PRESIDEN SOEHARTO NYATAKAN TIDAK BERKOLUSI DENGAN LIEM SlOE LIONG

PRESIDEN SOEHARTO NYATAKAN TIDAK BERKOLUSI DENGAN LIEM SlOE LIONG[1]

 

Jakarta, Merdeka

Bisik-bisik sejumlah kalangan yang selama ini meniupkan isu bahwa berkembangnya dua perusahaan besar milik Liem Sioe Liong merupakan hasil kolusi antara pengusaha terkaya ini dengan Presiden Soeharto, dijlentrehkan secara langsung oleh Pak Harto sendiri, Minggu (24/9) kemarin. PakHarto menjelaskan masalah sensitif itu dengan gamblang di depan 200-an pengusaha anggota KUKMI (Kerukunan Usahawan Kecil dan Menengah Indone­sia) di Tapos Bogor, seraya meminta agar pengusaha besar, pengusaha menengah, dan pengusaha kecil menumbuhkan sikap kemitraan. Jangan saling memaki dan jangan konfrontatif

“Bekerjasamalah seerat mungkin untuk mewujudkan kemitraan itu agar pengusaha kecil serta pengusaha menengah bisa meningkat kemampuan dan peranannya,” kata Kepala Negara. Para pengusaha anggota KUKMI yang menghadap Presiden di Tapos kemarin, diantar oleh Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Subiakto Tjakrawerdaya.

Dari kalangan pengusaha besar yang hadir hanya Aburizal Bakrie yang juga Ketua Umum Kadin lndonesia. Sementara Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, Prajogo Pangestu, dan konglomerat lainnya yang juga diundang KUKMI berhalangan hadir. Penjelasan Pak Harto seputar isu kolusi di depan pengusaha menengah dan kecil kemarin terasa menjawab menghangatnya pembicaraan tentang posisi dan peranan konglomerat dalam perekonomian nasional akhir-akhir ini. Juga berkaitan dengan hubungan mereka dengan pengusaha menengah dan kecil. Salah satu masalah kongkrit yang dijelaskan Pak Harto itu berkaitan dengan dua perusahaan swasta yang akhir-akhir ini disorot sebagian masyarakat karena dinilai selama ini menikrpati fasilitas monopoli dan subsidi dari pemerintah, yakni pabrik se­men PT Indocement Tunggal Perkasa dan pabrik tepung terigu PT Bogasari Flour Mills. Presiden Soeharto menegaskan, berkembang pesatnya  PT.  Indocement  dan PT. Bogasari itu bukan basil kerjasama atau kolusi dirinya dengan salah seorang pemilik perusahaan itu, Liem Sioe Liong. “Itu bukan kolusi saya dengan. Oom Liem,” kata Pak Harto. Presiden lalu menceritakan kisah Om Liem memulai bisnisnya di sini.

“Sekarang bisa saya buka (rahasianya- red) . Pada tahun 1970-an, Liem Sioe Liong datang pada saya dan minta saran tentang usaha apa yang bisa dilakukannya,” kata Pak Harto.

Pengusaha kelahiran Fukien (China) pada tahun 1916 itu, lanjut Pak Harto, sudah dikenalnya sejak di Semarang ketika ia menjabat Panglima Kodam Diponegoro tahun 1960-an. Setelah itu, Pak Harto menceritakan ikhwal Om Liem mengelola Bogasari. ”Namanya Om Liem itu kan pengusaha. Saya mengenalnya mulai di Semarang. Dia datang kepada saya. Dia ngomongnya kan cerat (cedal, Red) kan ndak teteh (tidak jelas, Red), “kata Pak Harto.

Pak Harto dengan sabar lalu mengutip kembali kalirnat-kalimat Om Liem ketika menemuinya dulu, “Pak saya ini kan orang ketja. Mau ketja untuk rakyat. Apa yang halus saya lakukan,” kata Pak Harto menirukan kalimat Oih Liem dulu.

Menurut Pak Harto, Om Liem minta tugas. Dia mau kerja, tapi tidak tahu apa yang harus dikerjakan. “Saya berikan petunjuk. Saya bilang, kamu jangan hanya dagang cari untung. Tapi harus membangun industri yang dibutuhkan rakyat. Misalnya, pangan. Kita memang sudah memproduksi pangan, tapi bahan pangan lainnya juga masih dibutuhkan. Kamu ada ternan lain untuk mendukung modal,” tanya Pak Harto. Om Liem menjawab bahwa dia punya teman untuk mendirikan pabrik itu. “Baik kalau gitu kamu mendirikan pabrik tepung terigu. Karena pemerintah mempunyai terigu PL 480 (bantuan kredit dari Amerika Serikat untuk gandum, Red). Tapi kamu hanya mengolah, yang mengendalikan tetap Bulog’ kata Pak Harto.

Jadi, lanjut Pak Harto, sejak dulu memang bukan Om Liem yang mendirikan. Om Liem hanya sebagai tukang jahit saja. Terbukti dia bisa menggunakan dukungan modal dari luar negeri untuk mendirikan industri pangan yang dibutuhkan rakyat. “Ini sudah merupakan  salah satu keikutserta andalan pembangunan,” kata Pak Harto. Menurut Kepala Negara, sekarang seolah-olah hanya Om Liem saja yang diberi kesempatan. Padahal kepada yang lain pun juga diberi kesempatan untuk mendirikan. Pak Harto juga menjelaskan latar-belakang PT Indocement yang sahamnya antara lain dimiliki Liem Sioe Liong, Sudwikatmono dan Ibrahim Risyad. Begitu pula soal semen. Pembangunan itu setelah pangan adalah papan. Nah untuk membangun papan (rumah) ini diperlukan semen. Lalu Om Liem dan teman-temannya mendirikan pabrik semen. Secara kebetulan waktu itu pemerintah sudah menerima investasi dari AS di Cibinong. Investor ini sanggup membangun pabrik semen dengan kapasitas dua juta ton per tahun,” katanya. Tapi pada permulaan, ujar Presiden, perusahaan ini sanggup membangun pabrik dengan kapasitas 500 ribu ton saja. Investor itu minta sebelum mereka mampu memproduksi 2 juta ton, pabrik lainnya agar tidak diizinkan membangun pabrik. Menurut Pak Harto, tentu saja permintaan itu tak dikabulkan. sebab kebutuhan semen akan terus meningkat mereka berharap agar pabrik di luar negeri terus bisa mengekspor ke Indonesia, lalu kita tidak bisa mandiri. “Lalu saya panggil grupnya Liem. Kamu sanggup mendirikan pabrik semen,” tanya Pak Harto. “Sanggup,”jawab Om Liem. Setelah ada kesanggupan dari Om Liem, diberitahu kepada investor AS agar mereka segera memenuhi kapasitas produksinya yakni 2 juta ton semen. Kalau tidak mampu memproduksi 2 juta ton lebih baik batal saja, lalu pabrik dari AS ini dijual kepada pengusaha nasional (grup Om Liem) dan mereka mundur.

Inilah antara lain proses yang sekarang banyak disoroti sebagai monopoli. Ada tugas tertentu yang harus dilaksanakan. Ini bukan karena kolusi saya dengan Liem. “Tidak. Tapi untuk kepentingan negara dan bangsa dan saya harus menentukan, kamu harus demikian,” kata Pak Harto sambil tertawa Iebar. Bahwa kemudian masih berkembang isu monopoli serta isu kolusi antara pejabat pemerintah dengan pengusaha besar, Presiden berkata, “Mungkin ada orang-orang yang sebenarnya sudah mengerti duduk persoalannya, tapi kemudian menjadikan masalah ini sebagai isu politik.”

Dalam kaitan itu, Pak Harto menegaskan bahwa pemerintah memerlukan pengusaha besar, pengusaha menengah dan pengusaha kuat guna mewujudkan kemandirian dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Rp 35,5 Triliun

Menyinggung usaha pemerintah dalam meningkatkan kemampuan pengusaha kecil, Presiden Soeharto mengungkapkan bahwa pemerintah telah mengambil berbagai langkah,antara lain menyalurkan kredit perbankan berjumlah Rp35,5 triliun (dari to­tal kredit Rp 150triliun) bagi pengusaha kecil dan menengah. Selain itu Pemerintah juga memberi kesempatan kepada pengusaha menengah untuk ikut mendirikan pabrik-pabrik besar, sebagai upaya menghilangkan kesan adanya monopoli oleh pengusaha-pengusaha tertentu. Pemerintah, lanjut Presiden, sebenarnya telah minta kepada pabrik-pabrik semen berskala besar agar tidak memperluas pabrik, untuk memberi kesempatan pada pengusaha kecil dan menengah membangun pabrik semen. Pemerintah telah menerima 23 permohonan pembangunan pabrik semen di berbagai daerah. Tapi kenyataannya tak satupun yang terealisasi, karena ternyata mereka tidak mampu setelah mendapat izin.

“Ada yang kemudian izin itu dibawa ke mana-mana untuk dijual. Tentu saja or­ ang tidak mampu membeli, kata Presiden, yang dalam kesempatan di Tapos kemarin mengajak tamunya mengelilingi peternakan sapi dan domba itu, sambil menjelaskan berbagai usaha percontohan pemeliharaan ternak dan pertanian yang ada di sana.

Sumber:MERDEKA ( 25/09/1995)

______________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 399-402.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.