RASIONALISME, REALISME DI TAHUN 1992
Jakarta, Merdeka
Menghadapi tantangan di tahun 1992, Presiden RI Soeharto dalam sambutan menyambut tahun barunya pada pokoknya menegaskan betapa pentingnya mengantisipasi beragam perubahan-perubahan politik dan ekonomi dunia sekarang ini. Sebab dengan berakhirnya Perang Dingin, perhatian masyarakat dunia beralih dan tercurah pada masalah ekonomi dan pembangunan.
Sebagai bagian dari masyarakat dunia yang makin terasa menjadi satu, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, bangsa Indonesia akan terpengaruh oleh perubahanperubahan itu. Pada tahun 1991 dunia terus bergerak sangat dinamis dan mendasar, peta politik, peta ekonomi dan peta keamanan dunia berubah cepat.
Untuk menjawab dan mengantisipasinya tentu semua pihak harus selalu berorientasi pada dimensi rasional dan realistis. Sebab sikap-sikap yang cenderung represif, emosional dan konservatif karena keterikatannya pada suatu pandangan dogmatik, tentu malah kemungkinan akan mengakibatkan hal-hal yang fatal.
Lebih-lebih kalau sikap yang diambil jauh dari sikap yang berdimensi kultural, manusiawi dan partisipatif Dengan berbagai kecanggihan komunikasi dan informasi yang telah diraih masyarakat dunia maju sekarang ini, mustahil sikap-sikap yang masih mengarah kepada “ketertutupan” akan berdaya guna dan memiliki nilai manfaat.
Permasalahan yang justru harus dikaji secara nalar jernih untuk mengidentifikasi isu-isu paling mengemuka di tahun 1992 ini adalah bagaimana aspirasi, mayoritas masyarakat dunia sesungguhnya. Apakah perubahan yang begitu mendasar, drastis dan dramatis sistim perekonornian yang melanda dunia akhir-akhir ini, akan melahirkan tumbuh berkembangnya semangat regionalisme yang kemungkinan bisa berdampak negatif?
Atau memang perubahan dari suatu sistim perekonomian yang semula mengarah pada sistim “serba negara” ke sistim serba swasta dan sistim ekonomi pasar terbuka secara otomatis akan berdampak positif? Atau justru bisa sebaliknya karena tersebut secara membabibutakan diterapkan secara duplikatif. Sehingga akhirnya tidak heran ada sementara kalangan awam menilai era globalisasi akhir-akhir ini sama saja dengan era kembalinya kejayaan sistim ekonomi liberal kapitalistis, era westernisasi.
Padahal dalam dimensi praktis dan rasional serta realistis sejarah umat manusia telah belajar banyak dan cukup arif serta bijaksana dalam menapis proses perkembangan kesejarahan dari faham-faham politik, sosial ekonomi selama ini. oleh karena itu mustahil suatu faham yang dinilai sudah menjadi “masa lampau” nya sejarah umat manusia bisa diulang terapkan kembali secara reproduktif atau duplikatif.
Sebab tidak ada suatu proses perkembangan sejarah baru yang benar-benar merupakan “ulangan” atau duplikat sejarah masa lalu setiap bangsa. Justru dalam pengertian demikianlah arti rasionalisme serta realisme harus benar-benar dihayati sekarang ini. Dalam pengertian itu pulalah Pancasila sebagai ideologi terbuka hendaknya dijabarkan dalam dimensi praktisnya.
Artinya kita jangan sampai terjerembab oleh sikap-sikap konservatif atau dogmatik, karena hanya melandaskan pola pikir lewat pandangan falsafah Pancasila dengan menganggapnya sebagai teori moral dan etika semata-mata. Yang akhimya sulit dijabarkan dalam dimensi praktis, kultural, manusiawi yang membumi. Artinya dalam dimensi praktis kita masih saja belurn mampu mengamalkan ideologi Pancasila yang menjadi anutan seluruh bangsa Indonesia selama ini.
Kita jangan sampai terjebak pada pola-pola tindakan dan sikap yang cenderung bersifat dikotomis. Sehingga dalam dimensi praktis kultural seringkali Pancasila menjadi suatu kotak politik yang harus dijaga, dipelihara dari serangan kotak politik lainnya yang secara parsial digolongkan dengan tuduhan “anti Pancasila”, anti persatuan dan kesatuan serta anti pemerintah Indonesia yang sah.
Pola pikir dan tindak yang dikotomis seperti itu hendaknya lewat dimensi praktis kultural sudah harus ditanggalkan di tahun 1992. Sehingga dalam mengantisipasi era globalisasi dunia kita tidak berkutat dan terjebak dalam pola-pola pikir dan tindak, anti perubahan, anti jati diri bangsa, anti nasionalisme dan anti patriotisme.
Sebab permasalahan pokok danutarna perjuangan seluruh umat manusia sekarang adalah anti keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan. Kini mayoritas masyarakat dunia begitu bersemangat untuk berkiprah dalam suatu medan perang ekonomi dunia tadi. Yaitu memerangi masih adanya ketidakadilan, ketidaksejahteraan sosial ekonomi antar kalangan masyarakatnya sendiri, antar bangsa-bangsa di seluruh dunia.
Pendeknya, seluruh masyarakat dunia termasuk Indonesia masih tetap menanggulangi serta memerangi tumbuhnya berbagai kesenjangan. Ya, kesenjangan politik. Juga kesenjangan sosial, ekonomi serta kesenjangan beragam bidang-bidang kehidupan lainnya di beragam lapisan masyarakatnya sendiri maupun, masyarakat dunia umumnya .Inilah tantangan yang masih merawankan.
Disamping tentunya masih terasa mengendap adanya kerawanan-kerawanan sosial ekonomi lainnya yang berkaitan dengan masalah teknis, masalah kelompok kekuatan politik, masalah primodialisme, nepotisme serta neo feodalisme. Dimana didalamnya terus disulut oleh semakin meningkatkan iklim konsumeristis yang selalu mendewakan segala sesuatu yang bersifat serba benda.
Sumber : MERDEKA(03/01/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 27-29.