PRESIDEN SOEHARTO: PERBANYAK JUMLAH PENELITI
BERKUALITAS[1]
Jakarta, Kompas
Presiden Soeharto menyerukan agar diberikan perhatian sebesar-besarnya kepada upaya-upaya untuk memperbanyak jumlah peneliti yang berkualitas, dengan menyediakan berbagai sarana, prasarana dan biaya yang dibutuhkan.
Kepala Negara juga rninta agar dipikirkan upaya pembibitan generasi muda sebagai peneliti. “Saya mengajak kepada para ilmuwan senior dan masyarakat urnurnnya untuk sungguh-sungguh rnernikirkan upaya-upaya pernbibitan peneliti secara terencana dan terarah ,agar kita merniliki peneliti yang cukup guna mendukung usaha usaha pembangunan, ” kata Presiden dalam pidato pembukaan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas) VI di Istana Negara, Jakarta, Senin (11/9). Kepala Negarajuga mengimbau agar penerbitan hasil-hasil penelitian para ilmuwan tidak semata-mata dimuat didalam jumal-jumal ilmiah yang daya jangkauannya terbatas dan hanya dipahami oleh para ilmuwan saja, tetapi juga dapat diterbitkan secara luas dalam bahasa yang dimengerti masyarakat.
“Dengan cara demikian, para ilmuwan kita tidak akan menjadi kelompok tersendiri dalam masyarakat, tetapi merupakan bagian dari masyarakat yang sedang membangun,” demikian Presiden.
Presiden mengharapkan agar para ilmuwan tidak tenggelam dalam keasyikan kajian-kajian ilmiah bagi kepuasan pribadinya saja, tetapi benar-benar menyadari bahwa hasil-hasil kajian ilmiah itu dapat dicerna dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebelumnya, presiden mengatakan, “Saya mendengar, bahwa setiap ilmuwan cenderung enggan untuk melibatkan diri membahas bidang-bidang lain diluar keahlian dan disiplin ilmu yang menjadi bidangnya. Padahal pembangunan kita adalah pembangunan man usia Indonesia yang utuh.” Menurut Presiden, manusia itu sendiri adalah serba dimensi. Memahami manusia jelas tidak bisa hanya dari satu sisi saja. Membangun manusia jelas tidak mungkin hanya dari satu segi kehidupan saja. Karena itu memecahkan masalah yang dihadapi jelas memerlukan pendekatan dari berbagai sisi dan memperhatikan berbagai segi.
“Itulah sebabnya, sungguh-sungguh diperlukan kerjasama bahu-membahu diantara para ilmuwan yang menekuni berbagai bidang ilmu pengetahuan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang kita hadapi sebagai bangsa,” kata Presiden.
Kurang Mandiri
Ketua LIPI Dr. Soefjan Tsauri dalam presentasinya pada sidang pleno Kipnas VI, di Gedung DRN Puspiptek Serpong, hari Senin (11/9), menyatakan sarjana Indonesia memiliki kemandirian dan jiwa wirausaha yang rendah. Kurang mandirinya sarjana pada umumnya di Indonesia, diungkapkan Soefjan mengacu pada data Statistik Indonesia 1993 yang menyebutkan lulusan perguruan tinggi (S 1, S2, dan S3) terbesar berstatus karyawan atau buruh yaitu 88,74 persen sedangkan yang berusaha sendiri hanya 2,70 persen. Hal sebaliknya, lanjut Soefjan terjadi pada kelompok tenaga kerja yang tidak sekolah, tidak lulus SD dan lulusan SD. Pada kelompok ini persentase yang berusaha sendiri jauh Jebih besar daripada yang berpendidikan sarjana. Ia melihat ini sebagai hal yang ganjil. Padahal menurut dia lulusan sarjana yang telah mendapat subsidi pemerintah, seyogyanya lebih mampu menciptakan bidang
“Kenyataannya tidak demikian. Disinilah letak kejanggalan struktur ketenagakerjaan kita,” katanya.
Ada beberapa kemungkinan yang n1enjadi faktor penyebabnya. Yaitu, sektor formal lebih banyak menyediakan lapangan pekerjaan untuk yang berpendidikan tinggi, dan sebaliknya bagi yang berpendidikan rendah. Sistem pendidikan nasional kurang mampu memberikan motivasi untuk berwirausaha bagi yang berpendidikan tinggi. Demikian pula iklim wirausaha belum kondusif bagi yang berpendidikan tinggi. Karenanya Soefjan berpendapat, perlu upaya raksasa untuk mencegah keganjilan itu salah satunya adalah mengubah sikap bangsa Indonesia sebagai bangsa Timur yang tidak ingin menonjol secara individu. “Secara kultural bangsa kita kurang mampu mandiri dan berwiraswasta. Umumnya bangsa Timur punya sikap lebih baik banyak ternan daripada menang atau unggul sendiri,” kata Soefjan.
Perlu Diubah
Menanggapi hal itu Prof. Dr. Iskandar Alisyahbana mengatakan, sikap seperti itu perlu diubah bila bangsa ini ingin maju. Mengubah sikap itu dapat dilakukan secara bertahap, dimulai dari perguruan tinggi melalui pelatihan pencapaian motivasi. Pelatihan ini telah diajarkan di ITB. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Ing Wardiman Djojonegoro sebagai pemrasaran ketiga pada Sidang Pleno Kipnas VI sependapat tentang perlu ditanamkannya achievement motivation, agar masyarakat mempunyai energi untuk mengikuti arus transisi ke era industri yang tengah bergerak cepat. Dalam era modern ini masyarakat perlu mempunyai wawasan keunggulan antara lain memiliki etos kerja, berpikir logis dan terbuka menerima nilai bam sehingga pembangunan dapat berjalan lancar. Kipnas VI bakal berlangsung hingga 15 September. Hari Selasa (12/9) ini akan tampil pembicara tamu , Dr.Yuan Tsen-lee dari Taiwan pemenang Hadiah Nobel bidang kilnia 1986. (osd/rie/vik/yun)
Sumber :Kompas (121/09/1995)
_______________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 576-578.