PRESIDEN TIDAK BERMAKSUD MENUDUH DEMONTRASI PKI [1]
Jakarta, Media Indonesia
Menteri Sekretaris Negara Moerdiono menegaskan Presiden Soeharto sama sekali tidak bermaksud menuduh para demonstran yang ditahan karena melakukan unjuk rasa sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI). “Presiden hanya mengatakan bahwa cara-cara yang dilakukan mahasiswa itu dalam melakukan demonstrasi itu menggunakan cara-cara PKI,”kata Moerdiono seusai berbicara pada seminar hari kedua “Peluang dan Tantangan PJP II” di Jakarta, Selasa.
Menjawab pertanyaan wartawan, “Apakah Presiden bermaksud menuduh para demonstran itu sebagai PKI, dengan cepat Moerdiono menjawab bahwa pernyataan Presiden dalam perjalanan pulang seusai menghadiri konferensi Education For All tidak bermaksud menuduh mereka sebagai PKI.
“Oh tidak. Presiden sama sekali tidak bermaksud menuduh mereka sebagai PKI. hanya cara-caranya saja seperti PKI,” kata Moerdiono di tengah kerumunan wartawan yang bertanya berbagai hal kepadanya. Menurut Mensesneg penangkapan para demonstran itu dilakukan karena tindakan mereka dinilai telah dapat mengganggu stabilitas nasional.
“Saya kira masalah stabilitas nasional itu bukanlah tanggungjawab pemerintah saja tetapi juga tanggungjawab kita semua. Kita harus berta nggungjawab untuk menegakkan stabilitas nasional,”katanya.
Konflik
Ketika berbicara pada kesempatan seminar, Moerdiono antara lain mengatakan dalam masyarakat yang bergerak dinamis, tidaklah dapat dihindari terjadinya friksi dan konflik yang bisa terjadi antara buruh dan manajemen developer dan pemilik tanah.
“Kepentingan pekerja akan upah yang baik akan bertentangan dengan kalkulasi manajemen yang menginginkan biaya produksi yang rendah. Developer yang menginginkan harga tanah yang murah akan berhadapan dengan kepentingan pemilik tanah yang maunya diberikan harga yang layak. Golongan yang merasa ketinggalan atau dirugikan oleh golongan lainnya jelas akan merasa tidak puas,”ujarnya.
Dengan demikian, tegas Moerdiono, tidaklah realistis untuk mengharapkan adanya suatu masyarakat tanpa friksi dan konflik. Bahkan kita perlu mempunyai pemahaman serta penafsiran baru terhadap masalah friksi dan konflik ini.
Kita, kata Moerdiono pa’tut bersyukur bahwa para ahli sosiologi telah mengembangkan wawasan baru terhadap adanya friksi dan konflik dalam masyarakat. Friksi dan konflik tidak lagi dipandang sebagai masalah tetapi justru sebagai tenaga konstruktif yang dapat mendinamisir masyarakat itu sendiri Untuk dapat menangani friksi dan konflik dengan baik, katanya seluruh pihak yang berkonflik harus dan dapat bersepakat tentang aturan main yang akan dihormati bersama serta tentang mekanisme untuk menyelesaikan konflik yang dapat memenuhi kepentingan seluruh pihak yang bersangkutan. “Adanya aturan dan mekanisme itu tambahnya, akan mendorong keselumhan pihak pada suatu tahap kemajuan bersama.
“Itulah yang disebut para ahli sebagai suatu constructive conflict,” katanya. Namun tambahnya agar tetap bersifat konstruktrif harus ada suatu batas maksimum dalam konflik yang aman. yang jika dilanggar dapat menimbulkan akibat destruktif. Batas maksimum ini hams dirumuskan dan disepakati bersama bersifat dinamis dan bergantung pada taraf perkembangan masyarakat serta berada dalam kemampuan pengendalian aparatur negara.
“Pada masyarakat maju, batas maksimum dapat lebih tinggi dibandingkan dengan batas maksimum yang aman buat masyarakat yang masih penuh dengan prasangka primordial antar golongan,”katanya . (Fry)
Sumber: MEDIA INDONESIA (22/12/1993)
______________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 382-383.