PRESIDEN SOEHARTO KITA TAK MENGENAL KELAS MILITER YANG TERPISAH DARI RAKYAT
Jakarta, Angkatan Bersenjata
PRESIDEN Soeharto menegaskan, bangsa Indonesia tidak mengenal suatu kelas militer yang berdiri terpisah dari rakyat, apalagi berada di atas rakyat.
Militer kita adalah pejuang yang bersama-sama seluruh pejuang-pejuang bangsa kita di bidang-bidang lainnya berdampingan bahu membahu untuk mencapai tujuan bangsa yang luhur.
”Tradisi keprajuritan kita adalah tradisi patriotisme, kebangsaan & cinta tanah air.”
Kepala Negara menegaskan hal itu ketika meresmikan museum keprajuritan di Taman Mini Indonesia Indah, hari Minggu. Dikatakan, untuk menjawab tantangan zaman, profesionalisme militer memang harus ditingkatkan. Namun profesionalisme itu sendiri bukan tujuan, melainkan merupakan cara agar dapat mengabdikan diri sebaik-baiknya dalam perjuangan besar bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan-tujuan yang luhur itu.
“Tujuan itu adalah kehidupan lahir batin yang maju, sejahtera dan adil makmur berdasarkan Pancasila,” kata Presiden.
Menyinggung mengenai tradisi keprajuritan bangsa Indonesia, Presiden menegaskan, bagi bangsa Indonesia tradisi keprajuritan itu bukanlah tradisi perang, tradisi militer. Citra keprajuritan kita lebih luhur dari citra peperangan dan lebih luhur dari citra militer.
“Tradisi keprajuritan kita adalah tradisi patriotisme, tradisi kebanggaan, tradisi cinta tanah air. Semangat keprajuritan kita adalah semangat patriotisme, semangat kebangsaan dan semangat cinta tanah air,” lanjut Kepala Negara.
Karena itu, tradisi keprajuritan bangsa Indonesia setelah kemerdekaan bersumber pada tekad untuk membela negara Pancasila dan membangun masyarakat Pancasila.
Menurut Presiden, Sapta Marga merupakan bukti sejarah atas tekad ABRI untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sejarah juga mencatat bahwa Sapta Marga itu dilahirkan dan disusun atas prakarsa ABRI sendiri, bukan oleh pihak lain maupun di luar ABRI.
Berbentuk Benteng
Berdiri megah di atas tanah seluas. 68.000 meter persegi museum keprajuritan ini dibangun dalam bentuk benteng segilima dengan dilengkapi bastion (ruang jaga prajurit di atas benteng) pada tiap-tiap sudutnya.
Di depan museum terhampar danau buatan seluas 1.400 meter persegi dengan hiasan sebuah perahu Pinisi di sebelah timur dan perahu Banten di sebelah barat yang dibuat dalam ukuran sebenarnya.
Memasuki ruangan museum di halaman tengahnya kita bisa menyaksikan panggung terbuka yang bisa menampung 800 orang dikelilingi 23 patung pahlawan mulai dari Gajah Mada sampai Cut Mutiah. Panggung terbuka tersebut dimaksudkan sebagai tempat pergelaran yang bersifat kepahlawanan.
Naik ke tingkat dua melalui tangga yang artistik dan dibuat agak melingkar pengunjung dapat menyaksikan diorama yang menggambarkan peperangan prajurit-prajurit bangsa Indonesia melawan penjajah mulai dari abad ke-13 hingga ke-19. Selain diorama juga terdapat patung-patung seluruh badan dengan mengenakan pakaian pahlawan dari masing-masing daerah lengkap dengan senjata khas daerah tersebut.
Di bagian bawah disekeliling benteng jika kita naik perahu atau becak air kita bisa menyaksikan patung-patung dan relief yang menggambarkan cukilan kisah sejarah mulai dari Raden Wijaya ketika mengusir tentara Cina Jawa Timur pada tahun 1292 hingga adegan pertempuran di Benteng Indrapuri, Aceh pada tahun 1881.
Peresmian museum keprajuritan Indonesia yang dilakukan bertepatan dengan 28 tahun setelah dinyatakan Dekrit Presiden kita kembali ke UUD 45 tersebut dihadiri oleh Ibu Tien Soeharto, Wakil Presiden dan Ibu Umar Wirahadikusumah, Pimpinan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, Pangab Jenderal TNI L.B. Moerdani, para Menteri dari Dubes-dubes negara sahabat.
Watak Khas
Di bagian lain sambutannya, Presiden Soeharto menekankan, sebagai prajurit profesional, prajurit ABRI itu sama dengan prajurit profesional di mana pun di dunia ini.
Menurut Presiden, ketiga marga pertama dari Sapta Marga ABRI itu menjadikan prajurit ABRI mempunyai, watak khas jika dibanding dengan prajuritprajurit professional lainnya.
“Watak khas itu ialah perjuangan yang tidak mengenal menyerah dalam membela Pancasila sebagai ideologi negara,” tandas Presiden.
Sejarah kita menunjukkan bahwa ABRI adalah salah satu kekuatan pendukung yang dengan penuh keyakinan agar bangsa Indonesia kembali kepada UUD 45 itu. Di samping karena kemacetan sidang konstituante dalam penyusunan UUD, maka ABRI tetap berkeyakinan bahwa hanya Pancasila yang dikehendaki rakyat Indonesia sebagai dasar negara dan hanya UUD 45 sebagai undang-undang dasar negara yang kita proklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
Dasar negara yang lain menurut Presiden bukan saja tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan, malahan akan mencelakakan bangsa Indonesia.
“Karena itu ada hubungannya yang erat antara kembalinya kita kepada UUD 45 dengan semangat keprajuritan.”
Menggoyahkan
Jauh lagi Presiden mengatakan, jika Pancasila dilaksanakan dengan nilai-nilai lain seperti yang pemah tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia, maka hal tersebut akan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara kita.
Masuknya liberalisme dalam kehidupan bangsa dan negara di masa lampau hanya melahirkan ketidakstabilan politik yang berkepanjangan saja. Demikian juga dengan pengetrapan Pancasila dengan konsepsi “nasakom” dari demokrasi terpimpin” yang berakhir dengan malapetaka berupa pemberontakan PKI pada tahun 65.
Menurut Kepala Negara, ada juga pikiran-pikiran bahwa Pancasila itu merupakan Marxisme yang di terapkan di Indonesia. Sudah jelas bahwa itu berlawanan dengar Pancasila, karena paham itu secara langsung membahayakan Pancasila.
“Marxisme yang menganut paham pertentangan kelas dan pertentangan antar golongan jelas berlawanan dengan paham kita mengenai negara kekeluargaan. Pada dasarnya Marxisme yang Atheis itu bertolak belakang dengan Pancasila yang ber Ketuhanan Yang Maha Esa,” tegas Kepala Negara.
Pancasila yang termuat dalam UUD 45 yang didekritkan kembali berlaku 5 Juli 1959, menurut Presiden tidak lain adalah Pancasila yang merupakan kesepakatan bulat dari para pendiri Republik ini, dan mengesahkan UUD 45 itu pada tanggal 18 Agustus 45.
Dikatakan, Pancasila adalah rangkaian yang bulat, utuh dan sila-sila yang terkandung di dalamnya tidak boleh dipisah-pisahkan yang satu dengan yang lain.
Diingatkan, pengalaman pembangunan masyarakat-masyarakat modern lainnya menunjukkan kepada kita bahwa pembangunan masyarakat modern itu dapat mengakibatkan pendangkalan kehidupan keagamaan dan spiritual yang tidak jarang disertai dengan ketegangan-ketegangan.
Selain itu, pembangunan masyarakat modern menurut Presiden juga tidak jarang membawa akibat samping merosotnya martabat manusia.
“Kita harus dari semula menghindari kecenderungan ini dengan mengamalkan pancasila sebaik-baiknya, khususnya Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab dalam melaksanakan pembangunan yang secara konsekuen kita laksanakan sebagai pengamalan Pancasila,” ujar Kepala Negara.
Presiden berharap, dengan memelihara semangat dan arah pembangunan nasional yang telah digariskan itu, semangat keprajuritan dalam arti seluas-luasnya dapat menggugah setiap pengunjung museum keprajuritan di TMll ini.
Gagasan lbu Tien
Sementara itu Pangab Jenderal TNI L.B. Moerdani dalam laporannya mengatakan, selesainya proyek pembangunan Museum Keprajuritan Indonesia yang pembangunannya dimulai sejak Nopember 85 itu merupakan realisasi gagasan besar Ibu Tien Soeharto.
Museum Keprajuritan ini merupakan kelengkapan dari museum keprajuritan yang kita miliki sampai sekarang. Yakni Museum Pergerakan Nasional, Museum Pancasila Sakti dan Museum Satria Mandala.
Dikatakan, ABRI selalu menempatkan nama-nama pahlawan seperti Tengku Umar, Sisingamangaraja, Imam Bonjol, Sultan Agung, Diponegoro, Sultan Hassanuddin, Patimura dan nama-nama pahlawan bangsa Indonesia lainnya sebagai idola patriotisme dan profesionalisme keprajuritan bangsa Indonesia yang diagungagungkan oleh ABRI. Bahkan beberapa nama pahlawan tersebut telah dijadikan lambang identitas kesatuan maupun kepersenjataan.
Sumber: ANGKATAN BERSENJATA (06/07/1987)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 604-607