PRESIDEN: PUTARAN URUGUAY JADIKAN TPT. PERDAGANGAN BEBAS

PRESIDEN: PUTARAN URUGUAY JADIKAN TPT. PERDAGANGAN BEBAS[1]

 

Nusa Dua, Bali, Antara

Presiden Soeharto mengat akan, hasil perundingan putaran Uruguay secara berangsur-angsur membuat tekstil dan produk tekstil (TPT) menja di perdagangan bebas. Ini dimaksudkan supaya TPT. memberi sumbangan besar bagi pembangunan Indonesia dan negara berkembang umumnya, kata Presiden pada pembukaan Konvensi X Federasi Pakaian lnternasional (IAF- International Apparel Federation) di Nusa Dua, Bali, Selasa. Di bidang tekstil dan produk-produknya, Indonesia sebagai pengekspor tertekan dengan peraturan perdagangan tekstil yang berlaku, seperti “multi fiber arrangement” (MFA) dan penerapan proteksionisme oleh negara-negara maju pengimpor tekstil.

Menurut Presiden Soeharto, dalam situasi perekonomian dunia yang kurang menggembirakan menyebabkan masing-masing negara berusaha menghindarkan diri dari kesulitan ekonomi sehingga muncullangkah-langkah proteksionisme. Negara-negara maju melindungi diri dengan berbagai pagar tarif, kuota dan sebagainya. Langkah proteksionisme tersebut menurut presiden jelas membawa akibat yang makin parah bagi negara-negara berkembang. Untuk itu, Presiden Soeharto berharap agar hasil perundingan putaran Uruguay secara berangsur dapat membuat perdagangan TPT menjadi bebas, sehingga ekspor TPT. dapat memberikan sumbangan besar bagi kelangsungan pembangunan nasional.

Namun, kata Presiden Soeharto, harapan tadi ternyata juga masih menghadapi hambatan dengan berbagai syarat yang diajukan negara-negara maju. Sebagai salah satu negara penandatangan GAIT, kata Presiden Soeharto, Indo­nesia dalam mengembangkan industri TPT, secara konsisten menyesuaikan kebijakannya dengan ketentuan-ketentuan GATT. Langkah yang diambil, Antara lain sertifikat ekspor dihapus,hambatan-hambatan non tarif ditiadakan dan tarif diturunkan.

“Kita bisa berbesar hati karena industri TPT menjadi salah satu cabang industri yang penting dan realisasi ekspornya memberi sumbangan besar kepada penerimaan devisa negara,”kata Prersiden.

Dilain pihak Presiden Soeharto mengakui industri TPT Indonesia selain mengalarni perkembangan pesat, masih menghadapi beberapa hambatan, misalnya masih tergantung pada bahan baku impor, khususnya kapas. Pengadaan mesin-mesin juga masih tergantung pada luar negeri karena industri dalam negeri belum mampu memenuhi seluruh kebutuhannya, disamping masih kekurangan tenaga ahli.

“Kami masih harus meningkatkan jumlah dan keahlian sumber daya man usia di bidang penelitian dan pengembangan teknologi proses industri tekstil”, demikian Presiden Soeharto.

Pencegahan Bersama

Presiden Soeharto mengatakan, ekspor negara-negara yang sedang membangun mempunyai arti yangjauh lebih luas dari sekedar penerimaan devisa. Terhambatnya ekspor berarti tertutupnya lapangan kerja bagi sejumlah besar or­ang, hancurnya industri yang sedang tumbuh dan lesunya perekonomian. Menurut Kepala Negara, keadaan akan bertambah berat jika pada saat yang sama, negara-negara yang sedang membangun mengalami pertumbuhan angkatan kerja berusia muda dalam jumlah yang tinggi.

Pertumbuhan angkatan kerja yang cepat dan jika tidak diimbangi dengan kesempatan kerja yang tersedia jelas dapat menyuburkan kegelisahan dan kegoncangan sosial dengan segala akibat yang luas, yang akhimya dapat menggagalkan seluruh usaha pembangunan.

“Keadaan yang demikian tadi tidak dapat kita biarkan berjalan berlarut-larut. Kita harus mengambil langkah pencegahan bersama, sebab dalam dunia yang terasa makin menyatu sekarang ini, kesulitan yang dialami suatu bangsa, cepat atau lambat akan dirasakan pula oleh bangsa-bangsa lainnya,”ujar Presiden Soeharto.

Kepala negara menilai, konvensi inidiselenggarakan pada saat yang tepat, yaitu saat akan diberlakukannya ketentuan-ketentuan perdagangan internasional hasil putaran Uruguay. Dengan ditandatanganinya persetujuan tersebut, maka terbukalah kesempatan yang lebih luas untuk meningkatkan perdagangan antarbangsa, termasuk perdagangan TPT. “Peluang ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional,” tegas presiden.

Peranan Nyata

Ketua IAF Takashi Hanishi pada kesempatan itu mengatakan kepercayaan IAF kepada API sebagai tuan rumah adalah karena peranan Indonesia dalam perdagangan tekstil dunia selama ini. Ia menilai Indonesia tetap dapat berperan dalam industri tekstil dunia melalui peningkatan efesiensi dan produktivitasnya walaupun menghadapi bermacam tantangan dan persaingan dari negara lainnya. Ketua API Handoko Djokosaputro melaporkan konvensi X selama dua hari diikuti 306 peserta dari 20 Negara antara lain Australia, Belgia, Columbia, Cyprus, Prancis, Jerman, Inggris, Hongkong, Jepang, Italia, Malaysia, Amerika Serikat dan tuan rumah Indonesia. Ia mengatakan tujuan konvensi untuk menyamakan persepsi antara sesama anggota IAF yang selalu mengahadapi tantangan dan perubahan baik dari teknologi, produksi maupun pemasaran. Menurut Handoko dengan ditandatanganinya kesepakatan yang diberlakukannya GAIT yang akan dimulai 1995, maka dengan segala aturan main yang disetujui,akan terbuka kesempatan pasar yang lebih luas. Pada pembukaan konvensi tersebut tampil juga sebagai pembicara Menteri Perdagangan S.B. Joedono,disamping Menteri Penggerak Dana Investasi/Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo tentang peluang investasi di Indonesia. Pembicara lainnya dari Jetro Jakarta, Jiichiro Fujiwara yang akan menyampaikan materi persiapan pasar tekstil Asia dalam mengahadapi pasar global, disamping pembicara lain dari Jerman, Italia, Hongkong dan Inggris. (U-DPS-001/DPS-002/EU09/14/06/9410:15/ru2

Sumber:ANTARA (14/06/1994)

____________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 272-275.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.