PRESIDEN SOEHARTO: INDONESIA AKAN UNDANG 18 NEGARA YANG AMAT MENDERITA KARENA UTANG[1]
Jakarta, Kompas
Presiden Soeharto mengungkapkan rencana pemerintah untuk mengundang 18 negara yang sangat menderita dalam soal utang. Ke-18 negara itu akan diberi bantuan pengalaman dalam cara mengelola utang mereka. Para ahli Indonesia akan membagi pengalamannya kepada negara-negara itu, serta mendampinginya dalam perundingan dengan pihak-pihak pemberi utang.
Presiden menyatakan hal itu pada para wartawan di pesawat Garuda DC-10 dalam perjalanan pulang dari New Delhi, India, ke Jakarta, hari Rabu pagi (30/ 3). Kepala Negara berkunjung ke India untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Kelompok Kerja Sarna dan Konsultasi Selatan-Selatan G-15 ke-4 di India, 28-30 Maret 1994.
Dalam KTI di New Delhi, yang dihadiri enam kepala negara/pemerintahan itu,kata Presiden, pihak Indonesia sekali lagi menyatakan bersedia membantu negara negara yang mengalami kesulitan mengurus utang. Bantuan itu akan diberikan berdasarkan pengalaman Indonesia yang punya utang banyak, tapi bisa mengelolanya, yakni bisa memenuhi kewajibannya membayar pokok dan bunganya.
Menurut Presiden, dalam rangka membantu negara-negara yang dililit utang, Indonesia akan mengundang 18 negara yang paling menderita dalam masalah ini. “Langkah-langkah yang kita ambil, kita akan mengundang 18 negara itu ke Indone sia. kemudian akan kita brief caranya untuk mengatasi soal utang ini,” kata Presiden. “Kepada 18 negara itu akan ditunjukkan pengalaman Indonesia dalam mencari keringanan membayar utang yang dibuat pada waktu Orde Lama. Tapi tentu bukan berarti Indonesia akan mengambil over untuk menyelesaikan utang masing-masing negara itu, tapi mereka sendiri yang akan menyelesaikan, “ujar Kepala Negara.
Sediakan Ahli
Indonesia kata Presiden sanggup untuk menugaskan para ahli-ahlinya serta para pejabat dan man tan pejabat yang berpengalaman untuk mendampingi negara-negara itu dalam perundangan bilateral maupun multilateral. “Kalau itu bisa dilaksanakan setidak tidaknya Indonesia telah melaksanakan keputusan G15 maupun KTT Nonblok di Jakarta,” ujarnya Kepala Negara.
Untuk membantu negara-negara yang sangat menderita karena utang, Presiden telah menunjuk tiga mantan menteri untuk mengadakan pendekatan kepada negara negara maupun lembaga-lembaga dunia pemberi utang. Ketiga orang itu adalah Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, Prof Dr. Mohammad Sadli dan Radius Prawiro.
Presiden sendiri juga telah melakukan pendekatan-pendekatan kepada negara negara maju pemberi utang maupun lembaga-lembaga dunia, seperti Bank Dunia untuk memberi keringanan kepada negara-negara yang menderita tersebut.
Yang diperjuangkan Indonesia selain meringankan pembayaran utang, adalah mengusahakan pemberian dana kepada negara-negara tersebut supaya bisa melanjutkan pembangunan. Pendekatan yang dilakukan Presiden Soeharto selain dengan Presiden Bank Dunia, negara-negara G-7 di Tokyo bulan Juli tahun lalu,juga kepada Presiden Amerika Serikat Bill Clinton. Setelah mendapat penjelasan dari Presiden Soeharto, Kepala Negara AS itu bersedia memberi keringanan kepada negara-negara di Afrika terutama di sebelah Selatan Sahara. Kini terdapat 108 negara yang dililit beban utang. Di antara itu terdapat 50 negara yang cukup menderita. Dan dari 50 itu terdapat 18 negara yang sangat menderita. Dana pinjaman tersalur kepada mereka lewat dana bilateral, komersial, dan multilateral.
Tuduhan “Dumping”
Selain masalah utang, KTT G-15 di New Delhi juga banyak membicarakan kelanjutan Putaran Uruguay. Menurut Presiden, para kepala negara/pemerintahan yang hadir di New Delhi juga melihat kesulitan-kesulitan yang muncul dinegara-negara Barat, yakni masalah lapangan kerja. Kata Presiden, ada gejala negara maju akan melemparkan penyebab kesulitan tersebut kepada negara berkembang. Mereka menuduh negara berkembang melakukan dumping. Tuduhan ini, kata Presiden dikaitkan dengan soal persaingan yang disebabkan di negara berkembang biaya tenaga kerja sangat rendah, sedang di negara maju sudah tinggi. “Oleh karena itu mereka menginginkan agar upah minimum di negara-negara sedang berkembang dinaikkan lagi, supaya sama dengan mereka yang ada di negara negara maju,” kata Kepala Negara. Menurut Presiden kalau upah minimum dinegara berkembang disamakan dengan negara maju jelas negara berkembang akan mampu. Menaikkan upah minimum sehingga sama dengan negara maju, akan menimbulkan berhentinya industri di negara berkembang. “Bila industri macet, mandek, berarti buruh yang sudah bekerja akan menganggur lagio Padahal di negara kita pengangguran masih banyak, tiap tahun bertambah 2,5 juta orang”kata Presiden.
Kepala Negara menyanggah tuduhan, bahwa negara berkembang melakukan dumping, dengan memberi contoh di Indonesia yang banyak memproduksi dan mengekspor sepatu dan garmeno Dikatakan biaya untuk memproduksi dan mengekspor kedua produk tersebut sangat tinggi karena ada biaya gudang, transpor dan seterusnya. “Untung kita hanya kecil. hanya bisa menampung tenaga kerja,” kata Presiden.
Mengapa upah buruh di negara berkembang lebih rendah daripada negara maju. Presiden menunjukkan kebutuhan hidup di negara berkembang lebih rendah dibanding negara maju yang sudah tinggi. “Mereka sudah terlanjur makmur, sedangkan kita belurn cukup makmur. Untuk mencapai kemakmuran saja berjalannya tidak cepat. seolah-olah nggremet karena kemampuan dari kita,”sambungnya.
Ketika ditanya, apakah semakin berkurangnya kehadiran para kepala negara/ pemerintahan dalam KTI G-15, tidak akan menurunkan bobot keputusan KTI G- 15, Presiden mengatakan, “Yang penting apa yang diputuskano Karena, walaupun semua hadir tapi kalau keputusannya tidak berbobot juga tidak ada gunanya”. Menjawab pertanyaan tentang perlunya pendekatan kemitraan dengan negara negara Utara, Presiden mengatakan sikap kemitraan bukan hanya ditekankan kepada negara-negara Selatan tapi juga harus di pihak Utarao “Maka Presiden Clinton sendiri akhir-akhir ini juga sering menekankan soal friendship tersebut”.
Kebebasan Barat
Pada bagian lain Presiden Soeharto menyoroti masalah lalu lintas informasi yang berasaskan kebebasan Barat. Dikatakan, lalu lintas informasi dengan teknologi canggih yang berasaskan kebebasan Barat yang hanya mengejar keuntungan dan mendasarkan diri semata-mata pada kebebasan, bisa menghancurkan ekonomi dan budaya negara berkembang. Karena itu, Kepala Negara minta Menteri Penerangan dan Menparpostel serta para ahli mencari jalan untuk mengatasi dominasi informasi dari Barat. Tapi diingatkan, arus informasi Barat, hendaknya tidak dihadapi dengan konfrontasi tapi dengan sikap kemitraan.
Disebutkan, lalu lintas informasi tersebut dilakukan oleh radio, televisi maupun media cetak yang menggunakan teknologi canggih. “Misalnya siaran televisi, mungkin itu bisa diterima oieh kebudayaan mereka, tapi sebenarnya itu bertentangan dengan kebudayaan kita,” kata Presiden. “Kalau itu terus menerus dibiarkan, bukan saja ekonomi kita yang dihancurkan tapi juga sampai ke kebudayaan kita,”ujar Presiden lebih Ianjut. Untuk menghadapi hal itu, Kepala Negara juga mengharapkan agar ahli ahli teknologi di Indonesia dan negara berkembang lain memikirkan untuk mencari jalan guna menghadapi ramainya lalu lintas informasi yang didominasi negara maju. “Menteri Penerangan maupun Menteri Parpostel agar segera kumpul untuk membicarakan semua itu, sebab kalau tidak itu akan menjadi bahaya yang sangat besar bagi kita,” kata Presiden. Presiden menjelaskan mengapa arus informasi dari Barat harus dihadapi. Dasar kebebasan yang dianut Barat, kala Kepala Negara, berbeda dengan kebebasan yang dianut negara-negara berkembang, yaitu kebebasan dengan tanggungjawab. (osd)
Sumber: KOMPAS( 31/03/1994)
__________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 33-36.