PRESIDEN TIBA KEMBALI DI TANAH AIR: ANGGOTA DK-PBB MINIMAL 11 NEGARA Perlu ada “Counter veto“[1]
Presiden Soeharto berpendapat, jumlah anggota Dewan Keamanan PBB sudah waktunya untuk ditambah menjadi sedikitnya 11 anggota guna lebih mengefektifkan dan mendemokratisasikan lembaga dunia tersebut.
Hal tersebut dikemukakan Kepala Negara dalam penjelasannya kepada pers dalam penerbangan kembali ke Jakarta dengan pesawat khusus MD-11 Garuda Selasa petang. Presiden dan Ibu Tien Soeharto beserta rombongan sejak Minggu (20/9) lalu mengadakan kunjungan kerja ke AS dan Jepang dengan singgah di Jenewa.
Kepada pers, Kepala Negara secara panjang Iebar menjelaskan makna kunjungan kerjanya ke AS dan Jepang yang antara lain menyampaikan keputusan keputusan KTT GNB di Jakarta di depan sidang Majelis Umum PBB di Markas Besar PBB New York yang antara lain juga menyangkut restrukturisasi dan demokratisasi PBB agar dapat berperan lebih efektif bagi kepentingan seluruh anggotanya.
Menurut Presiden, jumlah anggota tetap DK-PBB yang saat ini 5 negara ditambah dengan 10 anggota tidak tetap, dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan 47 tahun lalu di mana penunjukan 5 anggota tetap itu dilakukan untuk mencegah timbulnya Perang Dunia lll. Sekarang ini dengan situasi yang berkembang lebih baik dan jumlah anggota PBB bertambah menjadi 179 negara, maka perlu adanya restrukturisasi dan demokratisasi lembaga PBB termasuk DK-PBB.
Tambahan anggota DK-PBB itu, menurut Presiden, dua dari negara yang dulu kalah perang tetapi kini maju pembangunan ekonominya dan mempunyai potensi, yaitu Jerman dan Jepang. Kemudian dua lagi dari negara yang jumlah penduduknya potensial dan lebih dari 175 juta, yakni India dan Indonesia. Dan agar lebih adil lagi harus ada dua negara lagi yang mewakili Afrika dan Amerika Latin, yang penduduknya tertinggi. Dengan demikian maka semua benua akan mempunyai wakil di DK-PBB tersebut.
Mengenai penggunaan hak veto yang tentunya tidak mungkin untuk dicabut lagi, Presiden berpendapat agar supaya adil dan demokratis maka penggunaan hak veto itu harus diatur.
“Boleh saja mereka (kelima negara- red.) menggunakan veto. Tetapi harus ada counter veto. Artinya veto kemudian dicounter dengan jumlah negara yang dua kali lipat,”ujamya sambil menambahkan bahwa ini dimaksudkan agar penggunaan hak veto itu dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Masalah pengefektifan peranan PBB tersebut, sebagaimana diputuskan dalam KTT ke-10 GNB di Jakarta, menurut Presiden akan dirumuskan lebih lanjut oleh kelompok tinggi GNB bekerjasama dengan Sekjen PBB maupun Caucus GNB yang ada di DK-PB dan dibantu oleh suatu tim ahli.
“Kita bertekad agar GNB ikut serta secara aktif dalam penataan kembali PBB agar sesuai dengan keadaan sekarang,” ujar Presiden sambil menambahkan bahwa ini merupakan suatu perjuangan yang tidak mudah untuk dilaksanakan.
Presiden juga mengemukakan pentingnya kerjasama Selatan-Selatan khususnya dalam bidang peningkatan produksi pangan, kependudukan maupun dalam menangani masalah hutang di negara-negara berkembang. Untuk bidang pangan ini Indonesia mempunyai program yang dinamakan “magang” di mana beberapa petani dari negara berkembang lainnya mempelajari secara langsung di lapangan mengenai keberhasilan Indonesia di bidang peningkatan produksi pangan. Mulai dari menanam sampai panen.
Untuk mengerjakan itu bagi yang tak punya kemampuan dana dapat memanfaatkan pihak ketiga apakah itu badan internasional maupun negara-negara maju yang mau membiayai kerjasama Selatan-Selatan itu.
Mengenai masalah hutang di negara-negara berkembang, terutama di negara yang sangat rniskin, menurut Presiden perlu mendapat penyelesaian. Dikatakannya, dari 108 negara anggota GNB terdapat 47 negara yang terrnasuk berat keadaan ekonominya. Dan dari 47 itu ada 18 negara anggota GNB yang berat sekali beban hutangnya. Selain itu juga ada 20 negara bukan anggota GNB yang mengalami kesulitan sama. Untuk itu harus dicari jalan untuk meringankan sekaligus mengupayakan kelanjutan pembangunan di negara-negara itu. Apakah itu dengan grant atau penghapusan hutangnya.
Dalam masalah ini, menurut Presiden, Indonesia menyarankan dibentuk satu tim tersendiri untuk memikirkan itu dan membantu negara-negara yang mengalami kesulitan membayar hutangnya itu dalam melakukan negosiasi atau berunding dengan negara negara yang memberi hutang.
“Jadi, Indonesia hanya akan membantu tim untuk melakukan negosiasi. Sebab masalah hutang itu merupakan masalah bilateral dan bukan Indonesia yang bertanggung jawab,” tandasnya.
Presiden berpendapat, sebenarnya bagi negara-negara maju itu mungkin untuk membebaskan hutang-hutang negara, berkembang yang mengalami kesulitan membayar kernbali hutangnya itu. Yakni dengan mendasarkan pada kornitmen negara maju itu sendiri, yakni mereka (negara maju) mempunyai kornitmen untuk membantu negara berkembang 0,7% dari GNP-nya.
“Sekarang ini keseluruhan bantuan baru 0,377 dari keseluruhan negara maju, yang jumlahnya 18 negara termasuk 7 negara industri,” ujar Presiden yang menambahkan bahwa khusus dari negara industri bantuan itu lebih rendah yakni baru 0,33%.
Menurut Presiden, 18 negara maju itu GNPnya 15,5 trilyun dolar AS. Dan kalau diberikan 0,7%-nya itu akan mencapai 95 milyar dolar. Sekarang ini baru diberikan 45 rnilyar dolar. Ini berarti masih 50 milyar yang belum direalisasikan.
“Dan kalau itu saja dipenuhi tanpa menggunakan dana penghematan belanja senjata itu bisa dilakukan,” ujar Presiden mengenai bantuan negara maju kepada negara-negara berkembang.
Dikemukakan pula bahwa untuk itu perlu pendekatan secara kemitraan oleh GNB kepada negara maju mengenai apa yang telah dikomitmenkan atau dijanjikan oleh negara maju tersebut.
Menurut Presiden, momentum kepercayaan Non Blok yang diberikan kepada Indonesia perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam memimpin GNB untuk tiga tahun mendatang yang tidak bisa dilakukan secara rutin tetapi harus secara khusus. Karenanya di Deplu nanti akan ada pejabat khusus yang akan menangani masalah GNB ini. Dan nantinya akan dibentuk banyak tim, baik yang menangani soal pangan, KB, pinjaman maupun ketjasama Selatan-Selatan dan sebagainya. Kesemuanya ininanti yang akan mengkoordinir adalah Prof.Widjojo Nitisastro.
Di samping itu karena jumlah anggota GNB cukup banyak dan jangkauannya luas, menurut Presiden, akan ditunjuk duta besar-duta besar keliling yang akan menangani masing-masing wilayah. Mereka yang ditunjuk untuk ikut mensukseskan kepercayaan yang diberikan. GNB itu adalah Syaidiman untuk Afrika, Tahir untuk Eropa, Alamsyah untu kAsia dan Hasnan Habib untuk Amerika Latin.
“Ini semuanya mempunyai kedudukan sebagai duta besar keliling yang nanti akan melaksanakan secara aktif, menampung dan menyampaikan masalah yang ada, di samping dubes yang ada di masing-masing negara,” tambahnya.
Presiden juga meminta kepada para wartawan untuk ikut membantu menyukseskan tugas nasional ini. Karena tugas yang dipercayakan GNB kepada Indonesia merupakan tugas kita semua seluruh bangsa Indonesia. Sebelumnya Presiden juga menjelaskan hasil KTT ke-10 GNB yang sangat fundamental. Yakni yang meliputi masih tetap relevannya GNB, arah perjuangan GNB yang menitikberatkan pada kegiatan ekonorni namun tetap memperhatikan masalah politik, menggiatkan kerjasama Selatan-Selatan di samping juga mengembangkan dialog Utara-Selatan yang berdasarkan kemitraan serta semakin tumbuhnya kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri.
Tiba di Tanah Air
Presiden, Ibu Tien Soeharto beserta rombongan tiba kembali di tanah air Selasa malam, setelah menempuh petjalanan tujuh jam dari Tokyo, Jepang. Begitu turun dari pesawat MD-11 Garuda di Bandara Halim Perdanakusuma, Presiden dan Ibu Tien Soeharto disambut oleh Wapres dan Ny. E.N.Sudharmono, para menko, menteri, Panglima ABRI dan Kepala Staf Angkatan/Kapolri serta pejabat sipil dan militer lainnya. Tampak juga menyambut kedatangan Kepala Negara semalam, putra-putri dan cucu Presiden Soeharto yang langsung datang dan memberikan ciuman sebagai tanda kerinduan mereka.
Selama berada diNew York AS, Presiden Soeharto selain menyampaikan pidato di depan Sidang Majelis Umum PBB juga mengadakan pembicaraan dengan Selgen PBB Boutros-Boutros Ghali serta sejumlah kepala negara/pemerintahan yang datang menghadiri Sidang MU-PBB itu. Selain itu juga bertemu dan menyampaikan penjelasan mengenai pembangunan ekonorni di Indonesia kepada ratusan pengusaha terkemuka AS.
Sementara itu dalam kunjungan kerja di Jepang, Presiden selain mengadakan kunjungan kehormatan kepada Kaisar Akih ito dan Permaisuri Michiko juga mengadakan pembicaraan dengan PM Jepang Miyazawa. Dalam pembicaraan itu PM Jepang mendapat penjelasan secara rinci mengenai hasil KIT GNB maupun langkah langkah yang ditempuh Indonesia untuk mewujudkan kesepakatan yang diambil dalam KTT tersebut.
Sumber: ANGKATAN BERSENJATA (30/09/1992)
__________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 443-447.