Rakyat tidak Menjadi lebih Miskin

Rakyat tidak Menjadi lebih Miskin[1]

Cita-cita kita adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Untuk mencapai itu, kita harus bekerja giat dan membangun. Syarat pembangunan  adalah stabilitas nasional.

Kalau kita jujur, sesuai dengan hukum kehidupan manusia, gambaran yang pasti mengenai masyarakat adil dan makmur itu sukar kita lukiskan dengan jelas. Abstrak sekali. Tuntutan atas jumlah, jenis dan kualitas berubah terus, meningkat terus. Setelah kita bisa makan tiga kali sehari, pakaian cukup dua stel untuk setahun, mempunyai sisa uang, bisa menyekolahkan anak, tuntutan kita berubah lagi. Kita meminta jumlah dan kualitasnya bertambah naik. Jadi, yang semula kita sudah merasa puas, berubah menjadi ingin lebih, ingin tambah. Tidak ada batasnya.

Sehubungan dengan ini kita jadi berpikir mengenai ukuran adil dan makmur itu, dan jawabannya bergantung pada orangnya. Ukuran adil dan makmur tidak terlepas dari penilaian kita masing-masing. Dan hal itu harus dilihat juga dari segi kemampuannya masing-masing.

Ada batas minimal untuk menyebutkan bahwa secara lahiriah seseorang itu mestinya sudah harus bisa mengatakan cukup dan terjamin ketentraman hidupnya. Tetapi ini pun menyangkut lagi soal sikap seseorang.

Berkenaan dengan pandangan ini, yang harus kita tumbuhkan ialah sikap hidup kita, supaya jangan dulu melihat ukuran orang lain. Sikap itu harus datang dari kita dahulu, kemudian ditingkatkan sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.

Dalam menyebut masyarakat adil dan makmur itu, kita harus melihat ke bawah dan ke samping agar kita dapat mengendalikan diri kita masing-masing. Hendaknya janganlah menuruti nafsu sendiri tanpa melihat kepada yang lebih bawah, tanpa mengontrol diri sendiri. Bersikap sebaliknya cuma akan menimbulkan rasa tidak puas, rasa tidak adil.

Hendaknya mereka yang mempunyai kemampuan terbatas bisa mencari kepuasan sesuai dengan kemampuannya sendiri. Dan mereka yang mampu hendaknya janganlah mengumbar nafsunya untuk kepuasan sendiri dan mengabaikan keadaan masyarakat yang masih dalam keadaan serba terbatas.

Pembangunan nasional kita laksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Begitu ditetapkan oleh MPR dan dipikulkan  kepada  saya. Ini berarti bahwa pembangunan kita tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah saja, seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan sebagainya, atau kepuasan batiniah saja seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab, rasa keadilan dan sebagainya; melainkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara keduanya.

Di samping itu pembangunan itu harus merata di seluruh tanah air dan bukan hanya untuk suatu golongan tertentu atau sebagian dari masyarakat; melainkan untuk seluruh masyarakat dan harus benar­benar dirasakan oleh seluruh rakyat sebagai perbaikan tingkat hidup, yang berkeadilan sosial, yang menjadi tujuan dan cita-cita kemerdekaan kita.

Saya ingat, kalau pada tahun 1967 sembilan dari sepuluh orang Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, maka pada tahun 1970 itu menjadi delapan dari sepuluh, dan pada tahun 1976 tinggal tiga dari sepuluh. Kenaikan pendapatan rata-rata penduduk golongan miskin di pedesaan bertambah lebih cepat dibandingkan dengan kenaikan golongan kaya. Itu menunjukkan justru di desa jurang pemisah antara si kaya dan si miskin mulai dapat diperkecil.

Mengenai hal ini, yang terjadi di kota memang sebaliknya, yakni kenaikan pendapatan golongan kaya lebih cepat dari kenaikan pendapatan golongan miskin. Ini merupakan fenomena umum pada awal pembangunan negara yang sedang membangun. Tetapi karena bagian terbesar penduduk tinggal di pedesaan, dan arah menuju keadilan sosial makin jelas di sana, maka kita dapat meyakinkan pada diri sendiri bahwa arah tujuan pembangunan  kita telah benar.

Pada permulaan tahun 1985 saya menyebutkan, bahwa garis kemiskinan di negeri kita, di mana kebanyakan adalah kaum petani, ialah 320 kg beras per tahun per orang. Yang menetapkan batas itu adalah ahli-ahli ekonomi kita, seperti Mubyarto dan yang lainnya. Saya pun pernah menghitungnya sekian tahun ke belakang. Dan perhitungan saya itu kira-kira cocok dengan perhitungan para ahli ekonomi kita itu. Alhasil, batas 320 Kg beras per tahun per orang itu harus bisa dilampaui oleh seorang petani kita, supaya tidak hidup dalam kemiskinan.

Kalau kita menetapkan bahwa satu keluarga itu terdiri dari suami­istri dan dua orang anak, maka hitungannya menjadi setiap keluarga petani harus bisa mendapatkan kurang-lebih 1,3 ton beras dalam setahun. Untuk itu si petani harus memiliki sekurang-kurangnya 1/2 Ha tanah garapan, dan jangan di bawah ukuran itu.

Sekarang, sebagian besar dari petani kita masih memiliki tanah garapan di bawah 1/4 ha. Berkenaan dengan itu program transmigrasi adalah usaha memperluas tanah garapan dan usaha intensifikasi. Sensus tahun 1980 masih menyebutkan bahwa yang memiliki tanah garapan 1/2 Ha ke bawah masih 11 juta kepala keluarga, dan di antaranya 6 juta memiliki di bawah 1/4 Ha. Inilah sasaran tugas kerja kita yaitu supaya menmgkatkan luas tanah garapan mereka. Jalannya ialah dengan transmigrasi. Alhamdulillah, sensus tahun 1983 menyebutkan adanya perubahan. Yang memiliki garapan 1/2 Ha ke bawah sudah tidak lagi 11 juta kepala keluarga, melainkan 8, 75 juta. Artinya, selama tiga tahun sudah terjadi kemajuan, kenaikan.

Rakyat telah menentukan landasan pembangunan untuk memperbaiki taraf hidup rakyat melalui trilogi pembangunan, yakni stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi lewat pembangunan, serta pemerataan. Tahap demi tahap diusahakan supaya hasil-hasil pembangunan dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk dengan sendirinya sebagian besar. rakyat  tani di desa-desa. Ada yang mengatakan seolah-olah proses pembangunan kita selama 15 tahun ini, bahkan 18 tahun, merupakan proses pemiskinan terhadap rakyat kita.

Pendapat yang demikian itu maksudnya tentu baik, yakni untuk memperingatkan agar pembangunan yang kita lakukan benar-benar sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk memperbaiki taraf hidup rakyat. Kalau benar begitu halnya di Indonesia selama ini, maka saya berdosa. Tetapi apa yang saya lihat, kebalikan dari pendapat sementara orang itu. Membawa proses kemiskinan berarti rakyat makin lama makin miskin.

Nyatanya, mereka yang tadinya makan hanya sekali sehari, sekarang saya tahu bisa makan dua kali sehari, bahkan bisa tiga kali sehari. Dengan demikian, maka tentu rakyat tidak menjadi lebih miskin.

Sekarang, bukan saja bisa makan, tetapi rakyat sudah mampu membeli sandang. Bahkan sekarang tidak hanya mampu menyekolahkan anaknya sampai ke SD saja seperti saya dulu, tetapi sudah sampai ke SMA, bahkan sampai ke perguruan tinggi. Semuanya itu harus diterima sekarang sebagai suatu kenyataan.

Memang kita harus meninggalkan yang baik kepada anak-cucu kita. Karenanya usaha-usaha melestarikan sumber daya alam harus kita lakukan. Tidak saja dengan teori-teori, tidak hanya dengan omong saja, tetapi harus dengan perbuatan-perbuatan nyata. Dan rakyat, apabila diberi tahu dan diberi penjelasan, pasti akan menerima dan melaksanakannya.

***



[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 411-414.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.