Presiden Soeharto di Demak: PEMUGARAN MASJID BUKAN TINDAKAN PEMBOROSAN
Demak, Kompas
Sambil tersenyum. Presiden Soeharto Sabtu siang memukul beduk di Masjid Agung Demak, 22 kilometer arah timur laut ibu kota Propinsi Jawa Tengah. Suara beduk yang teramat nyaring, memecah suasana, mengalun berirama secara khas.
Peristiwa ini menandai selesainya pemugaran Masjid Agung Demak, bangunan peribadatan Islam yang diperkirakan mulai dibuat sekitar tahun 1479, lebih dari lima ratus tahun lalu.
Mendengar bunyi beduk, peralatan khas asli Indonesia yang secara tradisional selalu mengawali seruan azan mengajak orang bersembah yang, Ny. Tien Soeharto yang siang itu mengenakan baju dan kebaya lurik warna kemerahan langsung bertepuk tangan.
Tepuk tangan ini segera tenggelam dalam suara tepuk tangan para hadirin dan ratusan warga masyarakat yang sejak pagi rela berdesak dibawah panas terik, mengelilingi Masjid Agung Demak.
Dalam sambutannya, Kepala Negara menegaskan, “Pemugaran masjid ini bukanlah tindakan pemborosan atau kemewahan”. Ia menekankan, pemugaran ini merupakan bagian dari pembangunan bangsa Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya.
Demikian pula, kata Presiden. “Jika kita memugar bangunan atau tempat-tempat bersejarah lainnya, maka semuanya itu juga dalam rangka pembangunan nasional kita dalam arti yang seluas-luasnya tadi.”
Menyampaikan pidatonya dengan suara jernih, ditingkahi keheningan sesuai lingkungan sekeliling depan masjid di kota kabupaten yang dikenal sebagai “Kota Wali” (kota tempat permukiman para Wali penyebar agama Islam di Jawa masa lalu), Presiden menyebutkan, dewasa ini dan pada tahun-tahun mendatang pembangunan akan tetap bertumpu pada bidang ekonomi, ini tak bisa lain, mengingat pembangunan ekonomi merupakan satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk mencapai kemajuan, kesejahteraan, dan keadilan sosial.
Meski begitu, Kepala Negara juga mengingatkan, “Pembangunan ekonomi saja tidak cukup. Kehidupan kita akan kehilangan maknanya yang indah dan dalam apabila kita hanya mengejar segala sesuatu yang serba benda saja. Kehidupan yang hanya mengejar kebendaan belaka akan membuat kehidupan kita menjadi dangkal dan kejam karena kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya.”
Atas dasar ini pula ditekankan pembangunan yang sejak semula bertujuan membangun manusia Indonesia yang utuh, tak hanya mengejar kemajuan lahiriah kebendaan saja.
Pembangunan harus juga tidak bersifat batiniah kerohanian saja. Pembangunan Indonesia mengejar kemajuan dan keseimbangan lahir batin justru agar pembangunan, itu mampu memanusiakan manusia.
Tinggalkan Yang Tak Cocok
Presiden Soeharto melukiskan, nilai-nilai batiniah kerohanian tak terbilang banyaknya dalam warisan budaya kita dan dalam ajaran agama-agama besar yang dipeluk oleh bangsa yang bersifat majemuk ini. ltulah sebabnya, nilai kebudayaan nasional itu perlu terus kita gali. Yang tidak cocok bagi pembangunan kita tinggalkan dan yang cocok bagi pembangunan kita pelihara dan kembangkan.
Itulah sebabnya, nilai kebudayaan nasional itu perlu terus kita gali. Yang tidak cocok bagi pembangunan kita tinggalkan dan yang cocok bagi pembangunan kita pelihara dan kembangkan itulah sebabnya pernah saya katakan juga agar kita mencari pembangunan manusia yang berahlak mulia.
“Dalam agama Islam, ahlak meliputi ahlak kepada Tuhan, ahlak kepada sesama manusia, dan ahlak terhadap alam sekitar.”Karena itu, orang muslim bukan hanya orang yang kuat ibadahnya saja, akan tetapi sekaligus juga orang yang tinggi kesadaran sosialnya dan tinggi pula kesadaran lingkungannya.”
Tak Perlu Mengeraskan Suara
Sebelum sambutan Kepala Negara, Mendikbud Prof Dr Fuad Hassan melukiskan betapa arsitektur khas Masjid Demak ini mengisyaratkan adanya kesinambungan dengan pola arsitektur tradisional setempat.
Fuad juga menyebutkan bagaimana masjid pertama yang dibangun Nabi hanya berwujud pelataran bersih tanpa atap pelindung. Dari masjid berwujud sederhana tadi, pemuda Bilal mengumandangkan suara azan pertamanya dengan sayup-sayup.
“Justru suara yang sayup itu memberikan rasa teduh dan damai kepada umat yang menerima ajaran melalui firman Allah” kata Mendikbud. Ia langsung mengutip isi surat ketujuh ayat 205 yang berbunyi, “lngatlah Tuhan-mu dalam dirimu, dengan rendah hati dan cemas pesona dan tanpa mengeras-ngeraskan suara, pagi dan petang.”
Sementara itu, Menteri Agama Munawir Sjadzali MA menyebutkan dua arti penting pemugaran Masjid Agung Demak.
Pertama perhatian pemerintah pada pelestarian cagar budaya. Kedua, dukungan pemerintah kepada pengembangan kehidupan beragama. Pembangunan masjid yang kini sudah berumur lima ratus tahun inijuga merupakan bukti betapa tinggi kebijaksanaan dan kearifan para pendahulu kita, mengingat Masjid Agung ini semula hanya sebuah “padepokan” kecil tempat Raden Patah mengajarkan, agama Islam dengan dukungan para wali, Raden Patah, menurut Menag Munawir, yang kemudian bisa naik tahta sebagai sultan pertama di Jawa, sedangkan bekas padepokannya bertumbuh menjadi Masjid Agung Demak.
Kerja sama erat dan timbal balik antara Sultan dan para Wali seperti yang dilambangkan pada pembangunan Masjid Demak ini, oleh Menag dinyatakan sebagai bukti bahwa suatu pemerintahan yang didukung oleh agama akan tegak dan kokoh, sedang agama yang didukung pemerintah akan jaya dan berkembang.
Serangan Rayap
Cuaca yang amat cerah, setelah malam sebelumnya hujan cukup lebat menyirami Demak, menjadikan suasana upacara purna pugar Masjid Agung yang sudah menghabiskan dana Rp 688.712.000 (di antaranya Rp. 74.966.000 bantuan dan berbagai negara dan swasta di lingkungan Organisasi Konferensi Islam) berlangsung semarak.
Masyarakat Demak sendiri selaku penganut Islam yang tekun, berdiri berjajar, sepanjang jalan, khususnya di muka alun-alun depan masjid. Banyak di antara mereka memakai kain sarung, sementara para wanitanya mengenakan jilbab putih.
Bahkan untuk membikin upacara puma pugar masjid kuno ini berjalan lebih khidmat, gadis-gadis pembawa acara yang cantik molek juga berkain lurik serta menutup rambut mereka dengan jilbab.
“Pemugaran ini memang agak mirip pemugaran di Candi Borobudur,” kata Suprapto petugas Purbakala. Ia menyebutkan, untuk mengawetkan batu-batuan candi, digunakan lapisan Araldite. “Kini lapisan Araldite juga kita pakai untuk mengawetkan bagian-bagian kayu masjid ini.”
Warga Demak, yang mungkin paling berbangga karena Masjid Jami mereka kini berujud baru kembali, memang harus menyumbang untuk pemugaran masjid tersebut. ”Tidak dalam bentuk uang tapi lihat saja alun-alun muka masjid ini. Dulu bisa kita gunakan untuk main bola. kini tak mungkin lagi” Semula alun-alun tersebut memang dijadikan satu-satunya lapangan bola resmi kota Demak, di mana jalan raya Semarang-Kudus harus mengelilingi alun-alun.
Namun, mungkin untuk menyesuaikan diri dengan pemugaran Masjid Agung Demak, dibuat jalan beraspal membelah dua alun-alun, dengan dampaknya “memakan” lapangan bola tersebut.
Dra. Ny. Soemijati Nitiprodjo, pimpinan Proyek Pemugaran Masjid Demak, menegaskan, bangunan tersebut memang harus segera diselamatkan karena berbagai bagiannya sudah rusak cukup parah. Misalnya, kelapukan di “saka guru” (tiang utama), keretakan pada konstruksi kuda-kuda dan kelembaban tinggi yang mengundang serbuan rayap memakan seluruh barang-barang kayu di masjid itu.
“Penyebab utama kerusakan adalah factor umur, faktor biotis dan abiotis, diperburuk oleh penanganan yang tak menyeluruh dan tak memperhatikan sumber kerusakan yang sesungguhnya.”
“Selama pemugaran sering muncul hal-hal yang belum diperhitungkan semua teknis dan non teknis,” jawab Des Uka Tjandrasasmita, Direktur Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala.
Maka tak mengherankan mengapa seorang pejabat teras di proyek pemugaran ini berkata terus terang. “Belum semua unsur dalam pemugaran dapat digarap tuntas. Pemugaran Masjid Agung Demak ini, masih terus berlanjut.”
Di tengah-tengah upacara peresmian Masjid Demak, Ny. Tien Soeharto selaku ketua umum Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan didampingi Ny. Indra Rukmana, menyerahkan sumbangan senilai Rp. 50 juta kepada daerah Jateng sumbangan ini merupakan yang keempat dari Yayasan tersebut kepada rakyat Jateng Uang sumbangan itu langsung diterimakan kepada sepuluh Bupati di Jateng.
Sumber: KOMPAS (22/03/1987)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 633-637