PRESIDEN TERIMA 75 KEPALA DESA DARI BANTUL : KAWIN SILANG TINGKATKAN BERAT BADAN TERNAK
Matrati, Hasil Silang Madura – Australia
Presiden Soeharto Jum’at menerima kunjungan 75 kepala desa (lurah) dari Kabupaten Bantul, Yogyakarta di pusat peternakan Tapos Bogar.
Para lurah itu datang bersama istrinya untuk melihat dari dekat bagaimana perkembangan peternakan di Tapos yang dikelola secara modern.
Selain itu Tapos juga mengembangkan penggunaan bahan limbah yang dulunya tidak bermanfaat untuk kemudian diolah menjadi makanan ternak berprotein tinggi.
Kepala Negara yang memberikan penjelasan secara langsung, menguraikan sangat gamblang tentang perkembangan sapi perah dan sapi potong dari hasil perkawinan silang.
Menurut pengalaman Presiden, sapi lokal Indonesia kalau dipelihara 5 sampai 6 tahun beratnya hanya mencapai 400 kg. Sedang sapi yang sudah dikawin silangkan dalam waktu 2,5 sampai 3 tahun bisa mencapai 500 kg.
Di samping biaya bisa dihemat karena waktu pemeliharaannya lebih singkat juga hasil dagingnya lebih banyak.
Kini sedang dikembangkan melalui kawin silang antara sapi Madura dengan sapi Australia. Anaknya diberi nama Matrati (Madura-Australia). Namun demikian untuk keperluan aduan, rakyat Madura tetap mengembangkan sapi asli. Meskipun pemeliharaannya sulit dan biayanya cukup mahal tetapi tetap perlu karena sapi-sapi itu harus lari cepat untuk diadu kekuatannya.
Kata Presiden, 10 hari yang lalu telah dikawin silangkan sapi jenis Brahman dengan sapi Angges. Di AS dan Australia hasil perkawinan itu disebut sapi Brengus.
Jenis ini sudah merupakan standar di kedua negara tersebut, dengan menghasilkan dua manfaat. Dari Brahman diambil kekuatan tenaga kerjanya dan Angges yang warnanya hitam dilambil kelezatan dagingnya, serta pertumbuhannya lebih cepat.
Di Indonesia, Brangus dicoba bukan saja di daerah dingin tetapi juga di daerah panas. “Mudah-mudahan berhasil” katanya. Kalau sapi Santa memang hanya bisa di daerah dingin saja.
Kawin Silang Domba
Selain sapi, Presiden Soeharto juga menjelaskan usaha kawin silang antara domba lokal dengan domba Australia. Jika domba lokal Gibas beratnya hanya 30 sampai 40 kg maka domba Suffox dari Australia mencapai 100 kg.
Dari hasil perkawinan itu diberi nama Sufbas. Antara domba impor Dorman dengan Gibas menghasilkan domba Dorbas. Domba-domba yang telah dijadikan standar itulah yang dikirim ke daerahÂdaerah untuk dikawinkan domba lokal lagi.
Kabupaten Wonogiri telah dikirim 500 ekor domba Sufbas dan Dorbas. Menurut laporan sementara hasilnya cukup baik. Kalau hal itu betul-betul terbukti, dengan sendirinya pengiriman akan ditingkatkan ke kabupaten lainnya dalam jumlah yang cukup besar.
Pengalaman masa lalu masing-masing kabupaten hanya memperoleh 5 ekor sehingga hasilnya tidak nampak. Presiden memberi contoh, Kabupaten Banjarnegara misalnya, kini sudah mencapai fase kedua pengiriman domba unggul tersebut untuk kemudian dikawinkan dengan domba lokal. Hasilnya sangat baik.
Di samping sapi dan domba, kepada para lurah Presiden juga memperkenalkan jenis kambing Perah impor yang disebut Sonen. Kambing perah ini susunya lebih banyak daripada kambing Ettawa yang dikenal sebagai kambing lokal.
Dengan pengembangan kambing perah ini diharapkan kebutuhan susu bukan hanya diperoleh dari sapi tetapi juga kambing.
Tahi Ayam
Selain menjadi pusat pembibitan ternak, di Tapos juga dilakukan penelitian makanan ternak, serta ditanam rumput-rumput bergizi tinggi yang dinamakan rumput unggul.
Di samping itu telah dicoba memanfaatkan Iimbah ketela yang sudah diambil patinya atau yang sering disebut onggok. “Onggok itu setelah diproses fermentasi, ternyata menjadi makanan yang berprotein tinggi,” kata presiden.
Untuk mempertinggi ”mutu” dari makanan temak tersebut, menurut presiden perlu dicampuri tai ayam. “Ibu-ibu, Bapak-bapak, jangan tidak percaya ini,” ujar presiden, disambut tawa hadirin.
Menurut presiden, setelah dicampur tai ayam dalam silo selama 2 atau 3 minggu, maka jadilah onggok dan rumput tersebut makanan ternak yang baik.
Bukan itu saja, karena proses fermentasi itu, tai ayam yang semula berbau tidak sedap akan menjadi harum. “Nanti bisa dicoba sendiri,” lanjutnya.
Ketika pertama kali dilakukan percobaan terhadap onggok tersebut, harga onggok ketika itu Rp 20,- per Kg. Tapi kini harganya melonjak menjadi Rp 60- Rp 70 per Kg. Oleh sebab itu, kemudian diganti dengan dedak dari tepung terigu yang mudah didapat.
Campuran dedak, rumput, dan tai ayam tersebut setelah “diperam” dalam silo beberapa hari, melalui proses alamiah dia akan mencapai. “Inilah yang juga menjadi makanan ternak yang baik,” ujar Presiden.
Diambil Gasnya
Ditambahkan oleh Presiden, di Tapos saat ini sedang dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kotoran ternak. Maksudnya, agar dari kotoran ternak itu tidak hanya dihasilkan pupuk saja, tapi sebelum dijadikan pupuk terlebih dahulu diambil gasnya, yaitu biogas. Sebab, setelah terlebih dulu diambil gasnya, pupuk tersebut jadi lebih baik.
Mengenai biogas itu sendiri, dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, untuk masak misalnya. “Atau kalau perlu untuk lampu pada malam hari,” tambah Presiden.
Memang diakui, untuk tangki penampung gas dari kotoran tersebut saat ini relatif mahal, sekitar Rp 400 ribu. Tapi kalau dilihat hasil yang diperoleh, jumlah tersebut tidaklah terlalu mahal.
Menurut Presiden, untuk membuat kompor dari biogas dan membuat lampu gas dari kotoran ternak ini bisa dilakukan oleh petani yang memiliki ternak 3 atau 4 ekor dengan demikian tidaklah terlalu sulit, dan tidak perlu punya ternak yang banyak.
“Ini merupakan salah satu usaha yang bisa dikerjakan petani, di samping memungut hasil susu dan daging, kotorannya pun bisa untuk pupuk dan gas,” kata presiden. (RA)
…
Jakarta, Suara Karya
Sumber : SUARA KARYA (26/05/1984)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 725-727.