PRESIDEN SOEHARTO: MUSTAHIL ADA KREATIVITAS JIKA MASYARAKAT KETAKUTAN [1]

PRESIDEN SOEHARTO: MUSTAHIL ADA KREATIVITAS JIKMASYARAKAT KETAKUTAN [1]

Jakarta, Kompas

Presiden Soeharto menegaskan, prakarsa dan kreativitas masyarakat hanya mungkin tumbuh dan berkembang, antara lain dalam suasana yang nyaman, dan yang bebas dari cengkeraman ketakutan. Tanpa prakondisi itu, mustahil dapat diharapkan tumbuhnya prakarsa dan kreativitas dari mereka dalam rangka pembangunan yang akan datang.

Penegasan Kepala Negara itu disampaikan ketika menerima para peserta Kursus Singkat (Suskat) Angkatan III Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) di Bina Graha Jakarta, Selasa (3/8). Dalam laporannya, Gubernur Lemhanas Letjen TNI Soekarto mengemukakan, Suskat Angkatan III Lemhanas ini diikuti 58 orang, terdiri dari pejabat senior terpilih dari kalangan Pati ABRI dan non-ABRI yang menduduki jabatan eselon I serta orsospol dan swasta.

Peserta kursus ini, kata Gubernur Lemhanas, telah mengikuti kegiatan dengan baik sejak kursus dimulai 12 April 1993. Kursus menurut rencana berakhir tanggal 7 Agustus 1993. Menurut Presiden, selain suasana yang nyaman dan bebas dari cengkeraman ketakutan, juga diperlukan suasana yang menghargai jatidiri serta kepribadian, yang selalu menunjukkan kewajiban dan menghormati hak-hak, serta yang akan memberi tempat yang terhormat pada masa depan yang sedang dibangun bersama itu. Dalam menghadapi kurun seperempat abad yang akan datang, kata Kepala Negara, bangsa Indonesia akan memberikan perhatian lebih besar kepada peningkatan kualitas manusia serta masyarakat Indonesia.

“Yang menjadi perhatian kita secara khusus adalah penciptaan kondisi dan peluang yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya prakarsa dan kreativitas masyarakat tadi, ” kata Presiden. Untuk itu proses kejiwaan manusia, khususnya kejiwaan rakyat yang berkebudayaan majemuk ini harus benar-benar dipahami.

Pendekatan Proporsional

Pada bagian lain, Presiden mengingatkan agar semua pihak pandai-pandai menerapkan dan menempatkan secara proporsional pendekatan pertahanan keamanan dan pendekatan kesejahteraan. “Pendekatan hankam yang mewaspadai, menangkal dan menanggulangi kemungkinan tumbuhnya ancaman, gangguan dan hambatan, bukanlah untuk kepentingan hankam sendiri, tetapi untuk kepentingan bangsa secara menyeluruh,” katanya.

Kepala Negara menambahkan, dalam keadaan normal, pendekatan hankam melayani pendekatan kesejahteraan. Hanya dalam keadaan darurat, dalam keadaan luar biasa, pendekatan kesejahteraan mengalah terhadap pendekatan hankam. Inipun hanya berlaku dalam waktu sangat terbatas.

Untuk memberikan pegangan yang mantap mengenai cara bertindak dalam keadaan normal dan dalam keadaan darurat ini, Presiden berpendapat, perlunya dikembangkan doktrin-doktrin, baik yang bersifat nasional, sektoral maupun regional. “Dalam kaitan iniperlu pula dipahami, doktrin apa pun juga tidak boleh bersifat statis. Jika wawasan berkembang dan jika kondisi lingkungan berubah, doktrin harus dikembangkan dan disesuaikan. Jika sampai terlambat mengembangkan dan menyesuaikan, maka akan terjadi keragu-raguan dalam jajaran pemerintah dan dalam masyarakat tatkala menghadapi demikian banyak gejala,” tutur Presiden. Sebab itu pula, Presiden berharap Lemhanas sebagai lembaga pengkajian dan pendidikan strategis yang bersifat terpadu, yang mendidik kader-kader kepemimpinan nasional, perlu terus-menerus meningkatkan kualitas kajian dan pendidikannya.

Ketimpangan Sosek

Dalam amanatnya, Presiden juga mengemukakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa diiringi pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, akan menghasilkan ketimpangan sosial ekonomi (sosek) yang dapat menjadi bibit terganggunya stabilitas nasional.

Sebaliknya, tambah Presiden, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya tanpa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak banyak manfaatnya, karena hanya akan memeratakan kemiskinan. Bahkan, menurut Kepala Negara, pertwnbuhan ekonomi yang lamban dan terkejar oleh laju pertumbuhan penduduk akan mengakibatkan menurunnya taraf hidup. Hal ini tentu akan menimbulkan keresahan, yang pada gilirannya akan menjadi penyebab instabilitas. Sementara stabilitas nasional yang mantap dan dinamis juga sulit tercipta tanpa pemerataan pembangunan dan hasil­ hasilnya.

Sebab itu, ujar Presiden, tiga unsur Trilogi Pembangunan harus terwujud secara Jengkap. “Apa yang saya kemukakan itu juga menunjukkan bahwa terwujud atau tidaknya Trilogi Pembangunan-pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabilitas nasional yang mantap dan dinarnis akan menentukan bisa atau tidaknya kita mempertahankan kemantapan persatuan dan kesatuan bangsa,” ujarnya.

Menurut Presiden, semua pihak harus memberi makna yang mendasar, dinamis, dan demokratis terhadap konsep persatuan dan kesatuan atau pada integritas nasional ini. Persatuan dan kesatuan yang sehat, kata Presiden, bukan hanya dalam makna politik, tapi merupakan hasil dari proses terpadu antara aspek ekonomi, sosial budaya, politik dan hankam. Semuanya harus bersumber pada wawasan kenegaraan dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman. Inilah yang dimaksud dengan ketahanan nasional.

“Kita memang perlu membuat kajian yang lebih mendalam mengenai integritas nasional dalam tahun-tahun mendatang. Kita harus mengkaji faktor-faktor yang mendukung maupun yang menggoyahkannya, sehingga dapat diambil saripati asas-asas yang mendasarinya sebagai sumber kearifan yang akan dimanfaatkan dalam merumuskan kebijaksanaan masa depan,” kata Presiden.

Kearifan demikian inilah yang harus diteruskan kepada generasi demi generasi kader pemimpin nasional. Tujuannya agar kader kepemimpinan nasional tidak mengulangi kesalahan para pendahulunya dan diharapkan dapat merintis terobosan­ terobosan baru yang aman serta memungkinkan semua pihak mengerahkan seluruh potensi nasional dalam kondisi lingkungan dunia yang makin rumit, demikian Presiden. (vik)

Sumber: KOMPAS (04/08/1993)

____________________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 194-196.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.