PRESIDEN: SAYA KATAKAN ITU SALAH [1]
Jakarta, Kompas
PRESIDEN SOEHARTO berharap pada Pelita VI atau paling lambat dalam Pelita VII, sekitar 27 juta penduduk Indonesia yang masih hidup di bawah garis kerniskinan bisa diangkat derajat kehidupan mereka semua. Setelah menyampaikan harapannya itu, Kepala Negara mengatakan, “Ada orang yang mengatakan entah basa-basi atau tidak -kalau bertemu dengan saya selalu memberikan kata-kata yang menyeramkan bagi saya, bahwa seolah-olah pembangunan ini hasil kepemimpinan saya…Sayakatakan, itu salah.”
“Sesuai dengan konstitusi, saya ini yang melaksanakan apa yang dikehendaki oleh rakyat, yang melaksanakan secara keseluruhan adalah rakyat Indonesia, partisipasi rakyat Indonesia. Pembangunan tidak semata-mata tergantung pada penyelenggara negara. Saya yakin ini termasuk partisipasi dari Saudara-saudara, terutama dalam menggerakkan pembangunan,” tutur Presiden.
Pernyataan tanpa teks Kepala Negara ini disampaikan di Istana Merdeka, Jakarta, hari Selasa (20/7), ketika menerirna para peserta Pekan Wayang Indonesia Dalam kesempatan ini Kepala Negara banyak memberikan bekal dari filsafat pewayangan untuk melaksanakan pembangunan di Indonesia.
Presiden berbicara tentang pendidikan kepemimpinan yang tidak bisa diperoleh di sekolah tapi bisa ditanamkan lewat kidalang, yaitu dengan menyebarluaskan arti hasta brata yang menjadi dasar kepemimpinan pada kisah Ramayana dan zaman dunia pewayangan selanjutnya.
Selain itu Presiden Soeharto yang terkesan sangat mendalami dunia pewayangan, memperlihatkan bahwa Trilogi Pembangunan yang merupakan tumpuan pembangunan di Indonesia, bukan suatu hal bam, karena hal itu juga ada dalam filsafat pewayangan. Dikatakan, Trilogi Pembangunan diri dari stabilitas nasional, pertumbuhan, dan pemerataan, yang ketiganya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. “Jelas, tata tentremnya (kemakmuran) lebih dahulu, baru setelah itu kerto raharjo (rela bekerja); lalu gemah ripah lohjinawi (serta berkecukupan dan makmur)
Gemah ripah loh jinawi, tuwuh kang sarwo tinandur, murah kang sarwa tinuku (serba berkecukupan, tanaman serba subur, harga-harga murah), itulah digambarkan dalam pewayangan.
“Hakikatnya ini sama dengan Trilogi Pembangunan, yakni stabilitas nasional, baru kemudian pembangunan, pertumbuhan (gemah ripah Ioh jinawi) lalu pemerataan dan keadilan,” demikian Kepala Negara.
Kemudian Presiden mengatakan masalah pemerataan yang dikaitkan dengan cita-cita perjuangan, yakni masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. “Ini semua tidak mudah. Di mana mana, kalau adil saja gampang, tidak ada makmurnya. Bagi kemelaratan, semua adil. Adil untuk melarat. Tapi karena pakai makmur, itu yang sulit.”
Kemakmuran, kata Presiden hanya diwujudkan dengan pembangunan. Tanpa pembangunan tidak mungkin diwujudkan kemakmuran; “Kita bisa membuktikan dalam rangka pemerataan. Yang jelas tidak bisa kita capai sekaligus. Kalau pemerataan dalam arti keadilan kemelaratan itu gampang.” Dikatakan, pembangunan yang dilakukan di Indonesia sejak semula dalam rangka Trilogi Pembangunan, adalah sekaligus untuk pemerataan dalam rangka mengangkat derajat kehidupan rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Ketika pembangunan dimulai tahun 1969, ungkap Presiden, rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan masih 60 persen. Tapi dengan gigihnya pembangunan, tahun kemudian turun menjadi 15 persen (Sensus 1990). Menurut Presiden, kalau akhir-akhir ini pemerintah mengatakan masih ada rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan sebanyak 15 persen dari 183 juta orang, itu bukan berarti pemerintah baru mengetahui, tapi untuk menunjukkan bahwa walaupun pemerintah telah melaksanakan pembangunan. Selama 25 tahun, “Toh belum berhasil secara keseluruhan. Masih ada 27 juta orang penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan ini merupakan tantangan.”
“Mudah-mudahan pada Pelita VI, paling lambat Pelita VII, kita bisa mengangkat rakyat kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan,”kata Presiden
Ditunjukan pula kriteria Biro Pusat Statistik (BPS), yaitu mengukur pendapatan perkapita perbulan untuk rakyat di desa sama dengan di kota. Dari perhitungan harga tahun 1990, kalau rakyat di desa memperoleh penghasilan sebulan Rp 12.300 per orang dan di kota Rp 20.600 maka sudah lewat dari bawah garis kemiskinan. Karena dengan Rp 12.300 orang di desa bisa membiayai tidak hanya makan, sandang dan papan, tapi juga pendidikan.”Jadi kalau kita mempunyai ukuran di mana rakyat di desa mempunyai penghasilan dari perikanan, pertanian dan seterusnva sebesar Rp 11.300 per orang per bulan di kali jumlah keluarga, kalau lima berarti Rp Rp 61.500, itu berarti sudah lewat dari bawah garis kemiskinan,” demikian Presiden.
Dalam penjelasan tentang hal ini Presiden mengingatkan untuk berhati-hati di masa mendatang bila terjadi inflasi. Dikatakan pula, ukuran kemiskinan jangan hanya dilihat dari pekerjaannya saja, walaupun itu juga diperhitungkan. Walaupun kelihatannya orang miskin tapi kalau pendapatannya tinggi, itu berarti lepas dari garis kemiskinan.
“Misalnya pemulung, ini kelihatannya pekerjaan orang kotor, tapi mereka berpenghasilan Rp 5.000 per hari, artinya per bulan Rp 150.000,” tutur Presiden.
Tentang keberhasilan pembangunan itu, Presiden menyanggah pemyataan pemyataan bahwa pembangunan di Indonesia berhasil karena kepemimpinannya. “Saya katakan, itu salah” tuturnya.
Kemudian Kepala Negara menjelaskan tentang peningkatan kualitas masyarakat Indonesia, yang menyangkut kualitas lahir, batin, kepandaian dan keuletannya. Hal ini berkaitan dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM), yakni meningkatkan kehidupan pribadi dan kehidupan dalam masyarakat yang berkualitas.
“Hasta Brata”
Dalam kesempatan itu Presiden lalu menyinggung masalah kepemimpinan, kualitas kepemimpinan dari yang tinggi pemimpin itu bukan hanya sebagai Presiden, sampai ke segala lapisan dimasyarakat keluarga dan segala penjuru profesi.
Menurut Kepala Negara, untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan tidak diajarkan di sekolah. “Tapi saya kira ki dalang bisa memberi pelajaran dengan menyebarluaskan ajaran hasta brata yang menjadi dasar kepemimpinan pada waktu zaman Ramayana, di mana menjadi dasar kepemimpinan Romo Widjojo yang kemudian dinasehatkan kepada adiknya, Barata, yang dipercayai untuk memegang tampuk kepemimpinan kerajaan Ayodya selama Romo Widjojo menjalankan hukuman dari ayahnya.” Mengenai ajaran hasta brata ini ada pada lakon Srimakutoromo.
Di zaman Mahabarata, yang memberi wejangan tentang hasta brata adalah Begawan Kesowo Sidi kepada Arjuna. “Semua adalah hasta brata. Memberikan gambaran yang sebenarnya, ajaran yang mudah karena menggunakan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai ancar- ancar, titik tolak mendalami sifat dan watak alam semesta, baik watak dan sifat bumi, samudro (samudera), maruto (angin), angkoso, suryo, condro, dahono, (angkasa, matahari, bulan, api) dan kartiko (bintang). “Coba Saudara-saudara pecahkan. Kalau semua bisa mempelajari, mulai dari yang muda sampai kepada yang sekarang sedang memegang pimpinan, bisa menerapkan sifat dan watak alam yang digunakan sebagai ancer-ancer kepemimpinan tadi, saya kira Indonesia akan menjadi jaya,”demikian nasihat Presiden yang mengungkapkan bahwa kualitas kepemimpinan berdasarkan ajaran hasta brata tersebut telah dibuktikan sejak masa nenek moyang bangsa ini, yakni sejak zaman Sriwiyaya dan Majapahit.
Tidak Pamer
Di awal pidatonya yang beberapa kali mendapat sambutan tepuk tangan para peserta pekan wayang, Presiden juga membeberkan keberhasilan pembangunan selama lima kali Repelita. Dikatakan, selama ini belum ada kesulitan-kesulitan dalam hubungan dengan luar negeri. Indonesia dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya rata-rata 2,5 persen per tahun.
“Sedangkan pertumbuhan ekonomi di negara Jainnya, seperti AS dan Jerman, tidak Jebih dari 2,5 persen. Tapi mereka sudah melampaui pertumbuhan ekonomi negara kita,”ujarnya.
Keberhasilan Pembangunan ini, kata Presiden, berkat partisipasi rakyat, termasuk juga dari para seniman, terutama para dalang yang menggerakkan rakyat Indonesia ikut dalam pembangunan. “Karena itu bagaimana pun potensi dalang, seniman dan kebudayaan pewayangan kita masih akan tetap memegang peranan yang penting, tidak hanya waktu-waktu yang lampau, tapi juga yang akan datang.”
Menurut Presiden, selama membangun tidak pernah menggembar-gemborkan hasilnya. “Karena memang bukan watak kita untuk memamerkan hasilnya kepada negara-negara lain, tapi mereka mengikuti semua itu sehingga mereka ingin menggunakan Indonesia sebagai contoh di antara negara-negara berkembang,” sambungnya.
“Mereka memberi penghargaan-penghargaan atas sukses Indonesia; misalnya bidang pertanian, KB, pengelolaan pinjaman, dan seterusnya,” lanjut Presiden.
Disebutkan, UNESCO dan UNICEF juga memberi penghargaan kepada Indonesia. Hampir semua lembaga-lembaga dunia memberi penghargaan kepada Indonesia.
“Kita tidak minta-minta, tapi memang kenyataan mereka mempunyai kepentingan agar apa yang dilakukan Indonesia itu diteladani oleh negara-negara berkembang,” kata Kepala Negara.
Bahkan, lanjut Presiden, negara yang telah maju dibanding Indonesia, juga mengagumi Indonesia. Sebagai bukti, Presiden menceritakan hasil kunjungannya dari Malaysia.
Mulanya, ungkap Presiden, para pemimpin di Malaysia melihat Indonesia sebagai negara berkembang yang belum punya potensi. Tapi setelah mengikuti KTT Gerakan Non Blok di Jakarta bulan September tahun lalu, dan mereka melihat pameran hasil pembangunan yang ada dan meninjau proyek-proyek, mereka sangat mengagumi hasil pembangunan disini. Mereka baru tahu Indonesia sudah maju. “Mereka juga bangga, karena Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dapat menguasai teknologi,” tuturnya.
Menurut Presiden, setelah Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad pulang ke Malaysia, sekembali dari KIT GNB di Jakarta, segera mengadakan sidang kabinet dan menceritakan apa yang dilihat di Indonesia.
“Ia mengagumi dan tidak mengira apa yang dilihat di Indonesia. Ia memerintahkan semua menterinya untuk meninjau dan mempelajari Indonesia, apa penyebab keberhasilan Indonesia,” kata Kepala Negara . (osd)
Sumber: KOMPAS (21107/ 1993)
_______________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 170-174.