PRESIDEN TIBA DI SARAJEVO
Pejabat PBB Puji Keberaniannya[1]
Sarajevo, Kompas
Presiden Soeharto tiba di Sarajevo, ibu kota Bosnia-Herzegovina, dengan pesawat PBB hari Senin (13/3), di tengah pengawalan ketat sesudah terjadinya penembakan terhadap pesawat PBB yang ditumpangi utusan PBB Yasushi Akashi sehari sebelumnya. Presiden dan delegasi disambut di Bandara Sarajevo oleh Akashi dan para pejabat senior Pasukan Perlindungan PBB (UNPROFOR) lainnya.
Presiden segera dibawa dengan kendaraan lapis baja pengangkut pasukan (APC =armouredpersonnel carrier) ke istana Presiden Bosnia Alija Izetbegovic di pusat kota Sarajevo. Ia disambut di anak tangga oleh Izetbegovic. Pasukan pengawal kehormatan berdiri tegap, bersama kerumunan massa sekitar 200 warga Sarajevo menyambut kedatangan Presiden. Mereka bersorak dan disambut oleh lambaian tangan oleh Presiden. Kota itu, yang sudah terkepung oleh pemberontak Serbia-Bosnia selama hampir tiga tahun, tampak tenang Senin pagi setelah seminggu yang penuh dengan aksi penembak gelap dan tembakan artileri. Tidak ada satu bunyi tembakan pun yang terdengar. Sepanjang jalan yang dilalui Presiden penjagaan tampak amat ketat. Semula direncanakan, Presiden Soeharto menggunakan mobil GMC, bukan APC. APC semula hanya akan mengapit di depan dan belakang mobil presiden. Tetapi menimbang semakin meningkatnya ketegangan bersenjata di Sarejevo belakangan ini, maka diputuskan Presiden Soeharto naik APC.
Direktur Penerangan UNPROFOR di Zagreb, Michael William menilai Presiden Soeharto adalah pemimpin yang sangat berani mengunjungi Sarajevo yang masih dilanda perang. Dikatakan, walaupun dia sudah menghubungi Sarajevo dan pihak Serbia untuk pengamanan kunjungan Kepala Negara, tapi UNPROFOR juga tidak mungkin memberikan jaminan keamanan secara total jika terjadi hal-hal di luar dugaan dan kemampuannya.
Penting Sekali
Lebih lanjut ia menilai kunjungan Presiden Soeharto itu penting sekali untuk pemerintah dan rakyat Bosnia, karena akan memberikan semangat kepada mereka dan memperlihatkan kesetiakawanan terhadap rakyat Bosnia.
Rencana kunjungan Presiden Turki Suleyman Demirel, yang pemerintahnya sangat kuat mendukung pemerintah Bosnia, telah dibatalkan setelah beberapa pesawat PBB sebelumnya ditembak oleh Serbia, Serbia secara keras menentang kunjungan Demirel. Namun beberapa pejabat PBB mengisyaratkan, Presiden Soeharto sebagai pengunjung tidak dipermasalahkan secara keras oleh Serbia ketimbang Demirel. Dalam sejarahnya, pasukan Turki memang pemah menguasai wilayah Bosnia dan dimusuhi oleh Serbia. Wartawan Kompas Ansel da Lopez dalam laporannya dari Zagreb semalam menerangkan, Presiden Soeharto meninggalkan Bandara Intemasional Zagreb menuju Sarajevo hari Senin tepat pukul 11.15 waktu Zagreb, atau pukul l7.15 WIB (hanya 15 menit terlambat dari waktu yang direncanakan karena ada kegiatan kenegaraan sebelumnya). Di atas pesawat Jak-40 berwama putih buatan Uni Soviet itu sebelum tinggallandas, Presiden dan segenap anggota rombongan, terlebih dahulu mengenakan baju antipeluru yang disediakan UNPROFOR.
Baju antipeluru berwarna biru (warna PBB) itu, juga diberikan kepada segenap anggota rombongan yang seluruhnya berjumlah 22 orang. “Menggunakan baju antipeluru merupakan suatu keharusan kalau berkunjung ke Sarajevo,” tutur seorang anggota UNPROFOR. Kecuali baju antipeluru, untuk masing-masing juga disediakan helm.
Sebelum terbang, Presiden Soeharto dan semua anggota rombongan terlebih dahulu menandatangani surat pernyataan mengenai keselamatan kunjungan. Isinya, bahwa tidak akan menuntut PBB terhadap keselamatan penerbangan, jika terjadi hal-hal yang luar biasa di luar kemampuan PBB.
Penerbangan VIP
Pesawat Jak-40 Aeroflot tersebut, biasanya digunakan ke Sarajevo untuk penerbangan-penerbangan VIP. “Saya juga sudah pemah menerbangkan Jimmy Carter (mantan Presiden AS), Sekjen PBB Boutros Boutros-Ghali dan Utusan Khusus
Sekjen PBB Yasushi Akashi ke Sarajevo, sehingga saya tidak khawatir menerbangkan Presiden Soeharto,” kata Voronine Evequeni (34), kapten pilot Jak-40 dengan registrasi RA-87439 sesaat sebelum menerbangkan Presiden Soeharto kemarin. Karena terbatasnya pesawat yang disediakan PBB, maka jumlah anggota rombongan yang terbang bersama Presiden ke Sarajevo, sangat dibatasi sekali. Bahkan enam anggota pasukan antiteror dari Detasemen 81 Kopassus pimpinan Kapten Andhika yang harus menjadi “pagar” di sekitar Presiden Soeharto selama di Sarajevo, juga tidak jadi diberangkatkan. Sehingga untuk “pagar” betis nanti akan dilakukan hanya oleh beberapa anggota Paspampres. Semula memang direncanakan ada dua pesawat, tapi pada saat-saat terakhir, dibatalkan. Rombongan yang menyertai kunjungan Presiden ke Sarajevo kemarin antara lain Menlu Ali Alatas, Mensesneg Moerdiono, Pangab Jenderal TNI Feisal Tanjung, Duta Besar/Badan Pelaksana Ketua GNB Nana Sutresna, Duta Besar/Wakil Tetap RIuntuk PBB diNew York Nugroho Wisnumurti, Dubes untuk Hongaria, Kroasia dan Bosnia Herzegovina RM Pringgodigdo, Kepala Protokol Negara/Dirjen Protokol dan Konsuler Deplu Abdul Irsan, dan Sekmil Presiden Mayjen Pranowo.
Timbulkan Spekulasi
Hanya sehari sebelum kunjungan tersebut, pesawat yang ditumpangi utusan khusus PBB Yasushi Akashi, ditembak dengan senjata mesin ketika hendak mendarat di Bandara Sarajevo hari Minggu (12/3).Kejadian itujustru padahari di mana Presiden Soeharto sudah berada di Zagreb, ibukota Kroasia, dan tinggal keesokan harinya menyeberang ke Sarajevo.
Kejadian itu sempat menimbulkan spekulasi, apakah kunjungan Presiden Soeharto dibatalkan demi keamanan. Karena , seperti pada bulan Februari lalu, kunjungan Presiden Turki ke Sarajevo juga terpaksa clibatalkan setelah UNPROFOR tidak berani menjarnin keselamatannya.
Sekretaris Militer Presiden Mayjen Pranawa mengatakan, PBB dengan UNFROFOR-nya sudah menyatakan akan menjamin sungguh-sungguh keselamatan Presiden Soeharto. Tapi seandainya tidak ada keteguhan dan tekad Pak Harto sendiri guna memenuhi janjinya berkunjung ke sana guna ikut mencari upaya penyelesaian perang Bosnia, lawatan itu bisa saja dibatalkan.
“Presiden mengisyaratkan mudah-mudahan dapat menyampaikan pandangan pandangan beliau mengenai kemelut yang terjadi,” kata Mensesneg Moerdiono. Di lain pihak Presiden Soeharto menekankan bahwa yang bisa menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh negara-negara bekas Yugoslavia adalah pemimpin-pemimpin di kawasan bekas Yugoslavia itu sendiri, bukan pihak lain mana pun. Demikian pula Indonesia tidak ingin ikut menyelesaikan sendiri, tetapi hanya membantu pihak pihak yang memerlukan perdamaian.
Sebelumnya,PM Nikica mengemukakan bahwa Kroasia memerlukan suasana damai, dan cara-cara penyelesaian secara damai pula dalam menghadapi kemelut yang terjadi di kawasan ini. Untuk itu menurut dia, perlu ada pengakuan terhadap wilayah-wilayah dari negara-negara yang sekarang tirnbul dari bekas Yogoslavia, di samping itu diperlukan penyelesaian yang menyeluruh. Presiden Soeharto berpendapat bahwa kedua parlemen antara kedua negara, juga perlu meningkatkan hubungan, dan itu menurut Moerdiono, disambut dengan baik. Menurut Dr Nedjeljko, Kroasia saat ini benar-benar berada pada momentum yang memerlukan perdamaian untuk mengatasi kemelut yang terjadi di kawasan ini. Presiden Soeharto menjelaskan bahwa apa yang dialami Kroasia sebetulnya pemah pula dialami di Indonesia, walaupun tidak persis sama. Yakni setelah rampung dengan Perang Kemerdekaan, bangsa Indonesai mengalami berbagai gejolak yang menimbulkan instabilitas dari tahun 1945 sampai 1965, kata Moerdiono. (AFP/Rtr/rio)
Sumber: KOMPAS (14/03/1995)
________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 124-127.