PRESIDEN SOEHARTO:
SAYA HARUS BERTANGGUNG JAWAB KEPADA MPR HASIL PEMILU 1977 [1]
Kuala Lumpur, Antara
Presiden Soeharto menegaskan bahwa ia harus bertanggungjawab kepada MPR hasil Pemilu 1977 dan bukannya kepada MPR hasil Pemilu 1971 karena MPR hasil Pemilu 1977-lah yang akan menyusun GBHN yang baru.
Kepala Negara menegaskan hal itu dalam wejangannya kepada sekitar 200 warga negara Indonesia bertempat di KBRI Kuala Lumpur, Sabtu pagi, sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat di tanah air akhir2 ini mengenai kepada siapa Presiden yang sekarang ini hams memberikan pertanggunganjawabnya: kepada MPR yang memberikan mandat atau kepada MPR hasil Pemilu 1977.
Dijelaskannya, sesuai dengan TAP MPR Presiden berkewajiban memberikan bahan kepada MPR untuk disusun menjadi GBHN yang pelaksanaannya nanti dipercayakan kepada Presiden dan dengan memberikan laporan pertanggungan jawab itulah Presiden dapat memberikan bahan kepada MPR.
”Yang penting adalah GBHN yang baru …”, kata Presiden menegaskan.
Presiden menerangkan bahwa Pemilu 1977 adalah yang paling memenuhi persyaratan per-undang2an dalam sejarah RI karena para pesertanya telah dibentuk berdasarkan undang2 kepartaian (UU no. 5 tahun 1976).
Pemilu 1971, sekalipun telah menghasilkan MPR, tetapi para pesertanya belum dibentuk berdasarkan undang2 kepartaian, katanya.
Presiden dengan santai menjelaskan secara panjang Iebar mengenai mekanisme kepemimpinan nasional. Kepemimpinan nasional, demikian kata Presiden, bukanlah berarti harus mempertahankan seseorang untuk tetap jadi Presiden.
Menyinggung masalah pembangunan ekonomi, ia menyatakan bahwa arah yang ingin, dicapai pembangunan ekonomi sekarang iniadalah pelaksanaan pasal 33 UUD 45.
Tetapi, diakuinya memang pelaksanaan pasal 33 UUD 45 itu belumlah seperti yang diharapkan.
“Tidak mungkin pasal 33 segera kita mulai, tetapi tahapan2 pembangunan yang sekarang ini menuju ke situ,” kata Kepala Negara.
Diingatkannya bahwa strategi pembangunan ekonomi tak perlu dikhawatirkan karena pembangunan ekonomi yang sekarang ini dasarnya jelas trilogi pembangunan: stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan perataan hasil pembangunan.
Ia membantah tuduhan sementara orang bahwa kebijaksanaan Pemerintah mencari pinjaman untuk membiayai pembangunan ini berarti membebani hutang kepada generasi Indonesia selama tujuh turunan.
Ditegaskannya bahwa untuk membangun lndonesia masih memerlukan modal dan skill. Dan untuk itu diperlukan penanaman modal dan kredit.
Kalau harus membangun dengan kemampuan sendiri maka “sampek tuwek” (sampai tua) Indonesia tak akan pernah membangun.
Sebagai contoh dikemukakannya pembangunan proyek LNG di Bontang, Kalimantan Timur yang memerlukan pinjaman sebesar US$ 1,5 milyar.
“Dihitung dengan bunganya pinjaman itu akan menjadi US$ 2,5 milyar, tetapi siapa yang tidak mau menerima US$ 15 milyar hanyadengan pinjaman US$ 2,5 milyar”, tanya Presiden sambil tertawa yang kemudian disambut tertawa riuh rendah para hadirin.
Dikatakannya, tuduhan itu adalah dilancarkan oleh orang yang tidak mengerti atau memang “sengaja tidak mau mengerti”.
Pertemuan ramah tamah di KBRI itu berlangsung sekitar satu setengah jam. Sebuah group paduan suara yang terdiri dari anak2 sekolah Indonesia dan alunan gending2 Jawa menyemarakkan acara ramah tamah itu. (DTS).
Sumber: ANTARA (06/08/1977)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IV (1976-1978), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 361-363.