PRESIDEN RESMIKAN SIDANG RAYA DGI IX DI MANADO : AGAMA TIDAK DAPAT DIPAKSAKAN ATAU DICABUT OLEH NEGARA

PRESIDEN RESMIKAN SIDANG RAYA DGI IX DI MANADO : AGAMA TIDAK DAPAT DIPAKSAKAN ATAU DICABUT OLEH NEGARA

Presiden Soeharto menyatakan, agama berpangkal pada keyakinan orang per orang yang tidak dapat dipaksakan dan juga tidak dapat dicabut oleh orang lain, juga tidak oleh negara. Presiden menyatakan hal Ini dalam sambutannya pada pembukaan Sidang Raya IX Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI) yang ia resmikan di Manado, Sabtu malam.

Di hadapan para peserta Sidang Raya IX DGI, pemuka-pemuka agama dan warga masyarakat yang memenuhi stadion Klabat tempat upacara pembukaan berlangsung, Kepala Negara menyatakan, hak kebebasan beragama bukan pemberian negara dan bukan pemberian golongan.

"Kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang paling asasi dari manusia, dan langsung bersumber dari martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa", katanya.

Di dalam sambutannya itu Presiden juga menegaskan, bahwa Pemerintah tidak ingin mencampuri urusan intern masing-masing agama ataupun lembaga-lembaga agama.

Sekalipun demikian dikatakannya, adalah kewajiban Pemerintah yang bertanggung jawab agar dalam negara persatuan dan negara kekeluargaan yang berdasarkan Pancasila ini dapat dijaga keutuhan dan kerukunan dan keserasian hidup antara semua pemeluk-pemeluk agama yang berlain-lainan di tanah air.

Ia menunjukkan, bahwa kebebasan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa terjamin sepenuhnya berdasarkan pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Ini juga berarti jaminan akan kebebasan menyiarkan agama, kebebasan beralih agama dan keyakinan serta berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan keleluasaan mendirikan rumah-rumah ibadah. Yang penting, kata Presiden, adalah agar semua itu dilaksanakan sesuai dengan tata krama, nilai-nilai, kaidah-kaidah yang berlaku dalam perikehidupan dan perilaku bangsa Indonesia, dan tetap dalam semangat dan memantapkan persatuan.

Babak baru di Indonesia, dalam hubungan ini pada bagian yang lain sambutannya, Presiden menyatakan rasa bersyukur, bahwa persatuan dalam suasana kerukunan semua umat beragama di Indonesia telah memasuki babak baru sejak akhir Juni yang lalu, ialah dengan lahirnya wadah musyawarah antara umat beragama.

Dikatakan, wadah ini tidak lahir dengan sendirinya, tetapi lahir setelah tercapai kesepakatan yang mantap setelah melalui dialog-dialog yang panjang dan mendalam antara pemuka-pemuka agama dari Majelis Ulama Indonesia, Dewan Gereja-gereja di Indonesia, Majelis Agung Wali Gereja lndonesia, Parisada Hindu Dharma Pusat dan Perwalian Umat Budha Indonesia.

Dengan terbentuknya wadah tersebut Presiden menyatakan: "Dari mimbar ini saya ajak semua pemuka agama, semua ulama dan rokhaniwan, semua umat beragama untuk memanfaatkan Wadah Musyawarah Antara Umat Beragama ini semaksimal­maksimalnya, sehingga wadah yang telah dimufakati bersama ini dalam langkah kegiatannya benar-benar mencapai sasaran yaitu sebagai wadah bersama untuk berkonsultasi antara pemimpin-pemimpin dan pemuka-pemuka agama dengan Pemerintah."

Agama dan Kepentingan Nasional

Terhadap agama yang diakui sifatnya juga universal, Presiden Soeharto mengingatkan,

"sebagai warga negara Republik Indonesia, kita wajib tunduk kepada kepentingan nasional kita sendiri. Untuk itu ia minta pengertian yang dalam, agar hubungan antara umat beragama Indonesia dengan lembaga-lembaga agama di luar negeri dipandang dari wawasan yang luas."

Dikatakan, jika pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah mengenai hubungan antara umat beragama beserta lembaga-lembaga agamanya di Indonesia dengan umat beragama dan lembaga-lembaga agama yang sama di luar negeri, hal ini jauh dari maksud Pemerintah untuk membangun pagar-pagar pembatas.

Tujuannya tidak lain adalah agar hubungan-hubungan itu tetap dalam kerangka kepentingan nasional dan ketahanan nasional kita sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Hal yang serupa juga dijelaskan terhadap rohaniawan-rohaniawan asing yang kehadiran mereka perlu dilihat pula dalam wawasan yang luas. Dalam hubungan ini ia memuji, adanya usaha-usaha nyata yang telah diusahakan secara sungguh-sungguh untuk mendidik kader-kader rokhaniwan baru, yaitu putera-putri Indonesia sendiri, yang secara berangsur-angsur menggantikan rohaniwan-rohaniwan dari luar negeri.

Sidang Raya IX DGI yang pembukaanya diresmikan oleh Kepala Negara itu akan berlangsung sampai tanggal 31 Juli 1980 di kota Tomohon kota kecamatan yang terletak kira-kira 26 kilometer sebelah Selatan kota Manado.

Pada acara pembukaan Sabtu malam di Manado, sebelum Presiden, lebih dulu memberi sambutan Ketua Badan Pekerja Harlan DGI, Prof. Dr. P.D. Latuihamallo, Gubernur KDH Sulawesi Utara GH. Mantik, dan Menteri Agama H. Alamsjah Ratu Perwiranegara.

Sebelum kembali ke Jakarta, Minggu siang kemarin, Presiden, pagi-pagi mengunjungi Tomohon tempat berlangsungnya Sidang Raya IX DGI untuk meresmikan enam proyek pembangunan di Sulawesi Utara.

Keenam proyek tersebut masing-masing adalah : gedung Auditorium DGI di Tomohon yang menelan biaya Rp. 202.491 juta dengan sumber dana dari APBD Sulawesi Utara Rp. 135 juta, dan dari Gereja Masehi Injil l Minahasa (GMIM) Rp. 67,491 juta. Kemudian gedung Kantor Synode GMIM di Tomohon yang bernilai Rp. 84,4 juta dengan anggaran dari GMIM. Proyek-proyek jalan raya di Kabupaten Minahasa dan Bolaang Mongodaw yang seluruhnya mempunyai panjang 116,2 km berbiaya Rp. 10,697 milyar lebih dengan sumber dana dari APBN.

Proyek Air Bersih di Tomohon di Tahuna masing-masing berbiaya Rp 90 juta dan Rp. 370,- juta, dengan sumber dana APBN; dan terakhir proyek tung Kabupaten, Minahasa yang menelan biaya sebesar Rp. 1,062 milyar dan sumber dana APBN.

Peresmian ke-enam proyek tersebut dilakukan oleh Presiden dengan cara menandatangani batu prasasti sekaligus bertempat di gedung Auditorium DGI Tomohon, setelah penyelesaiannya lebih dulu dilaporkan oleh Gubernur KDH, GH. Mantik.

Pada acara kunjungan Kepala Negara yang berlangsung hari Sabtu dan Minggu itu di Sulawesi Utara, ikut mendampingi lbu Tien Soeharto, Menko Kesra Surono, Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro dan Nyonya, Menteri Agama Alamsyah dan Nyonya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef, Menteri Sekretaris Negara Sudharmono, Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat Drs. Cosmas Batubara dan Menteri Muda Urusan Pemuda Dr. Abdul Gafur. (DTS)

…

Manado, Suara Karya

Sumber: SUARA KARYA (21/07/1980)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 893-895.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.