PRESIDEN SOEHARTO: JANGAN BESAR-BESARKAN PERBEDAAN [1]
Jakarta, Suara Karya
Presiden Soeharto menegaskan, kemajemukan bangsa bukanlah suatu masalah tetapi justru menjadi pendorong untuk bersikap lebih, terbuka, dewasa dan dinamis. Kemajemukan bangsa Indonesia seolah-olah merupakan warna-warni pelangi yang indah di angkasa nusantara. Penegasan Kepala Negara disampaikan di depan sekitar 120.000 anggota majelis taklim dari Jabotabek, Sumatera dan daerah lainnya yang memadati Stadion Utama Senayan, Jakarta, Sabtu (26/8), pada acara Gelar Akbar Majelis Taklim Tasyakur 50 Tahun Kemerdekaan RI tahun 1995. Presiden mengawali pidatonya dengan tiga kali takbir,Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar dan kemudian diikuti oleh hadirin. Kata-kata Kepala Negara sangat Kepada berbagai pihak, Presiden mengajak untuk menyegarkan lagi semangat persatuan dan kesatuan bangsa dengan makin memupuk berbagai persamaan dalam kemajemukan bangsa, terutama menyambut setengah abad kemerdekaan bangsa ini. Presiden minta agar perbedaan di antara masyarakat jangan dibesar-besarkan. Karena kemajemukan bangsa Indonesia ibaratnya wama-warni pelangi yang indah di angkasa nusantara. Hal itu, menurut Presiden, penting. Sebab, Indonesia merupakan bangsa majemuk, terdiri, dari berbagai suku bangsa, dengan ciri berbeda-beda dan menganut agama yang berbeda-beda pula. Dalam hubungan itulah, persatuan dan kesatuan tidak boleh diabaikan. Untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, kekuatannya terletak pada tenggang rasa, pengendalian diri, kebersamaan, persaudaraan dan kegotong-royongan.
Berkah
Menurut Presiden, kemajemukan merupakan berkah bagi bangsa Indonesia. Kemajemukan harus mendorong setiap kelompok untuk bekerja sama seerat-eratnya dengan menjunjung tinggi persamaan, untuk kemudian saling berlomba-lomba berbuat kebaikan dalam mencapai kemajuan.
Gelar Akbar Majelis Taklim Tasyakur 50 tahun Kemerdek aan RI, benar-benar akbar namun terasa menyentuh melalui pembacaan AI-Quran, shalawat, dzikir, lagu dan pembacaan puisi bertema Islam. Acara yang dipenuhi lautan ibu-ibu anggota Majelis Taklim ditandai dengan pemukulan bedug oleh Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Pemukulan ini disambung dengan rampak bedug oleh para pemuda Pandeglang, Jawa Barat. Sementara bunyi bedug bertalu-talu ,ribuan balon dilepas ke udara disertai tarian indah pencak silat. Dua qoriah Mawaddah Muhadjir dan Nur Aisyah Amin melantunkan surat Ibrahim bersama-sama. Pembacaan surat Ibrahim ini membawa ke suasana keheningan. Sementara itu sebanyak 4.000 remaja puteri dan ibu-ibu anggota Majelis Taklirn dalam busana Muslim membentuk konfigurasi bertuliskan “Allah”. Setelah itu sebanyak 2.500 santri putera dan puteri menyuguhkan gerak dan lagu yang bemafaskan Islami. Ketua Panitia Gelar Akbar dan Tasyakur 1995, Dra Tuty Alawiyah melaporkan, ia sangat termotivasi pada saat tanggal l2 Januari 1991 lbu Tien Soeharto memimpin takbir dengan seman “Allahu Akbar”. Dalam rangka ulang tahun Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) ke-10 itu, lbu Tien berlinang air mata sehingga kehaman ini menciptakan suasana bangga dan bahagia.
“Masih mengiang hingga sekarang harapan lbu Tien yang menambah semangat Negara ketika itu berharap, melalui majelis taklim, kaum ibu hendaknya bisa mengembangkan diri, dapat berbuat lebih banyak lagi bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin . Bahkan, meningkatkan kecerdasan bangsa secara serentak. Hadir pada acara itu lbu Tien Soeharto, Wapres danNy Tuti Try Sutrisno, para menteri dan para pejabat negara-negara sahabat. (N-1)
Sumber : SUARAKARYA( 28/08/1995)
____________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 520-522.