PRESIDEN SOEHARTO: JANGAN PAKSAKAN KEHENDAK SENDIRI

PRESIDEN SOEHARTO: JANGAN PAKSAKAN KEHENDAK SENDIRI[1]

 

Jakarta, Kompas

Presiden Soeharto mengemukakan, umat Islam yang merupakan bagian terbesar dari bangsa Indonesia, memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan stabilitas nasional. 0leh karena itu, tunat Islam hendaknya memiliki kedewasaan dalam beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bemegara.

“Di tengah-tengah masyarakat kita yang majemuk ini, kita harus pandai-pandai meletakkan segala sesuatu secara wajar dan pada tempatnya. Kita tidak boleh memaksakan kehendak kita sendiri tanpa menghiraukan kepentingan orang lain di sekitar kita. Karena semuanya itulah, sejak memproklamasikan kemerdekaan dahulu, para pendahulu kita telah sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara kita,” demikian Presiden dalam sambutan peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW tahun 1416 HJ 1995 M di Mesjid Istiqlal, Jakarta, Selasa(19/12) malam.

 

Dalam acara yang dihadiri oleh Wakil Presiden Try Sutrisno dan para pejabat tinggi sipil dan militer tersebut, Kepala Negara juga menekankan tidak ada perlu dipertentangkan antara ajaran-ajaran Islam yang bersifat universal dengan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

“Pancasila merupakan landasan hidup kita bersama dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dapat diterima dan disepakati oleh semua goIongan dan semua kelompok masyarakat kita yang majemuk. Dengan kata lain, Pancasila dapat mempersatukan kita sebagai bangsa yang diwamai oleh keragaman suku bangsa, agama, adat istiadat yang berbeda-beda,” kata Presiden.

Menurut Kepala Negara, ajaran agama Islam-terus-menerus dapat memberi nilai-nilai kehidupan dan motivasi dalam membangun bangsa. Karena itu, kata Presiden, usaha untuk meningkatkan wawasan dan pemahaman terhadap ajaran­ ajaran agama perlu terus ditingkatkan.

Presiden juga menandaskan, peristiwa Isra Mi’raj yang dialarni Nabi Muhammad SAW memberi ilham untuk memperteguh mental dan faham dalam berjuang mencapai cita-cita bangsa.

Selain itu Presiden menekankan kembali, pembangunan adalah usaha untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Pembangunan adalah usaha mewariskan oleh sikap ingin menikmati hasil secepat-cepatnya dan sepuas-puasnya. Perjuangan kita untuk membangun bangsa adalah perjalanan yang sangat panjang, suatu proses sambung-menyambung tanpa henti-hentinya,”demikian Kepala Negara.

Korupsi dan SARA

Dalam kesempatan ini Menteri Agama ad interim Saadillah Mursjid juga memberi sambutan, sementara Dr. H. M Amien Rais menyampaikan uraian Isra Mi’raj yang berkaitan dengan peningkatan disiplin nasional.

Amien Rais antara lain mengemukakan tentang dua pekerjaan besar bangsa Indonesia saat ini. Yakni, kesenjangan sosial yang lebar antara masyarakat papan atas dan masyarakat papan bawah, serta kecenderungan kelangkaan kejujuran yang kemudian menumbuhkan sikap mental yang koruptif Mengenai hal itu, Amien Rais mengemukakan, seorang hamba Allah yang sehari semalam menjalankan salat lima kali, pada hakikatnya menghadap dan bermunajat pada Allah selama lima kali pula. “Sulit kita bayangkan di sela-sela salat yang ia tegakkan, seorang hamba Allah dapat melakukan tindakan korupsi yang merugikan masyarakatnya ,bangsanya dan negaranya.”

Oleh karena itu, kataAmien Rais, bila salat benar-benar ditegakkan dengan disiplin tinggi, maka ibadah salat akan dapat efektif memberantas sikap mental yang koruptif Menurut Amien, korupsi dapat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sebagai buah dari ketidakjujuran. Padahal, ajaran dalam salat, selain untuk menegakkan disiplin tinggi dalam arti luas juga berisi ajaran untuk menegakkan kejujuran. “Oleh karena itu salat pada hakikatnya juga berfungsi memerangi ketidakjujuran. Salat berperan untuk memerangi korupsi,” ujarnya. Menjelang akhir uraiannya, Ketua Umum Pirnpinan Pusat Muhammadiyah ini mengimbau masyarakat luas untuk memperhatikan perkembangan yang sedikit memprihatinkan, yakni adanya kegaduhan dan letupan massa yang dipicu unsur SARA.

Dikatakan, Indonesia yang berupa negara kepulauan dengan belasan ribu pulau, bangsa yang majemuk dari segi etnis, ras, bahasa dan agama, tentu rawan dan rentan terhadap berbagai isu SARA. “Beberapa peristiwa di beberapa daerah akhir-akhir ini telah membuktikan hal itu,” tuturnya. Ia menekankan, hasil-hasil pembangunan nasional yang telah dicapai dengan susah payah sampai sekarang ini bisa mandek bahkan mengalami kemunduran bila semua pihak tidak pandai menahan diri dari letupan-letupan yang diakibatkan masalah yang bersumber pada SARA tersebut. (osd)

Sumber : KOMPAS ( 21/12/ 1995)

_________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 565-566.

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.