Presiden Soeharto: AGAMA BUKAN PEMBERIAN NEGARA

Presiden Soeharto:

AGAMA BUKAN PEMBERIAN NEGARA[1]

 

Jakarta, Kompas

Presiden Soeharto sekali lagi menegaskan, negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan untuk beribadat, menurut agama dan kepercayaannya. Kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi yang paling mendasar, karena langsung berkaitan dengan martabat manusia sebagai pribadi dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

“Agama bukan merupakan pemberian negara dan bukan pula pemberian goIongan,” kata Kepala Negara.

Hal itu dikemukakan Kepala Negara saat menerima peserta Sidang Agung Konferensi Wali Gereja lndonesia-Umat Katolik 1995 di Istana Negara, Jakarta, hari Kamis (2/11). Hadir dalam acara ini antara lain Wakil Presiden Try Sutrisno, Menteri Agama ad interim Saadillah Mursjid MPA, mantan Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara, mantan Menteri Muda/Wakil Ketua Bappenas BS Mulyana, mantan Menteri Keuangan Frans Seda, Ketua Kelompok Pengarahan sidang Agung KWI/sekjen KWI Mgr Martinus D. Situmorang OFM Cap (Uskup Padang), Ketua Panitia Sidang Mgr Yos Suwatan MSc (Uskup Man ado), para uskup lainnya dari seluruh Indonesia, peserta Sidang Agung KWI Umat serta panitia. Dalam kesempatan ini Ketua Sidang Agung KWI-Umat/Ketua KWI Julius Kardinal Darmaatmadja SJ juga memberi laporan Sidang Agung. Kardinal mengucapkan terimakasih, “Bapak Presiden sungguh memperhatikan para peserta Sidang Agung dengan berkenan menerima kami hari ini walaupun telah Ielah dari perjalanan.” Tak lupa, Kardinal juga menyampaikan ucapan selamat kepada Presiden yang telah melakukan ibadah umroh.

Mayoritas-Minoritas

Presiden menekankan, paham kekeluargaan yang dianut di Indonesia tidak membolehkan diskriminasi dalam bentuk apa pun dan atas dasar apa pun. “Kita tidak membedakan, mayoritas dengan minoritas, apalagi mempertentangkannya. Yang kita dambakan adalah kerukunan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan,” kata Dalam semua masyarakat, lanjut Presiden,pasti ada benturan kepentingan satu dengan yang lain. Apa lagi dalam suatu masyarakat yang berkembang secara dinamis. “Namun kita tidak boleh membiarkan konflik itu tumbuh dan berkembang tanpa kendali,” kata Presiden.

Menurut Kepala Negara, harus diupayakan agar unsur penyebab konflik dalam masyarakat itu dikenali dan diselesaikan secara mendasar terlebih dahulu. “Jika konflik itu ternyata terjadi juga , kita usahakan untuk menyelesaikannya dengan memperhitLmgkan aspirasi dan kepentingan seluruh pihak,”kata Presiden.

“Penyelesaian konflik yang kita ingini adalah penyelesaian yang adil dan dapat diterima semua pihak, tanpa perlu ada yang merasa menang atau merasa kalah,” demikian Presiden.

Kepala Negara mengatakan di masa lampau maupun di saat ini, umat Katolik telah melahirkan tokoh-tokoh penting dalam perjuangan dan pembangunan bangsa Indonesia. Tidak dapat kita lupakan peranan tokoh-tokoh besar dalam perjuangan nasional seperti IJ Kasimo, Mgr A Soegijapranata SI atau Komodor Jos Soedarso,” kata Presiden.

“Dewasa inipun dalam masyarakat kita tidak sedikit guru dan rolianiwan Katolik yang telah mendidik dan menggembleng warga masyarakat kita dengan kualitas yang tinggi,”Ianjut presiden.

Presiden mengatakan kemajemukan agama di Indonesia pada dasarnya tidak lagi merupakan kerawanan. Kemajemukan agama, bahkan dapat merupakan kemajemukan potensi dan kekuatan yang dapat didayagunakan secara konstruktif untuk mendorong maju pembangunan.

Kepala Negara mengatakan bangsa Indonesia sungguh bersyukur mempunyai Pancasila sebagai dasar falsafah negara. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila telah memberikan sifat khas kepada negara kebangsaan Indonesia. “Dengan sila ini, negara tidak bisa memaksa dan tidak akan memaksakan suatu agama Lmtuk dipeluk oleh warga negaranya,”kata Presiden.

Surat Paus

Kardinal mengatakan ,dalam sidang agung ini setiap uskup peserta membawa tiga sampai enam orang umatnya. Sehingga sidang ini diikuti sekitar 400 orang lebih dari Sumatera Utara dan Aceh sampai ke Merauke dan Jayapura. Ada pula wakil dari Timor Timur. Menjelaskan beberapa garis besar dari basil sidang, Kardinal antara lain juga menekankan ,”Dasar petjuangan kami di tengah bangsa ini adalah iman dan wawasan kebangsaan. Artinya, kami ikut membangun bangsa Indonesia ini dan mencintai bangsa ini. Wawasan kebangsaan itu kami rasakan mendorong kami untuk pada waktu-waktu mendatang meneruskan komitmen kami kepada Pancasila, satu-satunya azas bermasyarakat, berbangsa dan bemegara, “kata Kardinal.

“Sebagai umat beriman yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa,” kami mau memperjuangkan kemanusiaan yang betul-betul adil dan beradab, membangun persatuan bangsa yang akhir-akhir ini nampak dibahayakan oleh pelbagai kesenjangan, mengusahakan lancarnya perwakilan dalam permusyawaratan yang akan semakin mengajak kita meningkatkan demokrasi, keadilan sosial yang meminta kami mengupayakan pemerataan kesejahteraan tanpa pamrih,” demikian Kardinal.

Kardinal juga menyampaikan laporan mengenai adanya surat dari Paus Yohanes Paulus II yang menegaskan kembali penghargaannya atas Pancasila dan seluruh usaha pembangunan bangsa Indonesia. Usai upacara Presiden dan Wapres mengadakan ramah tamah dengan para uskup serta peserta sidang agung lainnya.

Hasil Sidang Agung

Dalam konferensi pers di kantor KWI, Jakarta, Kamis (2/11), didampingi Sekjen KWI Mgr Martinus D Situmorang OFM Cap, Ketua Panitia Sidang dan Humas Sidang masing-masing Mgr Yos Suwatan MSC dan Marcel Beding, Kardinal menjelaskan hasil-hasil sidang agung. Ditegaskan lagi rasa syukur atas peluang yang diberikan kepada umat Katolik untuk memberikan sumbangan dalam melaksanakan pembangunan di segala bidang.

Kardinal mengatakan, umat Katolik selalu kukuh dalam keyakinan, Negara Kesatuan RI merupakan wadah satu-satunya yang dapat menampung semua penduduk nusantara dalam persatuan dan kesatuan yang dinamis. Keterpaduan itu selama ini menjadi pegangan yang kukuh bagi umat Katolik supaya beljuang mencapai cita-cita bangsa dalam negara RI berdasarkan pancasila dan UUD 45.

Pembangunan nasional, lanjutnya telah membawa keberhasilan yang tercermin dalam tersedianya sarana komunikasi yang makin Iancar, mobilitas sosial yang makin tinggi, etos kerja yang makin produktif, persepsi masyarakat yang semakin kritis. Menyebutkan keberhasilan itu, tidak berarti menutup mata terhadap berbagai macam kekurangan, penyimpangan dan kekeliruan. Masih harus diusahakan mengatasi kemiskinan , keterbelakangan, kesenjangan ekonomi dan sosial, serta krisis nilai. Kelalaian menghadapi tantangan itu, dapat menimbulkan reaksi-reaksi sempit seperti primordialistik yang mengancam persatuan dan kesatuan. Kardinal menyebutkan sejumlah masalah yang mendesak ditangani. Akibat industrialisasi dan urbanisasi yang terus meningkat, hendaknya sumber daya manusia (SDM) mendapat perhatian serta perlakuan yang lebih sesuai. “Harus lebih ditekankan bahwa manusia bukan alat produksi, tapi sebagai subyek,”kata Mgr Situmorang dalam penjelasan tambahannya. Umat Katolik, lanjut Kardinal, melihat masalah AIDS lebih dari sekadar bahaya dari segi medis. AIDS merupakan bahaya yang mengancam pembentukan, keutuhan dan kelanjutan keluarga yang sehat dan sejahtera. Karena itu seluruh masyarakat diajak menyadari sedini mungkin masalah tersebut, sambil meningkatkan kewaspadaan bukan hanya dari segi medis tetapi juga meningkatkan kadar moral dan etis dalam kehidupan sehari-hari.

Masalah Timor Timur, menurut peserta sidang, dirasakan memprihatinkan. Mengingat masalahnya memuat latar belakang dan kompleksitas yang bermacam­ macam, mereka mengimbau agar gereja setempat yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan rakyat Timor Timur diikutsertakan dalam proses penyelesaian.

Sumber: KOMPAS ( 03/11/ 1995)

________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 550-553.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.