PRESIDEN SOEHARTO: ABRI TIDAK PERNAH RAKUS DENGAN KEDUDUKANNYA DI DPR

PRESIDEN SOEHARTO: ABRI TIDAK PERNAH RAKUS DENGAN KEDUDUKANNYA DI DPR

 

 

Tapos, Kompas

Presiden Soeharto menegaskan, ABRI terbukti tidak pernah serakah dalam kedudukannya di DPR. Meskipun untuk menjalankan fungsinya sebagai dinamisator dan stabilisator telah ditetapkan untuk memperoleh 100 kursi di DPR, tetapi dalam kenyataannya, ABRI telah merelakan 25 dari jumlah kursinya di DPR untuk diserahkan kepada non-ABRl non-partai dan lain sebagainya.

Dalam ketentuan disebutkan, 100 orang dari keseluruhan anggota DPR diangkat melalui Keputusan Presiden. Dan, dalam kenyataannya hanya 75 orang berasalABRl, yang diusulkan oleh Menhankam/Pangab dan 25 sisanya berasal dari non-ABRl atas usul organisasi yang bersangkutan atau atas prakarsa ABRl.

Dengan dikuranginya jumlah kursi di DPR, ABRl sudah tepa sliro (berbagi rasa), lalu kemudian muncul keinginan agar ABRl dikandangkan, demikian Presiden, maka ini berarti tidak mengerti terhadap sejarah perjuangan bangsa Indonesia dan tidak tahu manfaatkan pelaksanaan konstitusi atas dasar konsensus nasional.

“Jadi kalau kemudian ABRI sudah rela melepaskan suaranya di DPR/MPR kemudian masih dituntut supaya fungsinya sebagai kekuatan sosial politik ditiadakan, iniberarti boleh dikatakan dikeiati ngrogoh rempelo (diberi hati maujantung, Red.), artinya kalau rempelonya (jantung.Red.) diambil kan mati,” lanjut Presiden.

Kepala Negara menyalakan hal itu ketika sekitar 200 orang anggota Forum Komunikasi dan Konsultasi BP-7 se-Indonesia yang terdiri dari para manggala, penatar P-4 dan pejabat BP-7 berkunjung di peternakan Tapos, Bogor, (Jawa Barat) hari Minggu (16/2) kemarin. Dalam acara ini Presiden didampingi Ketua BP-7 Oetojo Oesman SH.

Menurut Presiden, kesadaran berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia tidak akan sampai ke hal itu. Sebab, kalau sampai ke situ, yakni “ABRl kembali ke kandangnya, ada kemungkinan akan terjadi peristiwa seperti di Venezuela.” Terjadi penggunaan senjata untuk menunjukkan ketidakpuasan kepada keputusan. Ini berarti kup. Di tempat kita jangan sampai terjadi seperti itu. Kalau ABRI sudah duduk sebagai kekuatan sospol, turut serta mulai dini menentukan haluannya, maka bila terjadi ketidakpuasan berarti juga tidak puas terhadap dirinya sendiri, demikian Presiden.

 

Supersemar dan Pemilu

Dalam pengarahannya selama hampir satu jam yang diselingi dengan humor, Presiden yang mengenakan baju tenun ikat berwama gelap, menjelaskan secara rinci mengenai berlangsungnya pembangunan politik, pemantapan Pancasila sebagai satu­satunya asas, konsensus nasional, pemilihan umum dan juga menyinggung soal Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Dalam kesempatan ini Presiden juga minta kepada para Manggala BP-7 untuk bertukar pikiran dengan mereka yang berpendapat bahwa yang sedang berlangsung sekarang ini di Indonesia adalah salah.

Selain itu, Presiden juga menyanggah tuduhan yangmengatakan selama ini pemilu yang telah lima kali selama Orde Baru tidak berjalan dengan wajar, dan rakyat melakukannya tanpa kesadaran. Kalaupun ada kesadaran, maka kesadaran itu bersifat semu.

“Pendapat ini sebenarnya terlalu merendahkan apa yang kita hasilkan. Bahkan, ada ketakutan akan muncul golongan putih (Golput) yang semakin banyak. Saya kira sampai sekarang pemilu yang sudah dilaksanakan lima kali, lebih dari 90 persen pemilih memasukkan suara mereka, kalau memang ada yang tidak ikut mereka bukan golput, tetapi berhalangan,” tutur Presiden.

Ketika menjelaskan mengenai konsensus nasional, Presiden mengungkapkan bahwa baru satu kali Surat Perintah 11 Maret digunakan, yakni membubarkan PKI sesuai dengan keinginan rakyat. “Sepanjang pengetahuan saya, Supersemar saya gunakan untuk itu saja,” ungkap Presiden.

 

Pembangunan Politik

Kepala Negara mengatakan, usaha yang dilakukan para manggala dengan pengarahan BP-7 selama 15 tahun ini telah meningkatkan kesadaran, kewajiban dan hak rakyat di bidang politik. “Saya berterima kasih, dengan usah yang tekun dari para manggala, dengan pengarahan dari BP7 pusat dan daerah.”

Meskipun demikian, tambah Presiden, banyak pengamat tidak bisa melihat kemajuan di bidang politik yang selama ini telah diupayakan. Mereka menilai pembangunan sekarang terlalu menitik beratkan bidang ekonomi, dan melupakan bidang lainnya, termasuk bidang politik. Masalahnya, mereka hanya melihat pembangunan ekonomi dengan hasilnya berupa bendungan, jalan, gedung dan bangunan fisik lainnya.Padahal pembangunan bidang politik tidak nampak, tidak bisa diraba, tidak bisa dilihat.

“Ini kalau dilihat dengan mata kepala saja, tapi kalau dilihat dengan mata hati, apalagi dengan pikiran yang rasional akan nampak sekali hasilnya pembangunan di bidang politik ini, terutama dalam meningkatkan kesadaran rakyat untuk mengetahui hak dan kewajibannya di bidang politik,” kata Presiden.

Ditegaskan, “segala sesuatunya harus kita hadapi dengan segala kesabaran untuk memberikan penjelasan kepada mereka. Beda pendapat inimungkin juga disebabkan pada waktu Orde Baru lahir mereka sedang berada di luar negeri, dan mereka tidak mengetahui proses apa yang terjadi.”

Kemudian Kepala Negara memperlihatkan mengenai konsensus nasional yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan. Dikatakan, ada tuduhan konsensus nasional ini tidak konstitusional, bertentangan dengan konstitusi.

Ada pula tuduhan yang mengatakan hal itu merupakan rekayasa belaka dari seseorang yang punya tujuan tertentu untuk mempertahankan status quo, untuk mempertahankan agar kekuasaannya itu tidak akan goyah. “Mungkin mereka mempunyai pandangan yang demikian karena tidak mengalami sendiri apa yang tetjadi pada saat kita mengembangkan konsensus nasional itu,” tegas Presiden.

Menurut Kepala Negara, adanya konsensus nasional muncul dari suatu tindak penerobosan terhadap suatu kemacetan dengan cara mengembangkan Demokrasi Pancasila lewat musyawarah mufakat antara DPR/GR dengan pemerintah untuk menyelesaikan UU Pemilu, UU tentang Susunan MPR/DPR dan UU Penyederhanaan Parpol.

Presiden memulai penjelasannya dengan peristiwa setelah terjadi Kup PKI yang gagal. Ketika itu terjadi situasi konflik karena Presiden (waktu itu) tidak tegas untuk memenuhi keinginan rakyat guna membubarkan PKI. Akhirnya lahirlah Surat Perintah 11 Maret. “Saya diberi wewenang untuk mengambil langkah yang dipandang perlu untuk menyelamatkan negara dan bangsa. Mengetahui ingin PKI dibubarkan, maka saya membubarkan PKI itu pada tanggal 12 Maret dan wewenangnya memang luar biasa,” kata Presiden.

Karena itu, lanjut Presiden, dalam sidangnya tahun 1966, MPRS memberikan pengukuhan terhadap Supersemar dalam Tap MPRS No. IX Tahun 1966. Dengan demikian Supersemar mempunyai kekuatan hukum konstitusi yang lebih kuat, isinya sama tapi sudah menjadi keketapan bukan lagi perintah dari Presiden tapi Keputusan MPRS.

Selanjutnya, demikian Kepala Negara, dari proses panjang itu kemudian bersama-sama DPRGR dipersiapkan, UU mengatur kehidupun politik, kekaryaan maupun keormasan menuju penyederhanaan parpol. Ini berjalan tahun 1967. Pada tahun 1968 dipandang perlu segera memutuskan untuk mengangkat Presiden yang defmitif (tetap) yakni pengemban Tap MPRS No.IX ditunjuk sebagai Presiden untuk menjalankan pembangunan.

Proses ini berlangsung karena waktu itu MPRS tidak mampu menyusun GBHN. Maka ditugaskan kepada pengemban Tap MPRS No.IX untuk merencanakan pembangunan lima tahun. Selain itu ditegaskan lagi untuk melaksanakan Pemilu 5 Juli 1971 dan tahun 1973 harus sudah Sidang Umum hasil Pemilu.

Perjalanan panjang hingga akhir 1969 untuk membuat UU menjadi macet Kemacetan ini bukan karena adanya perbedaan pemerintah dan DPR. Tapi disebabkan perbedaan yang tajam di dalam fraksi-fraksi di DPR. Dengan demikian pemerintah tidak dapat menyelesaikan. “Saya sebagai Presiden/Mandataris MPRS dan sebagai pengemban keputusan MPRS No.IX mau tidak mau hanya diam saja. karena persoalan ini bukan hanya persoalan Mandataris, tapi merupakan tanggung jawab bersama.” Penyelesaiannya ada dua jalan. Pertama dengan menggunakan TAP MPRS No.IX. “Tapi saya tidak menempuh cara ini, karena bel urn tentu akan didukung partai dan rakyat. Maka penyelesaiannya melalui musyawarah dengan induk fraksi parpol yang terdiri atas sembilan parpol dan Sekber Golkar,” ucap Presiden.

Setelah induk fraksi parpol bicara, barulah Presiden diberi giliran bicara untuk menyamakan pandangan mengenai tekad dari Orde Baru untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 45. “Semua menerima Pancasila sebagai dasar negara yang tercantum sebagai mukadimah UUD 45. Dengan demikian, akhirnya kalau kita sudah menerirna satu ideologi Pancasila maka ideologi lain ditinggalkan. Akhirnya semua dan kita laksanakan. Kalau sudah demikian dan landasan sama, sekarang bagaimana menyatukan kekuatan sosial politik dari kita yang sudah menerima Pancasila sebagai dasar negara, ideologi dan pandangan hidup untuk mencapai cita­ cita masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasi Ia,” tuturnya.

Proses selanjutnya setelah semua menerima Pancasila dan UUD 45, maka terjadinya sembilan kelompok partai menjadi dua partai ditambah Golkar. “Golkar itu di mana? Saya katakan Golkar itu tidak menonjolkan sesuatu yang lain tetapi selalu mencapai keseimbangan antara dunia dan akhirat, berarti cocok membuat program untuk mencapai keseimbangan hidup manusia,” Kepala Negara menjelaskan.

Dengan demikian, ada landasan untuk menentukan dua dari sembilan partai dan ketiga adalah Golkar. “Golkar sebagai kekuatan sosial politik juga harus punya hak yang sama dengan kekuatan sosial politik lainnya yangjuga duduk dalam legislatif untuk menentukan haluan negara,” kata Presiden.

Pada bagian lain Presiden menjelaskan mengenai kedudukan ABRl. Dikatakan, ABRl tidak membutuhkan mayoritas tetapi suara yang cukup membuat sedemikian rupa sehingga kehidupan demokrasi berjalan dengan baik. “ABRl sebagai prajurit Sapta Marga terikat pada Pancasila dan UUD 45. akhirnya ditentukan tidak usah dipilih , tetapi harus ada pengangkatan. Karena tidak perlu mayoritas tetapi suara dibutuhkan untuk berembug dan bicara maka maksimum hanya 20 persen saja,” ujar Presiden.

Dijelaskan oleh Presiden, inilah dasarnya sehingga diputuskan sepertiga anggota MPR dari ABRl, kata Presiden. “Sebetulnya dua pertiga dari anggota MPR masih bisa untuk mengubah UUD. Maka ditetapkan sistem referendum. Kalau MPR itu mau menggunakan pasal 37 untuk mengubah UUD 45, tanyakan kepada yang memberi kepercayaan dulu, tanyakan kepada yang berdaulat dulu, yaitu rakyat. Bisa tidak? Kalau diizinkan ya boleh tetapi kalau tidak diizinkan ya sudah.”

Setelah ada konsensus, partai-partai diminta untuk menerobos kemacetan di DPR dengan memberi petunjuk kepada fraksi-fraksinya untuk menyelesaikan UU Pemilu, susunan MPR/DPR maupun penyertaan parpol. Selanjutnya dijelaskan secara rinci hingga mencapai konsensus penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dan bagairnana perlunya diadakan penataran P-4.

 

 

Sumber : KOMPAS (17/02/1992)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 168-173.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.