PRESIDEN SOEHARTO PADA SIDANG MAJELIS UMUM KE-47 PBB: SUDAH WAKTUNYA HAK VETO DITINJAU
New York, Merdeka
Presiden Soeharto mengingatkan, kini sudah saatnya keanggotaan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB) untuk diperluas, dengan masuknya anggota-anggota baru. Di samping itu, sudah tepat waktunya untuk meninjau kembali secara konstruktif cara-cara hak veto yang sekarang ini dilaksanakan.
“Sekiranya kepada anggota-anggota bam DK PBB itu tidak dapat diberikan hak veto, setidak-tidaknya kepada mereka perlu diberikan status sebagai anggota tetap,” kata Presiden Soeharto dalam pidatonya pada Sidang Majelis Umum Ke-47 PBB di New York, Amerika Serikat, Kamis pagi waktu setempat, atau Kamis malam WIB.
Pidato Presiden Soeharto sebagai Ketua Gerakan Non Blok (GNB) itu disiarkan melalui televisi ke seluruh penjuru dunia dalam bahasa Inggeris, Perancis, RRC, Arab dan Spanyol.
Dikatakan, masuknya negara-negara baru menjadi anggota DK PBB perlu didasarkan atas kriteria yang relevan, yang lebih cermat mencerminkan keadaaan dunia yang sebenarnya dewasa ini. Itu berarti bahwa kriteria tersebut harus juga memperhatikan konsep yang lebih luas mengenai keamanan, dengan memperhatikan aspek-aspek ekonomi dan sosial, disamping aspek-aspek militer.
“Kita tidak dapat menutup mata terhadap fakta bahwa kebijakan-kebijakan ekonomi negara-negara industri dan bobot-bobot ekonomi negara berkembang, terutama yang berpenduduk paling banyak, juga mempunyai pengaruh sama besarnya terhadap perdamaian dan keamanan internasional, seperti halnya pengaruh kekuatan militer,” kata Presiden.
Dikatakan, di masa lalu perhatian utama PBB memang dapat diarahkan pada upaya pencegahan timbulnya perang dunia dan pembebasan bangsa-bangsa dari penjajahan politik. Tetapi dewasa ini, perhatian dan usaha dunia, seyogyanya harus mengacu pada perjuangan bangsa-bangsa untuk pembangunan nasionalnya,” kata Presiden.
“Perhatian ini harus dicerminkan dalam karya PBB maupun komposisi dan dinamika badan-badannya, terutama Dewan Keamanan,” kata Kepala Negara.
“Kita sekarang ini hidup dalam era pembangunan di mana kekuatan ekonomi semakin menentukan. Kita hidup dalam dunia di mana jutaan penduduk di negaranegara berkembang mulai menuntut haknya untuk mewujudkan potensi ekonomi dan sosialnya,” ujarnya menambahkan.
Gairah
Menurut Presiden, PBB serta badan-badan utamanya perlu melakukan proses peninjauan dan penggairahan kembali secara berkala, agar tetap dapat mengadakan penyesuaian dinamis terhadap realita yang berkembang dalam hubungan internasional.
Dengan demikian, organisasi dunia itu dapat terus memainkan peranannya yang efektif sebagai pusat penanganan berbagai masalah global yang kritis dewasa ini.
“Sehubungan dengan itu kami, Gerakan Non Blok, berketetapan hati untuk memainkan peranan aktif dan konstruktif dalam usaha revitalisasi, restrukturisasi dan demokrati sasi sistem PBB,” ujar Presiden Soeharto.
Untuk maksud tersebut, lanjutnya, GNB telah memutuskan untuk membentuk suatu kelompok kerja pada tingkat tinggi, dengan tugas merumuskan usul-usul konkret bagi restrukturisasi PBB.
Hal yang juga penting, menurut Presiden, terjadinnya suatu hubungan yang berimbang antara Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial dan Sekretaris Jenderal.
“Kami menganggap sangat perlunya pertanggung jawaban yang lebih besar dan Dewan Keamanan kepada Majelis Umum mengenai keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang diambil yang menyangkut Kepentingan seluruh masyarakat intemasional,” ujarnya.
Dikatakan, peranan Majelis Umum sebagai forum untuk pembahasan, perundingan dan pengambilan keputusan harus ditingkatkan. Kemampuan PBB untuk meningkatkan pembangunan dan kerjasama internasional perlu diperkuat melalui menggairahan kembali fungsi Dewan Ekonomi dan Sosial.
Di samping itu, Sekjen PBB harus didukung oleh pelbagai sarana yang sepadan dengan tugasnya yang telah berkembang secara luas sebagai akibat perkembangan dunia belakangan ini.
Berkaitan dengan itu mandat Sekjen PBB perlu diperluas agar memungkinkan mengambil prakarsa yang diperlukan dalam melaksanakan suatu diplomasi preventif, dan dalam meningkatkan efisiensi kegiatan PBB di bidang penyelesaian sengketa dan pemeliharaan perdamaian.
Presiden mengungkapkan, ketika Piagam PBB dirumuskan dan badan-badan didirikan tahun 1945, perhatian utama negara-negara pendirinya memang setepatnya tertuju pada usaha untuk mencegah timbulnya lagi bencana perang yang akan memusnahkan umat manusia. Sebab itu mereka, merancang suatu sistem keamanan bersama yang diharapkannya dapat mencegah terjadinya lagi perang dunia.
Tapi sejak itu dunia berubah secara mendasar. Namun selama 47 tahun belakangan ini sejumlah besar negara telah mencapai kemerdekaannya dan menjadi anggota berdaulat PBB. Masuknya negara-negara itu mencerminkan perjuangan semesta bangsa-bangsa di dunia untuk membebaskan, diri dari belenggu kolonialisme.
Ditegaskan, negara-negara maju akhir-akhir ini secara vokal mengumandangkan agar demokrasi dan “pemerintahan yang baik” seyogyanya dijadikan bagian integral dari proses pembangunan, terutarna di negara-negara berkernbang. Bahkan ada yang cenderung untuk menjadikannya sebagai kondisionalitas baru dalarn kerjasama pembangunan.
Status
Presiden mengemukakan, seruan agar dilaksanakannya demokratisasi serta pembaharuan secara demokratis di semua negara sesungguhnya sangat tepat, karena langsung menyentuh aspirasi dasar setiap manusia dan setiap bangsa.
”Namun, demokrasi bukanlah merupakan suatu konsep yang statis terbatas pada bentuk-bentuk dan praktek-praktek baku tertentu,” katanya.
Memang, prinsip-prinsip dan aspek-aspek dasarnya dapat dikatakan memiliki keberlakuan secara universal, narnun tidak ada satu bentuk demokrasi pun yang dapat dianggap berlaku secara universal mengingat keanekaragaman nilai-nilai budaya dan pengalaman sejarah bangsa-bangsa di dunia.
Lagi pula, kata Presiden, akan sungguh merupakan suatu pengingkaran dari prinsip dasar demokrasi itu sendiri jika keberlakuannya hanya dituntut dalarn setiap negara, sementara nilai-nilainya diabaikan dalam hubungan antar negara.
“Sesungguhnya demokrasi dan demokratisasi merupakan proses yang dinamis, yang harus senantiasa serasi dengan nilai-nilai fundamental setiap bangsa dan perlu secara terus menerus disesuaikan dengan realita yang berkernbang, agar dapat tetap relevan dan lebih penting lagi, agar tetap demokratis,” kata Presiden.
“Pengamatan ini juga berlaku terhadap PBB. Karena itulah GNB telah rnendesak agar organisasi multilateral ini, harus juga mencerminkan asas dernokrasi tersebut dalam bentuk keadilan, persamaan dan keterbukaan, baik dalam perwakilan negaranegara anggotanya maupun dalam proses pengambilan keputusan,” ujarnya menarnbahkan.
Presiden mengemukakan, dunia dewasa ini masih jauh dari suasana damai, adil dan aman. Perlu disadari bersama bahwa kini perdamaian dan keamanan juga banyak tergantung pada faktor-faktor sosio-ekonomi di samping faktor militer.
Pupusnya harapan bagi kemajuan ekonorni dan sosial, pengangguran dalarn skala besar, kemiskinan, gejala migrasi lintas-batas secara besar-besaran dan pencemaran
lingkungan, menurut Presiden, juga sangat membahayakan perdarnaian. Dalarn bagian lain pidatonya, Kepala Negara juga menjelaskan mengenai hasilhasil KTT GNB yang diselenggarakan 1-6 September lalu di Jakarta, yang dikenal dengan “Pesan Jakarta” atau “Jakarta Message”.
Dikatakan, keputusan-keputusan serta pendirian-pendirian dasar yang telah disepakati pada KTT ke-10 GNB itu, merupakan suatu jawaban dan sekaligus prakarsa GNB dalam rangka menyesuaikan diri secara dinamis menghadapi tantangantantangan dan peluang-peluang sebagai akibat perkembangan-perkembangan mendasar yang telah merubah pola-pola tata hubungan internasional.
“GNB telah memberi sumbangannya yang berarti dalam menggerakkan perubahan-perubahan tersebut,” kata Presiden Soeharto.
Sumber : MERDEKA (25/09/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 275-278.