PRESIDEN SOEHARTO : TAK ADA HAK KUASAI TANAH BERLEBIHAN

PRESIDEN SOEHARTO : TAK ADA HAK KUASAI TANAH BERLEBIHAN[1]

Jakarta, Republika

Presiden Soeharto memperingatkan, tak seorang pun mempunyai hak yang sah untuk menguasai tanah secara berlebihan. Berkaitan dengan itu, kemarin Presiden memerintahkan BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk menertibkan batas pemilikan tanah di kota maupun di desa.

“Tanah juga tidak boleh dijadikan sebagai barang spekulasi yang bertujuan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.” ucap Presiden pada acara pembukaan Raker Kantor Menteri Negara Agraria/BPN tahun 1995 di Jakarta kemarin pagi.

Menurut Presiden, perekonomian dunia yang makin terbuka membuka peluang masuknya modal asing, termasuk ke dalam sektor industri yang berbasis pertanahan. Akibatnya, permintaan tanah meningkat.

Jika tidak waspada, kata Presiden, bisa terjadi pengalihan fungsi lahan pertanian subur ke penggunaan bukan pertanian. Mengingat tanahnya terbatas, bisa timbul banyak benturan kepentingan.

“Karena itu, penggunaan tanah harus diatur secara bijak agar tanah dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” ucapnya.

Presiden mengingatkan, tanah pertanian yang subur terutama tanah beririgasi teknis-tak boleh dialihkan fungsinya untuk kegiatan bukan pertanian, tanah, kata Presiden, juga harus dimanfaatkan semaksimal mungkin sesuai kemampuannya. Tanah terlantar, lahan tidur, tanah absentee, menurut Kepala Negara, harus dimanfaatkan sehingga produktif.

“Pemanfaatan tanah secara efisien jelas harus merupakan gerakan besar-besaran,harus menjadi gerakan nasional.” kata Presiden Soeharto.

Di Gedung DPR, seusai mengadakan raker dengan Komisi I DPR, kemarin Pangab Jenderal TNI Feisal Tandjung menanggapi kasus tanah yang merebak belakangan ini. Tentang kasus tanah di Parbuluan, Sumut, kepada wartawan Pangab mengatakan pihaknya belum menerima laporan pasti soal keterlibatan aparat keamanan.

Namun, menurut Pangab,

“Apabila ada oknum ABRI yang terlibat dalam kasus­kasus perdata pada umumnya dan kasus pertanahan pada khususnya akan ditindak sesuai Tua Bakorstanas No.STR/86/Stanas/XII/1992 tanggal 21 Desember 1992 yang melarang anggota ABRI dengan dalih apa pun untuk terlibat dalam urusan perdata/pidana di luar kewenangannya.”

Dua wanita tua yang datang dari Desa Parbuluan, Kabupaten Dairi, Sumut, kemarin menyeruak kerumunan Wartawan dan mengadu langsung kepada Pangab. Di saat yang sama sejumlah warga Parbuluan lainnya menunggu Pangab di Mabes ABRI, namun tak bertemu.

Sementara itu, sekitar 60 warga Parbuluan kemarin akhirnya pulang dari Medan ke desanya setelah pihak keamanan dari Kodam I Bukit Barisan dan BPN (Badan Pertanahan Nasional) Sumut memberi jaminan keamanan dan tanah mereka dinyatakan status quo oleh BPN.

“Kami kini tidak takut lagi, karena Kodam telah memberikan jaminan keamanan tertulis.” kata B. Sinaga, seorang pengetua adat.

Hal itu dibenarkan Assospol Kodam Bukit Barisan, Kolonel TH Sinambela.

“Kita sudah berikan jaminan keamanan, tidak akan ada penangkapan.” katanya.

Ia mengaku telah memerintahkan aparat keamanan supaya ke luar dari Parbuluan.

Sumber : REPUBLIKA (21/02/1995)

________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 634-635.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.