Istana Negara, Sabtu.
Dikatakannya, untuk mengusahakannya, diperlukan prinsip-prinsip bersama.
Pertama, semua negara hendaknya saling menghormati kedaulatan penuh negara lain. Di dalamnya termasuk sikap tidak akan mencampuri urusan dalam negeri orang lain serta menghormati sistem sosial dan politik yang ditempuh suatu bangsa untuk membangun bangsanya.
Kedua, semua negara hendaknya menjauhkan diri dari nafsu ekspansionis, baik politik, ideologi, ekonomi maupun militer.
Ketiga, dalam semangat saling menghormati itu, semua negara hendaknya memperhatikan kepentingan negara lain tanpa mengorbankan kepentingan nasionalnya, katanya.
Prinsip yang terakhir, menurut Presiden Soeharto, perlu dikembangkan kerjasama untuk maksud-maksud damai dan usaha bersama untuk meningkatkan kesejahteraan lahir batin semua umat manusia.
Mereka yang dilantik adalah Djoko Joewono untuk Suriname menggantikan Utoyo Sutoto, Laksamana Sudarsono menggantikan Hardi, untuk Republik Sosialis Vietnam, Mayjen Soedarmo Djajadiwangsa menggantikan Adlinsyah Jenie untuk Sri Langka merangkap Maldive; dan Raymond Toto Prawira Supradja menggantikan RM Sumarso untuk Vatikan.
Selanjutnya Presiden mengatakan, prinsip-prinsip tersebut akan gampang dikembangkan dan dilaksanakan, apabila setiap bangsa mampu dan mau mengendalikan diri dan kepentingannya, karena terpanggil oleh tugas kewajiban bersama yang luhur, ialah untuk dapat hidup merdeka, damai, adil, dan makmur dalam lingkungan masyarakat bangsa-bangsa di dunia.
"Di atas prinsip-prinsip itulah kita laksanakan politik luar negeri kita yang bebas aktip, yang kita letakkan titik beratnya kepada prioritas nasional dewasa ini, ialah pembangunan ekonomi," kata Presiden.
Selanjutnya dikatakan, pembangunan ekonomi itu justru untuk memperkuat ketahanan nasional. Dengan memperkuat ketahanan nasional, berarti bertindak aktip untuk menghindarkan diri dari kemungkinan keretakan-keretakan dari dalam. Dan dengan memiliki ketahanan nasional, diusahakan menghalau datangnya bahaya dari luar.
Pada bagian lain, dikatakan: "Tugas seorang diplomat Indonesia adalah melaksanakan diplomasi perjuangan. Akan tetapi bukan berarti kita boleh "hantam kromo" saja tanpa perhitungan dan tanpa mengindahkan kebiasaan dan kepantasan diplomatik dalam hubungan antar bangsa."
Tugas duta besar bertambah penting dalam jaman yang serba komplek sekarang ini, di mana harapan akan perdamaian dan kecemasan akan peperangan datang silih berganti, yang kadang-kadang muncul dengan mendadak, kata Presiden.
"Bagaimanapun juga, jalan menuju perdamaian harus diusahakan oleh semua bangsa,” katanya. Menurutnya, apabila dahulu orang mengatakan bahwa peperangan adalah kelanjutan dari jalan diplomasi yang menemui jalan buntu, maka sekarang seyogyanya meneguhkan pendirian bahwa diplomasi adalah alat untuk mengakhiri dan menghindari meletusnya peperangan.
Pengalaman setelah Perang Dunia ll menunjukkan, peperangan bukan jalan keluar untuk menyelesaikan perbedaan pandangan atau kepentingan nasional antar negara.
Terima Dubes
Presiden Soeharto pada hari itu juga berturut-turut menerima dua penyerahan surat kepercayaan masing-masing dari Duta Besar Luar biasa dan Berkuasa Penuh Republik Rakyat Bangladesh dan Kerajaan Belgia untuk Republik Indonesia, dalam suatu upacara di Istana Merdeka.
Duta Besar Bangladesh, M. Shamsul Islam, menggantikan duta besar yang lama AHS Aiaul Karim. Sedang Duta Besar Kerajaan Belgia Jacques Ivan D’hondt menggantikan pejabat lama Marxel Van Roey, yang telah selesai tugasnya di Indonesia.
Ketika menerima Dubes Bangladesh yang baru, Presiden Soeharto mengatakan, sebagai sesama bangsa Asia dan sebagai sesama negara yang sedang membangun, perlu terus berusaha memperluas kerjasama, karena hanya dengan perbaikan ekonomi dan sosial rakyat akan dapat ditingkatkan kehidupannya.
”Tugas tersebut jelas merupakan tantangan yang berat bagi negara-negara yang sedang membangun. (DTS)
…
Jakarta, Merdeka
Sumber: MERDEKA (21/06/1980)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 604-606.