PRESIDEN SOEHARTO TRADISI KEPRAJURITAN INDONESIA BUKAN TRADISI PERANG
Jakarta, Antara
Presiden Soeharto mengatakan, tradisi keprajuritan Indonesia bukan merupakan tradisi perang atau militer, tetapi merupakan tradisi patriotisme, tradisi kebangsaan dan tradisi cinta tanah air.
“Karena, tradisi keprajuritan Indonesia melekat erat dengan kecintaan kepada tanah air, juga melekat erat dengan hak serta kewajiban yang dirasakan sebagai kehormatan bagi seorang warga negara yang bertanggung-jawab,” kata Presiden ketika meresmikan Museum Keprajuritan Indonesia, yang berlokasi di Taman Mini Indonesia lndah, Minggu.
Museum yang dibangun diatas tanah seluas 68.000 meter persegi dan luas bangunan seluruhnya 5.500,7 meter persegi itu merupakan gagasan lbu Tien Soeharto, yang adalah Ketua Yayasan Harapan Kita, dan sekaligus Ketua BB-3 TMII.
Presiden mengatakan, tradisi keprajuritan Indonesia tidak mengenal kelas militer yang berdiri sendiri, terpisah dari rakyat atau di atas rakyat, tetapi tradisi yang bersumber perasaan bersatu dengan tanah tumpah darah, tempat kita lahir, hidup dan berkarya sebagai manusia.
Militer Indonesia adalah pejuang yang selalu bersama-sama dengan seluruh pejuang bangsa dibidang lain, untuk bahu membahu mencapai kehidupan lahir batin yang maju, sejahtera dan adil makmur berdasarkan Pancasila.
Hal itu tidak berarti bahwa peningkatan profesionalisme tidak diperlukan, namun peningkatan profesionalisme yang dilakukan guna menjawab tantangan jaman itu bukan merupakan tujuan.
Peningkatan profesionalisme militer harus terus dilakukan, dengan tujuan agar dapat, mengabdikan diri sebaik-baiknya dalam perjuangan besar bangsa Indonesia mencapai cita-cita.
Karena itulah tradisi keprajuritan Indonesia sesudah kemerdekaan bersumber pada tekad untuk membela Pancasila dan membangun masyarakat Pancasila.
Berbeda
Presiden lebih lanjut mengatakan bahwa angkatan bersenjata Indonesia dengan Sapta Marganya adalah merupakan kekuatan bangsa yang sejak semula menegaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tiga marga yang pertama dengan tegas dan jelas menunjuk pada landasan ideologi prajurit ABRI yang menyatu dengan pandangan hidup bangsa dan ideologi negara, sedangkan empat marga lainnya menunjuk pada penggemblengan ABRI menuju prajurit profesional.
Sebagai prajurit profesional, ABRI sama dengan prajurit profesional mana pun di dunia. Tiga marga yang pertama itulah yang membedakan, dan yang menjadikan prajurit ABRI mempunyai watak khas dibandingkan prajurit professional lain, katanya.
Watak dan semangat khas, yang berupa perjuangan yang tidak mengenal menyerah dalam membela Pancasila sebagai ideologi negara itulah yang hendak diabadikan melalui Museum Keprajuritan Indonesia, kata Presiden.
Karena melalui museum akan bisa dilihat kembali sejarah dan tradisi keprajuritan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Tetap Lestari
Pangab, Jenderal L.B . Moerdani dalam sambutannya mengatakan bahwa Museum Keprajuritan Indonesia bukan sekedar tempat mengabadikan benda mati, tetapi lebih berperan sebagai penyambung semangat, motivasi perjuangan, dan nilainilai keprajuritan yang selama ini menjadi ciri prajurit ABRI, kepada seluruh rakyat dan prajurit ABRI di masa datang.
“Benda dan raga prajurit dapat hilang ditelan masa, akan tetapi semangat keprajuritan Indonesia akan tetap lestari dari generasi ke generasi,” katanya.
Dikatakan, semangat keprajuritan Indonesia telah terbukti menjadi salah satu identitas bangsa yang menjadi pendorong bangsa Indonesia mengusir penjajah, yang mencapai puncaknya pada waktu perang kemerdekaan.
Semangat keprajuritan tidak hilang dengan telah dicapainya kemerdekaan, akan tetapi tetap dilestarikan untuk membantu mempercepat terwujudnya masyarakat adil makmur, material dan spiritual di dalam masa pembangunan.
“Prajurit Indonesia saat ini dan yang akan datang harus memiliki jiwa keprajuritan yang sama dengan para pendahulunya, “tegas Pangab.
Pangab dalam kesempatan itu mengajak sekaligus mengimbau seluruh prajurit ABRI dan bangsa Indonesia umumnya untuk memanfaatkan Museum Keprajuritan Indonesia sebagai sarana pengkajian dan penghayatan semangat perjuangan, untuk selanjutnya mengamalkannya dalam semua lapangan pengabdian, demi tercapainya cita-cita bangsa Indonesia di dalam kerangka landasan Pancasila dan UUD 1945.
“Museum Keprajuritan Indonesia harus dapat menjadi tempat atau khasanah pengabdian-pengabdian semangat keprajuritan yang sudah ada sejak berabad-abad lalu ,” demikian Pangab.
Diorama dan Relief
Gedung Museum Keprajuritan Indonesia yang dibangun dalam bentuk benteng segilima berlantai dua, dan dilengkapi dengan bastion pada tiap sudutnya itu, peletakan batu pertamanya dilaksanakan 20 Nopember 1985 oleh Ibu Tien Soeharto.
Museum yang dikelilingi dengan parit dan danau buatan itu disajikan dalam bentuk diorama, relief dan fragmen patung, yang mengisahkan tentang perlawanan bangsa Indonesia menentang kekuasaan kolonial, selama kurun waktu abad ke-7 sampai dengan abad ke-19.
Pada bagian dalam museum terdapat panggung terbuka berkapasitas 800 tempat duduk, yang di kiri dan kanannya digelarkan 23 buah patung pahlawan dan tokoh-tokoh seperti Gajah mada, Bagus Rangin, dan Sultan Badarudin.
Sedangkan di atas danau buatan yang membentang di depan benteng terdapat dua buah perahu tradisional abad ke-16 dari daerah Banten dan Ternate.
Peresmian Museum Keprajuritan Indonesia ditandai dengan penanda tanganan prasasti dan penekanan tombol pembuka selubung nama oleh Presiden Soeharto, serta pengguntingan pita oleh Ibu Tien Soeharto.
Seusai peresmian, Presiden dari Ibu Tien Soeharto, beserta Wakil Presiden dan Ny. Umar Wirahadikusumah melakukan peninjauan keliling.
Hadir dalam acara tersebut antara lain para Menteri Kabinet Pembangunan IV, dan Duta Besar negara sahabat.
Sumber: ANTARA (05/07/1987)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 607-610