Presiden Soeharto Di Depan Penataran Pemred & PWI TIDAK PERLU RAGU SIARKAN PENYELEWENGAN DAN KRITIK

Presiden Soeharto Di Depan Penataran Pemred & PWI

TIDAK PERLU RAGU SIARKAN PENYELEWENGAN DAN KRITIK

Presiden Soeharto Kamis pagi menegaskan pers nasional dengan berbekal pada P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) tidak perlu ragu dalam menyiarkan berita atau membuat ulasan, juga tidak perlu was-was menyiarkan segala bentuk penyelewengan atau ketidakberesan masyarakat, termasuk didalam tubuh aparatur negara.

Dengan disambut tepuk tangan riuh dari para wartawan peserta Penataran P-4 bagi Para Pemimpin Redaksi Ketua Cabang PWI seluruh Indonesia di Binagraha di manaMenteri Penerangan Ali Moertopo dan Mensesneg Sudharmono hanya senyum­senyum. Selanjutnya Kepala Negara menegaskan pers nasional ‘juga tidak perlu ragu­ragu dalam melontarkan kritik kepada pemerintah, baik yang di pusat maupun yang di daerah-daerah".

"Pemerintah tidak pemah menempatkan dirinya sebagai yang paling tahu semua persoalan dan keadaan", kata Kepala Negara selanjutnya. Bagaimanapun lengkap dan rapinya aparatur pemerintah tentu ada saja masalah2 yang di luar jangkauan dan pengetahuan pemerintah untuk mengamati dan mengawasinya. ”Untuk itulah, antara lain perlu bantuan pers".

Presiden Soeharto tidak meragukan bahwa kritik merupakan bagian penting dari kehidupan demokrasi serta kekuatan kemajuan yang hendak dikejar. Namun Kepala Negara mengingatkan bahwa kritik itu haruslah berdasarkan kenyataan dan disampaikan dengan penuh rasa tanggung jawab, tidak perlu dengan cara2 yang berlebih-lebihan, bersifat provokatif ataupun penyebaran berita-berita sensasi dan desas-desus, yang kesemuanya itujelas tidak "terkendalikan".

Demi pertumbuhan demokrasi dan demi kemajuan yang ingin dikejar maka hendaknya kritik yang bertanggungjawab ditempatkan sebagai bagian dari kehidupan kita.

Menyinggung pentingnya penataran P4 ini, baik bagi pegawai negeri maupun unsur2 lain di masyarakat. Kepala Negara mengatakan tidak akan banyak gunanya kita berbicara tentang pendidikan Pancasila jika para pendidik Pancasila kita tidak menghayati dan mengamalkannya.

"Tidak akan banyak gunanya kita merancang ekonomi Pancasila jika para perencana, para produsen, para pedagang, tidak menghayati dan mengamalkan Pancasila. Tidak ada gunanya kita berbicara tentang demokrasi Pancasila, jika pemimpin kekuatan sosial politik kita tidak menghayati dan mengamalkan Pancasila. Tidak akan banyak gunanya kita berbicara tentang pers Pancasila jika para wartawan tidak menghayati dan mengamalkan Pancasila", kata Kepala Negara.

Presiden Soeharto juga mengingatkan, dalam perjalanan sejarah bangsa kita selama ini memperlihatkan adanya kecenderungan dan bahkan usaha-usaha penyimpangan danpenyelewengan dari garis lurus

Pancasila.KepalaNegaramemperkirakan untukmasa-masa mendatang tantangan yang kita hadapi bukan ancaman terhadap kedudukan konstitusional dari Pancasila melainkan tuntutan untuk memberikan wujud dan makna yang lebih nyata dari pelaksanaan Pancasila baik dalam kehidupan kenegaraan maupun kehidupan kemasyarakatan bangsa.

"Sesungguhnya keberhasilan usaha kita untuk mewujudkan Pancasila tidak terletak pada telah ditetapkannya P4 sebagai Ketetapan Lembaga Tertinggi Negara, melainkan apakahjiwa dan isi P-4 itu benar kita jadikan pedoman perikehidupan kita sebagai warganegara ataukah tetap tinggal sebagai tulisan belaka", kata Kepala Negara.

Untuk kesekian kalinya diingatkan bahwa salah satu pengejawantahan dari pengendalian diri dan kepentingan pribadi adalah kesadaran hidup berdisiplin.

Aspek kesadaran hidup berdisiplin, menurut Kepala Negara, perlu mendapat perhatian bersama demi terselenggaranya ketertiban, ketenteraman, kemajuan dan perkembangan masyarakat kita.

Dikatakan, kesadaran untuk melaksanakan kententuan hukum dan perundang­undangan yang berlaku perlu ditumbuhkan dan dikembangkan selama kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Kepala Negara melihat besarnya peranan dan pengaruh fungsi kontrol sosial dari pers nasional dalam menyorot gejala2 kemerosotan kesadaran hidup berdisiplin demi terpeliharanya ketertiban dan dilaksanakannya hukum secara konsekwen.

Menurut Kepala Negara, masalah disiplin sosial ini perlu dikemukakan karena masalah ini merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

"Tanpa didasari oleh disiplin sosial, ketertiban dan kestabilan ketentraman masyarakat tidak mungkin diwujudkan," kata Kepala Negara.

Dengan memasyarakatkan P-4 diharapkan akan makin tumbuh kemampuan pengendalian diri dari dan kepentingan pribadi serta kpentingan disiplin nasional. Dalam mengembangkan disiplin sosial, peranan pers nasional, kata Kepala Negara adalah besar.

”Dan untuk itu tidak sayaragukan lagi, kita jelas memerlukan pers yang bebas dan bertanggungjawab, seperti yang ditunjukkan oleh GBHN”, kata Kepala Negara.

Untuk dapat menjadikan diri sebagai pers yang bebas dan bertanggungjawab maka pemahaman, perenungan yang dalam pengamalan dari P4 oleh pers sangat diperlukan. Kepala Negara yakin apabila pers sudah melakukan hal tersebut maka pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik tidak akan sulit.

Disiplin Tinggi

Sebelum Kepala Negara menyampaikan pidatonya, Ketua PWI Pusat Harmoko melaporkan penataran diikuti 212 peserta diantaranya tujuh wanita dan usia peserta tertua 77 tahun.

Dalam penataran selama lima hari penuh itu menurut Harmoko, walaupun diskusi sering berlangsung sampaijam 04.00 WIB pagi peserta menunjukkan disiplin yang tinggi.

Pada kesempatan itu juga Harmoko menyampaikan pernyataan sikap para pemimpin redaksi seluruh Indonesia kepada Presiden Soeharto.

Selesai acara tersebut, Presiden Soeharto bersama-sama dengan para peserta penataran bergambar bersama. Suasana nampak menjadi lebih akrab. Acara bergambar bersama ini agak sulit dimulai karena masing2 peserta ingin berusaha dekat dengan Kepala Negara.

Beberapa orang peserta berkomentar, mungkin angin baru yang dihembuskan oleh Kepala Negara melalui pidato itu membuat para wartawan merasa makin dekat dengan Kepala Negara.

Jakarta, Sinar Harapan

Sumber: SINAR HARAPAN (15/02/1979)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 421-424.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.