PRESIDEN SOEHARTO: TIDAK BENAR DALAM SETIAP. PEMILU TERJADI ”STATUS QUO

PRESIDEN SOEHARTO: TIDAK BENAR DALAM SETIAP PEMILU TERJADI STATUS QUO”

 [1]

 

 

Jakarta, Kompas

PRESIDEN SOEHARTO membantah bahwa dalam setiap pemilu teijadi status quo atau tidak ada perubahan-perubahan karena presidennya tidak bertukar. Menurut perumusan kembali GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Bahwa presidennya tidak bertukar, kata Kepala Negara, itu semata-mata hasil maksimal dari, sistem suksesi yang berlaku.

Pernyataan Presiden itu disampaikan ketika menerima pimpinan BP-7 Pusat di kediaman Jalan Cendana, Jakarta, Sabtu (5/11). Kepala BP-7 Pusat Soeprapto dan wakilnya Alwi Dahlan melaporkan kegiatan BP-7 Pusat, khususnya mengenai pesiapan realisasi Inpres No .2/1994 tentang penataran bagi pegawai negeri, termasuk para menteri.

Menurut Kepala BP-7 Pusat, pernyataan Kepala Negara didasari pengetahuannya tentang adanya sekelompok pemuda yang belum mengerti UUD 45. Dalam ketidak mengertiannya itu, katanya, terlontar pemikiran dari mereka bahwa dalam setiap pemilu tidak tampak ada perubahan atau terjadi status quo karena Presidennya tidak bertukar.

“Masyarakat tak perlu ribut mencari pengganti Presiden. Karena , mekanismenya untuk itu telah ada, yakni siklus lima tahunan berupa pemilu. Adanya pihak yang masih mempersoalkan suksesi, berarti tidak memahami UUD 45,” demikian Presiden seperti dikutip Soeprapto dan Wakil Kepala BP-7 Pusat Alwi Dahlan.

Pemuda yang berpikiran seperti itu, menurut Presiden, pasti ada yang mencekoki seolah-olah di Indonesia terjadi status quo. Menurut Presiden, pola pikir demikian juga muncul di luar negeri karena mereka melihat pemerintah masih saja dalam kepemimpinan Presiden Soeharto.

“Begitu sulitkah mencari satu orang di antara 180 juta rakyat Indonesia?” tanya Presiden seperti dikutip Soeprapto.

Kernbali mengutip Presiden, Alwi Dahlan menekankan bahwa dalam setiap pemilu pasti ada perubahan, yakni GBHN. “Dalam sistem politik Indonesia yang didahulukan berubah itu bukan presidennya, tapi GBHN. Baru kemudian siapa yang melaksanakan GBHN itu,” katanya.

“Saya kan hanya melaksanakan. Pertanyaan itu muncul karena orang nggak mengerti UUD,” kata Presiden seperti dituturkan Alwi. Karena situasi yang demikian, Presiden memandang perlu upaya-upaya untuk makin memasyaraktkan P-4 “Presiden juga menekankan bahwa sekarang ini banyak salah pengertian di kalangan masyarakat bahwa P-4 hanya untukdiketahui saja, untuk formalitas,” tutur Alwi.

Soeprapto kemudian menjelaskan bahwa dalam siklus kepemimpinan lima tahunan, seorang presiden hanya menjalankan apa yang sudah menjadi ketetapan MPR. “Kalau orang akan menilai seorang kepala negara berhasil atau tidak, hal itu hams dilihat dari apa yang digariskan UUD,”katanya.

Menurut Alwi Dahlan, Presiden perlu menjelaskan lagi masalah suksesi karena Presiden melihat hal ini sebagai satu contoh mengenai kurangnya pemahaman terhadap UUD 45. “Presiden tentunya m emperhatikan dan mem antau apa yang ada di masyarakat. Rupanya Presiden mendengar ada yang masih berbicara demikian. Mungkin Presiden berpendapat akan makin ban yak yang berbicara di tahun-tahun mendatang,”tutur Alwi.

Ribut Suksesi

Soepraptojuga mengakui masih adanya “ribut-ribut “soal suksesi pada tiap kali penataran P-4. Maka itu, ia akan lebih menekankan pengertian tentang pelaksanaan UUD 45 secara mumi dalam penataran mendatang .

Karena itu, katanya , BP-7 Pusat teJah melakukan persiapan-persiapan, seperti pembentukan tim yang menggarap materi dan metode baru. Untuk itu, BP-7 memerlukan banyak manggaJa baru. Presiden juga bersedia pada Januari 1995untuk membuka penataran calon manggala angkatan delapan di Istana Bogor. Selain itu telah disiapkan tata cara penataran bagi para PNS itu.

Penataran itu bukan hanya berlaku bagi pegawai, tetapi juga bagi unsur lain yang

perlu mendapat perhatian .Presiden memberikan araban, pemasyarakatan P-4 harus dijalankan terus karena berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

“Kita tidak boleh mempunyai anggapan bahwa penataran P-4 sekali selesai. Penataran ini bertujuan memupuk kesadaran dan keyakinan di antara warga negara mengenai hidup bermasyarakat, berbangsa, benegara berdasarkan pancasila dan UUD 45,”  katanya.

Mengenai penataran untuk menteri , Soeprapto memandang tidak perlu dalam bentuk penataran biasa. Bisa saja mereka disertakan dalam bentuk-bentuk sarasehan. Di situ para menteri akan dapat araban langsung dari Presiden. la menambahkan, para pejabat eselon I juga diharapkan mendapatkan penataran P-4

Sumber: KOMPAS (06/11/1994)

________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 123-125.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.