PRESIDEN SOEHARTO PADA HARI PANGAN SEDUNIA
SEMUA BANGSA BERTANGGUNG JAWAB
Seluruh umat manusia, semua bangsa di dunia, perlu berusaha bersama-sama dan bertanggung jawab sebesar-besarnya untuk mengamankan kebutuhan pangan dunia.
Ini bertujuan agar setiap orang, tanpa memandang bangsa, warna kulit maupun kedudukan sosial masing-masing akan terjamin kebutuhan pangannya sepanjang waktu, baik di musim panen maupun di waktu paceklik.
Imbauan tersebut diungkapkan dalam sambutan tertulis Presiden Soeharto yang dibacakan Menteri Pertanian Ir. Achmad Affandi pada peringatan Hari Pangan Sedunia III di Taman Mini "Indonesia Indah", Minggu siang. Hadir pada kesempatan itu para menteri Kabinet Pembangunan IV bersama isteri.
Menurut Presiden, bangsa-bangsa yang sedang membangun harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk berswasembada pangan. Sehingga mampu menjamin rakyatnya dengan pangan yang bergizi, mudah diperoleh dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Namun demikian, karena tantangan yang dihadapi bangsa yang sedang membangun itu jauh lebih besar dari kemampuan yang dapat mereka kerahkan, maka bangsa-bangsa yang telah maju harus mengulurkan tangan untuk membantu mereka dalam pergumulan besar dalam memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia ini.
Dalam hubungan ini. Indonesia selalu mendukung dan turut aktif dalam kerja sama internasional dalam meningkatkan pengadaan pangan dunia. Terutama melalui sumbangan nyata dalam rangka kerja sama teknik antar negara berkembang. Indonesia juga aktif berperan dalam pembentukan. Rencana Pengamanan Pangan ASEAN, yang ternyata telah dijadikan pola kerja sama di wilayah lain.
Indonesia yakin, sumber daya alam dunia sesungguhnya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan yang bergizi bagi umat manusia.
Memprihatinkan
Sementara itu Presiden juga mengemukakan, meskipun produksi pangan dunia tahun 1983 diperkirakan meningkat dan di berbagai negara terdapat kelebihan produksi, keadaan pangan dunia masih tetap memprihatinkan. Sebab satu di antara sepuluh orang di dunia ini menderita kekurangan pangan dan gizi. Mereka berjumlah tidak kurang dari 450 juta orang, termasuk anak-anak yang sama sekali tidak berdosa dan tidak berdaya.
Dalam melihat keadaan pangan dunia ini, Presiden Soeharto di satu pihak merasa lega karena negara-negara di Asia dan Amerika Latin berhasil memenuhi kebutuhan pangan penduduknya.
Namun di pihak lain ia merasa prihatin karena keadaan pangan di Afrika malah sebaliknya. Kemampuan menghasilkan pangan di kawasan yang sangat luas itu menurun selama lebih dari satu dasawarsa terakhir ini. Akibatnya, 80 juta manusia dari 500 juta penduduk Afrika menderita kekurangan pangan dan gizi.
Menurut Presiden, kesengsaraan dan penderitaan akibat kekurangan pangan dan gizi, tidak kalah dengan penderitaan akibat peperangan yang dahsyat. Sebab masa depan berjuta-juta bayi dan anak-anak yang menderita kekurangan pangan dan gizi bisa merupakan gambaran masa depan yang suram.
Tapi di pihak lain, dalam zaman di mana manusia menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat tinggi, manusia bisa terbang mengelilingi bulan dengan selamat, orang menghambur-hamburkan uang untuk kemewahan dan perlombaan senjata pemusnah.
Maka penderitaan orang lain yang kekurangan pangan dan gizi itu merupakan aib besar bagi umat manusia, perikemanusiaan dan peradaban.
Karena itu masalah pangan merupakan masalah bersama dan tanggung jawab bersama seluruh umat manusia. Segenap bangsa tanpa kecuali cadangan pangan.
Keadaan pangan dunia yang tidak menggembirakan tadi, menurut Presiden akan memberi pengaruh yang tidak menguntungkan bagi Indonesia, jika tidak menangani masalah tersebut secara tepat. Karenanya produksi pangan terus ditingkatkan, selain itu Indonesia juga ingin memberi sumbangan kepada negara-negara berkembang yang membutuhkan.
Cadangan pangan nasional juga diusahakan meningkat agar mencukupi penyediaan pangan bagi masyarakat. Untuk itu, selain dibangun gudang-gudang yang tersebar di wilayah negara yang luas ini, juga ditingkatkan peran lumbung-lumbung desa.
Cara lain dalam pengamanan pangan nasional, juga diusahakan melalui penganekaragaman pangan yang bergizi. Pola menu makanan di masyarakat dikembangkan agar mencakup lebih banyak jenis dan kandungan gizinya.
Ini diperlukan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang amat beraneka ragam di Indonesia secara lebih efisien. Dalam hubungan penganekaragaman pangan, peranan kaum wanita khususnya ibu rumah tangga, amat penting dalam menggali kemampuan daerah yang sebenarnya amat kaya akan sumber alam.
Beras ditekan
Sementara itu Menteri Pertanian Ir. Achmad Affandi kepada pers seusai peringatan mengatakan, dalam Pelita IV mendatang peningkatan konsumsi beras akan ditekan dmi 4,5 persen per tahun menjadi hanya tiga persen. Caranya, dengan sedikit mengalihkan kebiasaan makan nasi ke makanan lain sebagai sumber karbohidrat.
Menurut menteri, produksi beras Indonesia setiap tahun harus meningkat 4,5 persen per tahun untuk mengejar peningkatan konsumsi.
Kebutuhan beras yang meningkat cukup tinggi ini disebabkan kenaikan jumlah penduduk dan meningkatnya pendapatan rakyat Indonesia.
Di pihak lain tanah-tanah area tanaman padi sudah menciut dan kemampuan intensifikasi pun akan mengalami kejenuhan. Karenanya konsumsi beras perlu ditekan. "Kalau yang akan datang bisa ditekan 3 sampai 3,5 persen pun, sudah bagus," katanya.
Dikatakan pula, Jepang pemah menekan konsumsi berasnya dari 170 kg per kapita per tahun setelah perang dunia II, sekarang hanya mengkonsumsi 80 kg. Tapi konsumsi beras per kapita orang Indonesia yang sekarang 137 kg/kapita/tahun, menurut Menteri Affandi masih mengalami kenaikan sampai 140-141 kg dan kemudian akan turun.
Penurunan konsumsi itu untuk bangsa Indonesia akan mencapai tingkat maksimal 109 kg/kapita/tahun.
Walaupun konsumsi beras ditekan melalui penganekaragaman menu, produksi beras terus ditingkatkan dan pengertian swasembada pangan nantinya harus bersifat swasembada nasional. Yaitu disesuaikan dengan potensi pangan di suatu wilayah, tidak tergantung pada beras.
Pameran Pangan
Seusai memperingati Hari Pangan Sedunia Ill, para hadirin melihat pameran aneka ragam makanan nasional yang diselenggarakan oleh ibu-ibu Dharma Wanita dan pramuwisata daerah.
Beberapa menteri nampak mencicipi hidangan "sagu mutiara" dan "jagung tim" hasil karya Dharma Wanita Bulog. Kedua jenis makanan itu bisa digunakan sebagai pengganti nasi.
Di stand Irian Jaya, nampak makanan pokok penduduk asli berupa sagu, talas dan umbi-umbian lain. Tapi ketika ditanya apakah orang Irian suka nasi, seorang pramuwisata anjungan Irja di TMII Marchell Siante mengatakan, "suka juga".
Ia mengatakan, beras itu barang impor, di Irja orang tidak kenai beras tapi sekarang, orang Irian yang tinggal di kota-kota sudah makan nasi. Kecuali yang di pedalaman masih makan sagu, talas atau umbi-umbian lain.
Selain makanan pokok sumber karbohidrat, juga diperlihatkan sumber protein yang tak kalah gizinya.
Di suatu stand, para menteri juga mencicipi sate kelinci di stand Irja disediakan sate ulat sagu (apatar). (RA)
…
Jakarta, Kompas
Sumber : KOMPAS (17/10/1983)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 487-490.