PRESIDEN SOEHARTO: PENDUDUK TIDAK BISA DILIHAT DARI SUDUT JUMLAH SAJA

PRESIDEN SOEHARTO: PENDUDUK TIDAK BISA DILIHAT DARI SUDUT JUMLAH SAJA[1]

Jakarta, Kompas

Kepala Negara menyatakan, mulai Repelita VI nanti penduduk tidak bisa dipandang dari sudutjurnlah saja. Penduduk adalah manusia, bukan sekadar jumlah. Sebagai manusia seutuhnya, penduduk harus dilihat dalam matra diri pribadi, anggota keluarga, anggota kelompok dan masyarakat maupun sebagai warga negara dan bangsa. Jika pembangunan hanya ditujukan untuk memenuhi jumlah besar saja, manusia hanya menjadi angka rata-rata. Pembangunan yang demikian dapat menyebabkan kesenjangan.

Seruan Kepala Negara ini disampaikan dalam upacara penyerahan penghargaan kependudukan Adipura dan Kalpataru tahun 1992 dalam rangka peringatan hari kependudukan, hari lingkungan hidup sedunia serta peresmian pembukaan konferensi kependudukan nasional (11 – 16 Juli 1992) di Istana Negara, hari Sabtu kernarin. Hadir dalam upacara ini antara lain Ny. Tien Soeharto, Wakil Presiden dan Ny. EN Sudharmono, para Menteri Kabinet Pembangunan V serta para pejabat tinggi lainnya.

Ketika menjelaskan tentang masalah lingkungan, kependudukan dan pembangunan, Presiden mengatakan, sebagai manusia seutuhnya, penduduk harus dilihat dalam keseluruhan matranya. Karena itu pembangunan yang tertuju kepada manusia, sebagaimana pembangunan nasional Indonesia, harus memperhatikan seluruh matra tadi. “Jika pembangunan hanya kita tujukan untuk memenuhi jumlah besar saja, maka manusia hanya menjadi angka rata-rata. Kita mengabaikan siapa penduduk yang menjadi sasaran pembangunan, apa dan berapa banyak kebutuhannya masing-masing, bagaimana kekuatan dan kelebihan mereka sebagai sumber daya dan dimana mereka berada.”

Menurut Presiden pembangunan yang demikian menyebabkan kesenjangan, baik kesenjangan antar penduduk maupun kesenjangan antara daerah. Ditekankan, apabila perencanaan kurang teliti memperhitungkan perkembangan penduduk yang terakhir, maka upaya pembangunan mungkin akan menjangkau sasaran penduduk atau lokasi yang kurang tepat. “Sebagai contoh, adanya daerah yang mengalami kelebihan gedung sekolah tapi kekurangan murid, sementara daerah lain mengalami kekurangan sekolah dan kebanjiran murid, “kata Presiden .

Kepala Negara mengatakan, hal ini penting untuk diperhatikan mulai sekarang. “Penduduk kita sedang mengalarni perubahan besar dalam pertumbuhan, kualitas dan mobilitas,” kata Presiden. “Kita tidak dapat lagi memperkirakan arah perkembangan ke depan, hanya atas dasar perkembangan jumlah penduduk masa yang lalu, ” lanjutnya.

Namun Presiden juga menunjukkan, “Kita merasa bersyukur, bahwa berbagai hal yang sebut tadi telah ditampung dalam Undang-undang mengenai Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera yang telah kita miliki.”

Pengaturan kependudukan dalam undang-undang ini, Ianjut Presiden, dikaitkan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Penduduk diperlakukan sebagai manusia seutuhnya, dan dijamin hak-haknya dalam segenap matranya. Ini lebih bermakna dan merupakan langkah nyata dalam mewujudkan hak-hak azasi manusia.

“Kita mengakui hak-hak pribadi penduduk secara nyata, tetapi hak individu ini juga terkait dengan hak keluarga, kelompok dana masyarakat serta lingkungan hidupnya. Undang-undang ini sangat maju dan antara lain kita siapkan untuk menunjang sasaran Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua.”

Namun, kata Presiden, bagaimana pun bagusnya undang-undang, ia tidak akan membawa hasil jika tidak diikuti dengan tindak Ianjut secara terpadu . Dalam kaitan ini, Presiden minta agar semua instansi mempelajari relevansi dan peran penduduk dalam sektor masing-masing, dan memikirkan bagaimana cara memperhitun gkan berbagai seginya itu ke dalam pembangunan mulai Repelita VI. Pada tingkat daerah, kata Kepala negara, perlu pula segera dikembangkan kelembagaan yang memadai guna memantau dan mengelola perkembangan kependudukan dalam kaitannya dengan lingkungan hidup.

“Hendaknya kita tidak melupakan, perubahan penduduk dan lingkungan itu terjadi di daerah, “kata Kepala Negara.Presiden rnenyarankan agar prinsip-prinsip pokok dari Deklarasi Rio de Janeiro tentang lingkungan dan pembangunan dapat dijadikan bagian dari prinsip pembangunan nasional dalarn Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 yang akan datang. “Agar apa yang telah kita setujui dapat kita laksanakan,” katanya.

Menurut Presiden, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi baru-baru ini Indonesia telah menyetujui Deklarasi Rio de Janeiro, Piagam Bumi, Agenda 21, konvensi Perubahan Iklim dan Konvensi Keanekaragaman Hayati. Disamping hal-hal yang mengikat. Indonesia juga menyetujui beberapa prinsip yang tidak mengikat secara hukurn mengenai kehutanan. “Semua itu mernberikan pekerjaan rurnah bagi jajaran lingkungan hidup Indonesia, untuk mempersiapkan langkah dan tindak lanjutnya,” kata Presiden.

Presiden juga mengetengahkan perlunya Agenda 21 dituangkan ke dalam Pola Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua dan Repelita VI. “Hasil-hasillain yang lebih teknis dapat dituangkan ke dalam butir-butir Repelita, ” ujar Kepala Negara.

Widjojo Nitisastro

Acara kernarin antara lain ditandai dengan munculnya Prof Dr. Widjojo Nitisastro yang menerima penghargaan dari Presiden atas jasa dan prestasinya memadukan kependudukan dalam pembangunan. “Salah seorang intelektual yang telah merintis dimasukkannya kependudukan dalam pembangunan adalah Saudara Widjojo Nitisastro. Selaku mahasiswa, Widjojo bersama dengan Prof Dr Nathan Keyfiz telah menulis buku Soal Penduduk dan Pembangunan Indonesia (1955), “demikian kata Menteri Negara kependudukan dan Lingkungan Hidup Prof Dr Emil Salim dalam sambutannya.

Selaku direktur Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1954 -1957), Widjojo memimpin para mahasiswa menyelenggarakan penelitian dalam bidang urbanisasi, transmigrasi, monografi desa dan lain-lain.

Sumbangan besar yang telah diberikan Widjojo pada perbendaharaan ilmu pengetahuan Indonesia, kata Emil, yakni berupa disertasi doktornya pada Universitas California di Berkeley dengan judul Migration, Population Groiuth, and Economic Development in Indonesia of The Economic Consequences of Alternative Pattern oflnter-Island Migration (1960) dan buku Population Trend in Indonesia diterbitkan oleh Cornel University tahun 1970. Penerima penghargaan lingkungan hidup nasional Kalpataru adalah H Idris Bentara dari Kecamatan Perwakilan Jeunieb Aceh Utara, Aceh (perintis lingkungan).

Penghargaan Kalpataru untuk pengabdi lingkungan diberikan kepada Laurensius Riberu dari Kecamatan Larantuka, Flores Timur, NTT dan Pua Ruddy T dari Remoong Atas, Kecamatan Tareran, Sulut serta Sardi dari Nganoar Magetan, Jatim. Untuk pembina lingkungan H Ismail Husin dari Kecamatan Indra Giri Hulu, Riau dan KH Moh Hasanuddin, Garut, Jabar. Seperti Idris Bentara, penerima Kalpataru dari Sulut Pua Ruddy tidak hadir dalam upacara di Istana Negara. “Kasihan dia, saya tidak bisa mengurusnya karena lebih dulu berangkat ke Jakarta untuk keperluan dinas,” kata Walikota Manado mengomentari ketidakhadiran Pua.

Penghargaan Adipura Kencana diterima oleh masyarakat kota Surabaya, Surakarta dan Magelang. Ketiga kota ini mendapat penghargaan dengan predikat Adipura Kencana (penghargaan yang lebih daripada 27 kota lainnya yang menerima penghargaan Adipura 1992) karena menonjol tinggi dalam segi manajemen kebersihan kota, peran serta masyarakat, pengaruh kebersihan pada kesehatan dan keadaan riil kebersihan fisik di hipangan. “Kebersihan kota kami terjaga antara lain karena adanya tim khusus PKK yang selalu ikut memperhatikan kebersihan di pasar-pasar, hotel­ hotel, stamplat bus dan tempat umum lainnya, ” kata istri Walikota Magelang Susilowati Soekarno.

Jumlah seluruh kota penerima penghargaan Adipura 1992 adalah 30 kota. Untuk kelompok kota raya terdiri dari Surabaya, Semarang, Bandung dan Jakarta Pusat. Untuk kelompok kota besar  Surakarta, Malang, Padang dan Bandar Lampung. Untuk kelompok kota sedang Magelang, Manado, Tegal, Jambi, Purwokerto, Cirebon, Balikpapan dan Cianjur. Untuk Kelompok kota kecil ialah Magetan, Bangil, Banjamegara, Bukittinggi, Kudus Situbondo, Pare-Pare, Solok, Wonosobo, Boyolali, Padang Panjang, Wonogiri, Tabanan dan Temanggung .(osd)

Sumber: KOMPAS (12/07/1992)

________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 796-799.

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.