RESONANSI: PAK HARTO DAN SARAJEVO
Oleh Zaim Uchrowi[1]
Jakarta, Republika
Begitu (lewat TV) melihat roda pesawat UNPROFOR menyentuh landasan lapangan terbang, dan kemudian Pak Harto menginjak kaki di tanah Sarajevo, saya pun mengepalkan tangan. Akhirnya kita peduli juga pada Bosnia. Akhirnya kita menyatakan sikap yangjelas setelah selama tiga tahun praktis bungkam bagai bangsa yang tidak berpendirian.
Setelah pembantaian bangsa Yahudi oleh Nazi di masa Perang Dunia II dan pembantaian bangsa Kamboja rejim Pol Pot diperi ode 1970-an. Bosnia dan Tragedi Rwanda adalah gambar yang paling nyata kebiadaban manusia terhadap manusia yang lain. Bila terhadap persoalan yang begitu jelas, kita tak dapat bersikap, bagaimana mungkin kita menyikapi soal-soallain yang lebih abstrak. Bila kita sering tak mampu bersikap dengan jelas- apalagi benar-bagaimana mungkin kita dapat memecahkan bergunung persoalan yang kita hadapi, Syukurlah Pak Harto kemudian membuat keputusan: kita punya sikap jelas. Saya kira, keberanian untuk aktif dan bersikap jelas adalah ukuran seberapa besar kita sebagai bangsa. Lewat kunjungan Pak Harto ke Sarajevo ini kita tahu bahwa kita masih bangsa besar, dan kita pantas mengambil peran nyata di pentas global. Kalau saja kita konsisten aktif dalam politik luar negeri -seperti yang ditunjukkan lewat kunjungan Pak Harto ke Sarajevo yang lalu -ada sejumlah keuntungan internal yang akan kita peroleh. Kita akan lebih terlatih untuk “berhadapan” dengan dunia, dan bukan cuma dengan diri sendiri seperti selama ini. Ketangguhan kita untuk berbenturan dengan berbagai kepentingan akan diuji dengan benturan benturan itu sendiri. Pada akhirnya itu yang akan memperkuat posisi kita.
Kita tidak akan penuh bisa tangguh dalam politik luar negeri bila dalam negeri berantakan. Dengan aktif di pentas dunia, kita akan terpaksa untuk terus-menerus menuntaskan persoalan dalam negeri kita. Bahkan kita dituntut untuk mengembangkan berbagai keadaan pada tingkat yang membanggakan. Ketidakmampuan kita untuk mengatasi persoalan-persoalan seperti itu, hanya akan memandulkan kemampuan kita bemegosiasi di forum global.
Di dalam negeri, masih banyak persoalan yang harus kita benahi. Masalah Timor Timur yang telah menyita banyak waktu, tenaga dan biaya itu hanya salah satunya. Berbagai persoalan lain masih mengganjal seperti ketidakmampuan kita mencegah maraknya kejahatan, silang-sengketa antara pemerintah dan LSM tentang konsep dan pelaksanaan pembangunan, hingga tidak efisiennya sektor industri kita dalam menghadapi era dunia perdagangan bebas tahun 2020. Berbagai persoalan itu mau tidak mau harus kita atasi bila kita sungguh-sungguh bemiat menjadi bangsa yang diperhitungkan dunia.
Pilihan Pak Harto untuk lebih aktif dalam kancah politik dunia, juga akan mencambuk dunia usaha untuk berkompetisi di pasar dunia. Apalagi, sekarang sudah bukan saatnya bagi dunia usaha untuk cuma jago kandang dengan menuntut proteksi dan menikmati fasilitas. Pak Harto sudah mengunjungi Bosnia. Sekarang kita tinggal menunggu apakah kunjungan itu cwna move politik sementara yang hanya akan berlalu percuma, atau sebuah langkah sungguh-sungguh buat kita untuk lebih aktif di kancah dunia. Seberapa jauh keterlibatan kita pada penyelesaian kasus Bosnia mendatang adalah salah satu ukurannya.
Sumber : REPUBLIKA ( 17/03/1995)
___________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 184-185