RAPBN 1994/95 RP.69,75 TRILIUN, NAIK 11,9 PERSEN

RAPBN 1994/95 RP.69,75 TRILIUN, NAIK 11,9 PERSEN[1]

 

Jakarta, Antara

RAPBN tahun anggaran 1994/95 yang merupakan tahun pertama Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJPTII) ditetapkan sebesar Rp.69.749,1 miliar, atau naik 11,9 persen dibandingkan APBN 1993/94 sebesar Rp.62.322,1 miliar. Dalam RAPBN 1994/95 itu, yang disampaikan Presiden Soeharto pada Sidang Paripurna DPR-RI di Jakarta, Kamis, disebutkan bahwa penerimaan pembangunan yang berasal dari bantuan program ditiadakan, sementara pada APBN 1993/94 dipatok sebesar Rp.426,8 miliar.

Harga patokan minyak dalam RAPBN 1994/95 seperti sudah diramalkan turun menjadi 16 dolar AS/barel, sementara dalam APBN 1993/94 ditetapkan sebesar 18 dolar AS. Penerimaan dari pajak ekspor juga turun 22,6 persen menjadi Rp.16,4 miliar dari Rp.30 miliar, sedangkan dari pajak lainnya terutama pajak  penghasilan, pajak pertambahan nilai dan pajak bumi lainnya mengalami kenaikan cukup berarti dan berpeluang besar sebagai sumber pembiayaan pembangunan masa depan.Hal itu, seperti disebutkan Kepala Negara dalam pidatonya mengantarkan Nota Keuangan dan RAPBN 1994/95, memperlihatkan bahwa kemandirian akan terus ditingkatkan antara lain tercermin dari penerimaan dalam negeri yang mencapai Rp.59,7 triliun atau 85 persen dari total penerimaan dan penerimaan pembangunan hanya Rp.lO triliun atau 15 persen dari total penerimaan.

Penerimaan dalam negeri dari sektor migas diperkirakan sebesar Rp12,8 triliun dan dari non-migas Rp46,9 triliun. Penerimaan non-rnigas yang mencapai 78,6 persen dari seluruh penerimaan dalam negeri itu menunjukkan makin kuat dan andalnya struktur ekonomi Indonesia. Dari rencana penerimaan non-migas itu, Rp.40,1 triliun di antaranya diharapkan dari pajak yang tetap menjadi primadona dan kunci sumber pembangunan masa depan. Sementara penerimaan pembangunan yang diproyeksikan Rp.lO triliun atau hanya naik 4,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya, juga menandai sikap mandiri karena kenaikan itu relatif kecil perannya dalam pembiayaan pembangunan.

Sisi Pengeluaran

Di sisi pengeluaran rutin dalam RAPBN 1994/95 yang ditetapkan Rp.42,3 triliun, pengeluaran belanja pegawai untuk uang makan/lauk pauk mencatat kenaikan tinggi yaitu 62,5 persen menjadi Rp.783 miliar dari Rp.481,9 miliar.

Pemerintah juga mengalokasikan Rp.17,6 triliun untuk membayar cicilan dan bunga hutang luar negeri. Akan tetapi pemerintah dalam tahun anggaran 1994/1995 tidak merencanakan kenaikan gaji pegawai negeri/ABRI karena keterbatasan anggaran.

Dari sisi pengeluaran juga tampak hal baru yaitu dialokasikannya dana untuk mengentaskan kemiskinan yaitu dana Inpres Desa Tertinggal sebesar Rp.389,3 miliar dalam bentuk bantuan pembangunan daerah. Namun dalam pengeluaran dana pembangunan daerah, dana Inpres Pasar, Inpres Penunjang Jalan dan Inpres Penghijauan dan Reboisasi ditampung dalam Inpres Dati Keseluruhan program pembangunan daerah itu memperoleh alokasi Rp5,3 triliun sedangkan tahun anggaran sebelumnya Rp.4,8 triliun.

Dana Inpres Desa akan ditambah Rp.500 ribu sehingga setiap desa akan mendapat Rp.6juta, Rp.1juta di antaranya untuk PKK. Dana untuk Inpres Dati II naik 135 persen dan Dati I naik 55 persen, yang menunjukkan tekad pemerintah untuk mempersiapkan masyarakat terutama di pedesaan memasuki PJPT II.

Tabungan pemerintah dalam RAPBN 1994/95 yang tercatat Rp.17,386,3 miliar itu juga banyak berperan dalam pengeluaran pembangunan yang direncanakan sebesar Rp.27,398.3 miliar. Peranan tabungan itu makin meningkat, sehingga makin terlihat kuatnya tekad kemandirian itu. Rencana pengeluaran pembangunan dalam RAPBN 1994/95 sebesar Rp.27,4 triliun itu relatif tidak besar kenaikannya dibandingkan tahun sebelumnya, yakni hanya 8,6persen. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa angka inflasi pada 1993 tercatat 9,77 persen, berarti target di bawah dua digit berhasil dipenuhi, dan Debt Service Ratio (DSR) dalam RAPBN 1994/1995 diperkirakan sebesar 30,4 persen yang berarti turun dibandingkan dalamAPBN 1993/94 sebesar 32,5 persen.

Latar Belakang

Para menteri Kabinet Pembangunan VI dalam penjelasan rutin kepada wartawan di Jakarta, Rabu malam, mengenai latar belakang penyusunan RAPBN 1994/95 mengemukakan bahwa penghapusan bantuan program memperlihatkan kian ketatnya pemerintah dalam penyusunan pembiayaan rupiah.

Sementara patokan harga minyak yang turun dua dolar AS/ barel itu didasarkan atas perkembangan pasar di luar negeri yang menurun akibat lemahnya permintaan dari negara industri dan banyaknya cadangan minyak yang mereka miliki. Selain itu, turunnya harga minyak itu juga merupakan dampak adanya spekulasi mengenai kemungkinan masuknya minyak Irak ke pasar dunia.

Harga minyak Indonesia sendiri selama Januari-Desember 1993 tercatat paling rendah 14,15 dolar AS/barel dan paling tinggi 18,84 dolar AS/barel. Harga terendah terjadi Desember dan tertinggi April, bahkan harga minyak bas­ ket OPEC saat ini sekitar 12-13 dolar AS/barel. Namun, ada keyakinan bahwa harga akan membaik di masa datang sehingga harga patokan 16 dolar AS/barel itu juga menjadi realistis. Penjelasannya adalah jika harga minyak turun biasanya investasi sektor perminyakan turun pula dan dampak lanjutnya adalah persediaan minyak kurang.

Sikap OPEC yang juga akan terus berjuang agar harga pada tingkat normal, yaitu tidak di bawah 15 dolar AS/barel, menambah peluang bagi kenaikan harga minyak. Pemerintah juga bertekad tidak akan menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Penurunan pajak ekspor menunjukkan pula niat pemerintah untuk mendorong dunia usaha meningkatkan aksesnya ke pasar dunia. Apalagi dalam zaman yang kian kompetitif ini dengan selesainya perundingan Babak Uruguay dalam rangka GAIT, produk ekspor harus terns ditingkatkan daya saingnya. RAPBN 1994/95 itu disusun dengan melihat dan mempertimbangkan  berbagai tantangan dan peluang dari dalam dan luar.

Tantangan dari luar itu misalnya ketidakpastian ekonomi global, terbentuknya berbagai blok perdagangan seperti di Amerika dan Eropa serta fluktuasi mata uang asing. Namun, tantangan itu juga sekaligus merupakan peluang bagi Indonesia terutama untuk meningkatkan ekspornya. Sementara tantangan dari dalam antara lain kemiskinan, berbagai kesenjangan serta masalah lingkungan hidup. Tantangan lainnya adalah proteksi di dalam negeri yang seringkali dibicarakan secara kritis oleh para pakar.

(T-EU03/ 6/01/9410:05/EUOl/ 6/01/9410:17)

Sumber:ANTARA  (06/01/1994)

_________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 158-161.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.