PRESIDEN: PETANI JANGAN BERSIKAP “NRIMO” SAJA

PRESIDEN: PETANI JANGAN BERSIKAP “NRIMO” SAJA

 

Baturaja, Suara Karya

Presiden Soeharto mengharapkan kepada masyarakat petani agar tidak bersikap “nrimo” saja jika melihat hal-hal yang kurang benar karena sikap demikian itu bisa disalah tafsirkan oleh pihak luar.

Kepala Negara, dalam temu wicara dengan para petani Supra Insus dan petani peserta PIB selesai acara Panen Raya dan meresmikan 6 proyek pembangunan di Desa Sidomakmur Ogan Komering Ulu (lebih kurang 300 km dari Palembang), Sabtu menambahkan masyarakat harus berani mengajukan saran atau keberatan-keberatan jika melihat ada hal hal yang kurang benar.

Dalam temu wicara dengan para petani yang tampil bersahaja dan lugu Presiden mengingatkan dalam alam demokrasi kalau ada hal-hal yang kurang benar saudara-saudara jangan diam saja.

Sikap “nrimo” menerima apa adanya dan diam saja melihat hal-hal yang tidak benar menurut Presiden harus diubah, Presiden menyatakan tidak ingin orang luar menganggap masyarakat Indonesia terlihat bersikap “nrimo”, karena jika keadaan masyarakat Indonesia bersikap “nrimo” maka orang luar menganggap apa yang dicapai sekarang semata mata karena adanya rasa takut di kalangan rakyat.

Presiden lalu menguji para petani peserta temu wicara itu mengenai program Supra Insus padi apakah pemerintah memaksakan program itu kepada para petani. Peserta temu wicara yang menikmati manfaat Supra Insus itu secara langsung menjawab bahwa mereka tidak merasa dipaksa untuk melaksanakan Supra Insus, sawah mereka yang semula hanya menghasilkan sekitar 6 ton padi tiap ha sejak mengikuti Supra Insus memperoleh 10 ton.

Dalam kesempatan temu wicara dengan para petani di Kecamatan Belirung, Kabupeten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, Presiden Soeharto mencoba menggugah rakyatnya khususnya kaum petani memiliki sikap terhadap hal-hal yang kurang benar.

Dengan tekanan yang dapat memberikan dorongan hidup bermasyarakat Presiden mengajak masyarakatnya untuk berani mengajukan rasa keberatan dan saran-saranjika mengetahui ada hal­hal yang kurang benar.

Kepada para petani yang tengah bertemu wicara langsung itu Presiden menandaskan, dalam alam demokrasi, kalau ada hal-hal yang kurang benar, para petani bisa mengajuk an keberatan dan saran, jangan diam saja. Sebab mengajukan keberatan dan saran akan lebih baik daripada mengungkapkan hal-hal yang kurang benar itu kepada orang luar.

Ajakan Presiden Soeharto ini kita rasakan sebagai suatu ajaran, suatu bimbingan, suatu pendidikan politik yang langsung diterima oleh masyarakat kecil. Pendidikan politik dalam arti luas adalah tumbuhnya kesadaran saling memiliki bukan saja untuk peringkat atas tetapijuga peringkat bawah.

Bila kesadaran saling memiliki ini tumbuh dengan sehat di semua kalangan barangkali kita bisa mengatakan masyarakat kita semakin dewasa. Bagaimana masyarakat yang dewasa itu? Masyarakat yang sudah dewasa adalah di samping mampu memberikan ide-ide, gagasan­ gagasan pembangunanjuga siap untuk menerima saran-saran, kritik­ kritik dari mana pun datangnya.

Dengan adanya saran dan kritik dapat dikatakan suatu pertanda tumbuhnya partisipasi aktif dari masyarakat luas. Masa ini bukan lagi masa mobilisasi yang sifatnya didorong-dorong dari atas, bahkan ada kesan dipaksakan dari atas. Sudah saatnya masa dorongan atau paksaan dari atas diperkecil sementara membangun kesadaran masyarakat perlu terus ditumbuhkan dan dibina sehingga kesadaran membangun ini merata.

Yang paling pokok untuk menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan rakyat kecil berani berkata temyata hams dimulai dari atasan yang berani menghadapi kenyataan dan berani menerima suara­ suara dari bawahan. Kalau pihak atasan dengan dada lapang dapat menerimanya, maka di sanalah akan dimulai keberanian rakyat kecil untuk menyampaikan hal-hal yang dilihatnya kurang benar.

Sungguh kita bersimpati atas ajakan Presiden yang begitu ingin mendidik masyarakat petani untuk tidak menjadi masyarakat “nrimo”. Dibarengi dengan kemauan politik Mandataris MPR, maka perlu juga diciptakan suatu iklim agar para pejabat mampu berlapang dada ketika menerima saran atau kritik dari masyarakat.

Bila kondisi ini bisa dibangun berimbang. Insya Allah antara ide­ ide besar, gagasan-gagasan segar serta pemikiran-pemikiran mulia dari pihak pemerintah atau dari pihak atasan akan dengan mudah mencucur ke bawah sebagai bagian miliknya masyarakat. Ia menjadi milik masyarakat sejauh ide-ide, gagasan-gagasan serta pemikiran-pemikiran tersebut tidak tertutup untuk disorot mungkin dari segi konsepnya maupun dari segi pelaksanaannya.

Memang benar bila tanpa respon dari masyarakat bawah kita merasakan kurang mendapat tantangan untuk memacu ide-ide baik tersebut. Sebaliknya bila ada respon positif dari masyarakat maka ide­ ide atau gagasan-gagasan pembangunan tersebut akan semakin menjadi sempurna. Dan sekaligus partisipasi aktif dari masyarakat akan tumbuh dengan sendirinya.

Ada dua hal gejala yang kurang baik yang datang dari masyarakat bila konsep pembangunan ini kurang berkenan di masyarakat. Pertama, mereka akan diam atau “nrimo” saja apa yang diperintah dari atasan. Kedua, mereka melakukan bisik-bisik di tengah masyarakatnya sendiri. Tindakan bisik-bisik amat berbahaya bila dibiarkan, sebab ia akan berkepanjangan menjadi suatu isu yang berbahaya yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.

Lebih baik mereka berbicara lantang dari pada berbisik-bisik yang bisa meresahkan masyarakat lebih luas. Jadi sekali lagi, ajakan Presiden Soeharto kepada para petani untuk mulai berani mengajukan rasa keberatan dan saran-saran jika memang diketahui ada hal-hal yang kurang benar mengandung arti pendidikan politik berkesadaran tinggi dan sekaligus dengan maksud agarjangan sampai kebudayaan “nrimo” dan bisik-bisik dibesarkan dan dikembangkan.

Era tinggal landas memang sangat tergantung kepada kedewasaan warga masyarakat itu sendiri. Dan hal ini perlu dibangun dengan menumbuhkan keberanian berkata yang benar bila hal itu dipandang benar. Di samping itu harus pula dibangun keberanian menerima saran dan kritik untuk pihak atasan.

 

 

Sumber : SUARA KARYA (26/02/1990)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XII (1990), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 543-547.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.