Rudolf Kasenda: Pak Harto Pemimpin yang Tenang dengan Komando yang Jelas

Pemimpin yang Tenang dengan Komando yang Jelas [1]

Rudolf Kasenda [2]

 

Saya baru kenal Pak Harto secara fisik di akhir tahun 1967. Ketika itu Pak Harto sebagai Pejabat Presiden sedang mengadakan kunjungan kerja di Manado. Saya sendiri, waktu itu menjadi Kepala Staf Kodamar dengan pangkat letnan kolonel. Saya katakan bahwa saya baru kenal Pak Harto, karena di sinilah saya bisa berbicara dengan beliau, meskipun masih terbatas.

Sebelumnya saya belum pernah berbicara dengan beliau, meskipun saya sudah tahu nama beliau sejak tahun 1962. Ketika itu saya menjabat Kepala Departemen Operasi kapal destroyer (RI Sultan Iskandar Muda) dari Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Panglima Komando Mandala adalah Mayor Jenderal Soeharto, dengan Kolonel Soedomo sebagai salah seorang Wakil Panglimanya. Secara langsung, saya berada dibawah komando Pak Domo. Pada waktu itulah saya tahu nama Pak Harto dan secara tidak langsung menjadi anak buah beliau.

Saya lebih mengenal lagi nama beliau ketika terjadi Peristiwa G-30-S/PKI. Waktu itu pangkat saya sudah mayor dan saya ikut menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan pemulihan keamanan dan ketertiban yang diakibatkan oleh pemberontakan G-30-S/PKI itu. Saya mengetahui peranan Pak Harto dari cerita-cerita yang disampaikan Jenderal Jusuf kepada saya. Apa yang saya dengar itu menimbulkan kekaguman saya terhadap Pak Harto, terutama cara beliau memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan pengkhianatan PKI. Begitu juga dengan cara Pak Harto menghadapi Bung Karno, yang saya anggap sangat bijaksana.

Selaku anggota ABRI, saya merasakan bahwa kepemimpinan Pak Harto mantap dan jelas. Hal ini terbukti dalam pengalaman saya ketika bertugas dalam Komando Mandala. Ketika itu Panglima Komando Mandala memerintahkan Kolonel Soedomo untuk mengadakah serangan amfibi ke Biak. Oleh karena itu Kolonel Soedomo langsung menyiapkan serangan ini. Ketika persiapan penyerangan tengah dilakukan, kami mendengar berita dari Jakarta bahwa Belanda bersedia menyerahkan Irian Barat. Oleh sebab itu penyerangan ke Biak dibatalkan. Agak kecewa kita mendengar pembatalan tersebut, meskipun didalam ABRI pembatalan terhadap suatu perintah yang harus kita laksanakan adalah soal biasa. Tetapi di sini saya merasakan benar kepemimpinan Pak Harto yang begitu mantap dan jelas dalam memberikan keterangan mengenai pembatalan serangan tersebut, sehingga keterangannya dapat diterima oleh segenap pasukan yang dipersiapkan untuk penyerangan ke Biak. Dengan demikian Pak Harto tidak hanya mantap dan jelas dalam memberikan komando, sehingga kita tidak perlu ragu-ragu menyiapkan sesuatu penyerangan, tetapi juga dalam memberi keterangan, sehingga kita dapat menerima segala penjelasannya.

Kemantapan kepemimpinan Pak Harto lebih terasa ketika saya ditunjuk menjadi Kepala Staf Kopasgab (Komando Operasi Pasukan Gabungan ABRI) di Timor Timur. Itu terjadi pada tahun 1975; pangkat saya masih kolonel,dan panglimanya adalah A. Suweno. Ketika itu terasa sekali kesulitan logistik untuk membantu pengungsian rakyat Timor Timur yang sedang bergolak, disamping sebagai militer yang gerakannya dibatasi oleh diplomasi-diplomasi antara RI dan Portugal dan lain-lain. Tetapi karena Presiden Soeharto telah menggariskan bahwa kita ingin menghapuskan kolonialisme di sana, maka saya yakin bahwa suatu saat akhirnya Timor Timur akan dapat bebas dari kolonialisme. Karena jelas dan mantapnya garis yang diberikan Pak Harto, maka sejak bulan Agustus 1975, kami sudah menyiapkan pasukan, baik darat, marinir maupun beberapa kapal perang di perbatasan. Setelah menunggu selama hampir empat bulan, maka tanggal 7 Desember 1975 diputuskan untuk membebaskan Dili. Dalam hal ini saya merasakan bahwa Pak Harto begitu jelas dalam memberikan perintah, sehingga tidak melemahkan semangat pasukan yang sudah dipersiapkan sejak lama untuk membantu rakyat Timor Timur yang ingin berintegrasi dengan Indonesia. Seperti diketahui bahwa menunggu perintah menyerang bagi militer adalah sesuatu yang paling tidak enak, dalam arti bisa menurunkan moral para prajurit. Tetapi karena kita yakin bahwa Pak Harto pasti akan memberi komando “pembebasan”, maka menunggu selama hampir empat bulan tidak menjadi masalah.

Saya merasakan kepemimpinan Presiden Soeharto yang jelas, mantap dan konsisten ketika saya sudah menjadi Panglima Armada. Saya diangkat menjadi Panglima Armada pada tahun 1981. Sebagaimana diketahui didalam organisasi militer, kita tidak akan mendapat informasi langsung dari Presiden. Ada hirarki untuk memperoleh informasi ataupun pengarahan dari puncak komando. Sekalipun saya memperoleh informasi ataupun pengarahan-pengarahan langsung melalui jalur hirarki, namun saya rasakan bahwa pengarahan-pengarahan dari Pak Harto yang saya dapatkanitu sangat jelas. Jadi saya merasakan suatu kepemimpinan yang mantap dari Pak Harto. Kebanggaan yang paling besar selama karir militer saya, ketika menjabat sebagai Panglima Armada, adalah ketika saya dapat mengerahkan armada untuk show of force pada Hari ABRI pada 5 Oktober 1981 di Cilegon. Bagaimanapun ini merupakan kebanggaan setiap orang, manusiawi sifatnya, tetapi yang paling terasa ialah bahwa saya dapat mengerahkan armada AL disaksikan oleh Presiden Soeharto dan rakyat Indonesia .

Sejak diangkat menjadi Panglima Armada di tahun 1981 sampai akhirnya dilantik menjadi KSAL tanggal 11 April1986, saya tetap menghormati beliau. Adalah suatu kebanggaan bahwa saya, yang memulai karir dari prajurit (taruna), dipercayai memimpin Angkaian Laut Republik Indonesia. Meskipun saya dan Pak Harto jarang bertemu, tetapi ada semacam perasaan akrab dengan beliau dalam diri saya. Didalam setiap pertemuan, apakah itu lebaran atau lainnya, Pak Harto selalu memanggil nama saya, tidak pernah menyebut pangkat dan sebagainya. Dengan demikian terasa bahwa sapaan Pak Harto kepada saya mirip sapaan dari kakak terhadap adik atau dari ayah terhadap anaknya.

Kepribadian Pak Harto yang menarik bagi saya ialah ketenangan dalam menghadapi segala macam situasi. Beliau selalu tenang menghadapi segala persoalan, dari yang kecil sampai yang terberatpun. Saya lihat langsung pada tahun 1974, ketika suasana politik menghangat sehubungan dengan Peristiwa Malari. Pada waktu itu saya menjabat Paban Operasi di Departemen Hankam dengan pangkat kolonel. Jadi saya ikut dalam menangani per soalan tersebut. Aksi­aksi mahasiswa sudah mengarah pada kekerasan, tidak hanya diskusi-diskusi politik tetapi sudah mengadakan demonstrasi­demonstrasi anti-Jepang. Demonstrasi semakin gencar ketika PM Tanaka tiba di Indonesia. Ketika itu saya ada di Merdeka Barat dan menyaksikan Presiden Soeharto memeriksa pasukan di Monas, setelah perusakan-perusakan dapat diatasi. Di situ saya lihat Pak Harto begitu tenang, tidak terlihat ada kepanikan sedikit pun. Jadi beliau tenang sekali dalam menghadapi situasi waktu itu, semacam ada keyakinan dalam dirinya bahwa situasi politik dapat diatasi dengan baik. Hal ini, bagi kita orang militer, sangat membantu di dalam usaha-usaha mengatasi persoalan-persoalan politik yang sedang kita hadapi waktu itu. Menurut saya, itu hebatnya Pak Harto. Kalau pemimpinnya saja sudah panik dalam menghadapi situasi seperti itu, maka perintahnya juga akan kacau-balau. Ini tidak nampak dalam diri Pak Harto. Beliau tenang dalam memeriksa barisan dan tenang pula dalam menyampaikan perintah-perintahnya.

Hal lainnya yang menonjol dari Pak Harto ialah kegandrungannya terhadap pembangunan. Beliau menginginkan taraf hidup rakyat Indonesia meningkat. Kesimpulan ini saya dapatkan setelah mendalami cara-cara berpikir beliau, ketika saya diundang untuk meninjau peternakan Tapos di Ciawi, Bogor. Pada waktu itu saya telah menjadi Panglima Armada. Di Tapos beliau menjelaskan semua yang berkaitan dengan peternakan; dijelaskan juga bagaimana mengembangkan cara-cara beternak yang baik dalam masyarakat. Beliau mengemukakan juga keinginannya untuk menyejahterakan kehidupan rakyat melalui bidang peternakan ini. Oleh karena itu saya menganggap bahwa pilihan Pak Harto dengan menggunakan teknokrat untuk membangun bangsa Indonesia adalah sangat tepat. Ini juga suatu petunjuk bahwa beliau benar-benar ingin membangun negara dan bangsa Indonesia. Jadi di situlah, di Tapos, saya semakin yakin bahwa Indonesia betul-betul dipimpin oleh seorang kepala negara yang ingin melihat negara, dan bangsa ini cepat maju.

Dengan demikian saya selalu mengingatkan kepada anak buah saya bahwa kita harus bekerja yang benar, karena kita dipimpin oleh seorang yang menginginkan rakyat kita maju. Sebagai warga­negara yang baik, saya selalu menekankan kepada anak buah saya untuk bekerja sekeras-kerasnya sesuai kemampuan masing-masing untuk mencapai cita-cita bangsa. Untuk itu ada dua hal yang penting yang merupakan semangat ’45, yaitu pertama, kemauan untuk bersatu; dan kedua, kemauan untuk berkorban mempertahankan kemerdekaan. Karena saya begitu memperhatikan kedua hal itu dan agar Indonesia tetap utuh dibawah pemimpin yang begitu gandrung terhadap kesejahteraan rakyat, maka saya meminta kesediaan Pak Sukarton Marmosudjono untuk menulis sebuah buku. Ketika itu Pak Sukarton belum menjadi Jaksa Agung. Kemudian isi buku itu saya sebarkan kepada anak buah saya.

Dalam buku itu lebih ditekankan mengenai sejarah terciptanya Pancasila dan UUD 1945. Kita lihat  misalnya penerimaan the founding fathers bangsa Indonesia terhadap Pancasila dan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Dalam hubungan ini para pendiri Republik bersedia menghapuskan tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sebagaimana yang dirumuskan dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Ini disebabkan bahwa bila tujuh kata itu tidak dikeluarkan, maka rakyat Indonesia Timur tidak akan bergabung dengan Republik Indonesia, sehingga penghapusan tujuh kata itu sering dianggap sebagai “hadiah” umat Islam untuk mereka yang non-Islam. Akan tetapi bagi saya, hal itu justru menunjukkan adanya keinginan bersatu dari Republik ini. Oleh karena itu bila kita benar-benar mengerti sejarah terbentuknya negara RI, maka saya kira kita semua akan bersedia berjuang untuk negara ini. Itulah sebabnya saya beranggapan bahwa tanggal18 Agustus 1945 itu merupakan perwujudan dari keinginan bersatu dari seluruh rakyat Indonesia. Terbukti bahwa setelah tanggal 18 Agustus 1945, semua rakyat Indonesia, tanpa memandang golongan dan daerah asal, ikut bergerak untuk mencapai suatu negara kesatuan Indonesia, sekalipun harus berjuang secara fisik melawan penjajah serta unsur-unsur  separatis lainnya.

Dalam kedudukannya sebagai pemimpin kabinet, saya menganggap bahwa kepemimpinan Pak Harto terasa sekali sampai pada tingkat eselon terbawah. Beliau nampak sebagai manajer yang begitu jelas menerapkan kebijaksanaan-kebijaksanaannya. Saya kira, manajemen Pak Harto inilah yang merupakan kunci kesuksesannya. Dalam melaksanakan tugas di AL, baik sebagai pejabat biasa sampai menjadi KSAL, saya melihat bahwa saya tidak perlu lagi mendapat petunjuk-petunjuk dari beliau. Sebab, segala pengarahan yang telah digariskan begitu jelas dan dapat diterapkan dengan mudah. Jadi sangat gamblang untuk menjabarkan apa yang digariskan oleh Pak Harto sepanjang kita tidak mempunyai kepentingan pribadi. Tetapi saya lihat bahwa ada juga oknum-oknum pejabat pemerintahan yang mengaburkan pengarahan-pengarahan Pak Harto yang sebenarnya sudah jelas itu. Ambillah contoh kebijaksanaan Presiden tentang koordinasi terhadap bidang dari beberapa departemen yang mudah dikoordinasikan. Tetapi hasilnya malahan tidak ada koordinasi antar-departemen. Ini disebabkan kebijaksanaan tersebut diinterpretasikan bermacam-macam, dan bila ada koordinasi maka kepentingan orang-orang tertentu akan hilang. Syukurlah bahwa kita mempunyai kepala negara yang begitu gandrung pada birokrasi yang benar, sehingga beliau tetap menghargai kegiatan-kegiatan administrasi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Bagi saya, sebagaimana anggota ABRI pada umumnya, tentunya kedudukan Pak Harto sebagai Panglima Tertinggi ABRI sangat menentukan. Beliau mempunyai wewenang besar dalam organisasi ABRI. Beliau menentukan dalam kenaikan pangkat, terutama parrgkat kolonel keatas. Presiden Soeharto sebagai Panglima Tertinggi ABRI dapat menolak atau menerima usulan kenaikan pangkat perwira ABRI. Dalam kaitan ini seseorang yang diusulkan kenaikan pangkatnya, biasanya, sudah disetujui oleh Pangab, dan disahkan oleh Presiden.

Pengaruh kepemimpinan Presiden Soeharto juga terasa dalam pelaksanaan dwifungsi ABRI. Dengan dwifungsi ini, maka ABRI merupakan kekuatan militer dan kekuatan sosial-politik. Masalah dwifungsi sebenarnya terjadi di mana-mana, di negara-negara maju ataupun berkembang, namun khusus untuk kita, dwifungsi dilembagakan. Yang jelas bahwa pelaksanaan dwifungsi ini adalah untuk menjaga kelestarian Pancasila dan UUD 1945. Bahkan para perwira muda sekarang ini menyadari bahwa dwifungsi perlu tetap ada demi kestabilan nasional. Meskipun demikian di masa-masa mendatang intensitasnya saja yang berubah. Dalam kaitan ini kita perlu menempatkan anggota-anggota militer di lembaga perwakilan seperti MPR/DPR, karena di situlah kita perlu ikut menjaga kelestarian Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan pada posisi-posisi lainnya, saya kira cukuplah pada posisi yang penting-penting saja demi kepentingan keamanan kita. Dengan menduduki posisi di MPR/DPR, anggota militer akan merupakan suatu kekuatan untuk menetralisir golongan ekstrim kanan, ekstrim kiri, ataupun ekstrim lainnya, yang barangkali akan berusaha mengubah Pancasila dan UUD 1945. Saya kira, itulah peranan ABRI dalam dwifungsi pada masa-masa mendatang, dan saya lihat peranannya sudah lebih mengarah ke sana. Dengan demikian tuduhan-tuduhan yang menganggap bahwa ABRI adalah job-hunters atau job-seeking sudah tidak berlaku lagi. Sebab the new generation didalam ABRI sudah tidak demikian lagi.

Masalah lain yang berkaitan dengan tugas saya sebagai KSAL ialah bagaimana menjaga perairan Indonesia sehubungan dengan wawasan nusantara. Secara langsung ataupun tidak langsung, hal ini merupakan salah satu tugas yang dibebankan Kepala Negara kepada saya. Dengan segenap kemampuan dalam rangka menjaga perairan, kita akhirnya sangat tergantung pada dua faktor. Pertama, kemampuan pemerintah untuk mengadakan diplomasi dengan negara-negara di sekitar kita dan juga negara-negara adikuasa. Kedua, kemampuan ekonomi kita. Kedua hal inilah yang menentukan bila kita berbicara tentang masalah penjagaan perairan kita. Kalaupun ada soal penyelundupan, saya kira cukuplah hal itu diurus oleh unsur-unsur non-TNI-AL, seperti bea cukai, KPLP, dan Polri. Sedangkan TNI-AL cukup mengkoordinasikan saja dimana perlu, serta memberi bantuan fisik sesuai dengan kebutuhan. Disamping itu kita sering juga sangat malu bila menangkap penyelundup­penyelundup “rakyat lokal” di Kepulauan Riau, yang kehidupannya memang sangat minim. Bahkan bila dibandingkan dengan kehidupan masyarakat desa di daerah Jember Selatan, maka kehidupan para nelayan tradisional di Riau itu Iebih miskin lagi. Jadi penyelundupan ”rakyat lokal” di Riau itu sangat kecil, dan penghasilannya biasanya hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Sebenarnya bila kita mau memberantas penyelundupan sebaiknya di pelabuhan­-pelabuhan besar, seperti Tanjung Priok, Belawan, Palembang, Pekan Baru, Jambi, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang dan lain-lain. Penyelundupan yang berupa pemalsuan dokumen bea cukai itulah yang sebenarnya perlu diberantas, sebab ia jelas sangat merugikan negara. Jadi jangan nelayan kecil yang dikejar-kejar, tetapi justru pelabuhan-pelabuhan itulah yang perlu diawasi.

Mengenai perspektif kepemimpinan nasional di masa yang akan datang, menurut saya ABRI masih tetap dominan. Kekuatan di ABRI sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang hidup di masyarakat. Hanya kita perlu melestarikan bahwa siapapun yang menjadi pemimpin harus benar-benar memahami sejarah perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia. Pengertian mendalam mengenai sejarah ini lebih mudah dimengerti oleh mereka yang berasal dari ABRI, karena mobilitas didalam ABRI cukup tinggi. Misalnya saja bahwa seorang yang menjabat KSAD, dapat dikatakan ia sudah menjelajahi seluruh Indonesia. Mobilitas semacam itu akan membuat wawasannya lebih luas. Ia akan mengenal betul dan tepat sekali berbagai variasi karakteristik masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Oleh karena luasnya negara kita ini, maka mereka yang paling mengetahui kondisi seluruh rakyat Indonesia, saya anggap paling tepat diberi wewenang sebagai pimpinan eksekutif, tentunya disamping persyaratan-persyaratan psikologis lainnya.

Di ABRI, pendewasaan semacam itu sudah dimulai dari umur 18-19 tahun, ketika mereka masuk ABRI. Akan tetapi saya tidak mengatakan bahwa kepemimpinan nasional haruslah dari ABRI, namun haruslah diakui bahwa bagi kita sebagai negara berkembang adalah lebih mudah untuk merekrut personil dari ABRI yang mempunyai visi broad-minded tentang Indonesia. Bukan hanya masalah manajemen saja yang menjadi tantangan kita, tetapi broad­mindedness juga sangat diperlukan. Saya menilai Pak Harto sangat memenuhi kriteria itu, dan kita harapkan yang menjadi penggantinya di masa datang adalah seorang yang cara pandangnya sama dengan Pak Harto. Kemungkinan mengenai hal ini akan lebih besar prospeknya dari kalangan ABRI.

Visi yang luas tentunya mempunyai pengaruh terhadap konsistensi kepemimpinan seseorang. Oleh sebab itu yang menjadi masalah adalah kalau pemimpin itu tambah tua, dan mulai agak lupa, maka masukan-masukan yang baru dikhawatirkan dapa:t mengubah konsistensi kepemimpinannya. Sampai saat ini saya melihat Pak Harto tetap konsisten dalam menangani masalah-masalah pembangunan. Terus terang saya katakan bahwa peranan Pak Harto sangat besar sekali dalam mempertahankan konsistensi pembangunan ini. Hanya dengan kepemimpinan yang demikianlah, disiplin nasional yang tidak mengenal diskriminasi agama, ras, atau suku dapat ditegakkan. Dalam arti, kita mau berjuang untuk negara ini, karena kita mengetahui benar bagaimana para pendiri Republik ini telah menyepakati suatu dasar negara yang dapat diterima oleh seluruh golongan di Indonesia, dan yang oleh pimpinan nasional Pak Harto dimantapkan secara konsisten. Meskipun ada perbedaan suku antara saya dan Pak Harto, namun tidak ada kesenjangan bagi saya dalam menerjemahkan pikiran-pikiran beliau. Pak Harto berasal dari Jawa, sedangkan saya berasal dari Manado, yang lahir dan dibesarkan di Toraja sampai tamat SD. Saya melihat laut pertama kali setelah tamat SD, dan kemudian meneruskan ke SMP dan SMA di Ujung Pandang. Saya kira kejernihan dan kejelasan pemikiran Pak Harto yang menyebabkan tiadanya kesenjangan dalam menerjemahkan pikiran beliau. Saya tidak pernah kaget atau shock dengan keputusan-keputusan yang diambil oleh Pak Harto. Keputusan yang diambil sebenarnya jauh sebelumnya sudah dipikirkan masak-masak. Singkatnya, tidak ada keputusan yang diambil secara mendadak dan emosional. Karena itu saya tidak melihat adanya hal-hal yang kurang menarik dari Pak Harto sebagai pribadi maupun sebagai Presiden.

***



[1]     Rudolf Kasenda, “Pemimpin Yang Tenang Dengan Komando Yang Jelas “, dalam buku “Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 862-870.

[2]     Laksamana TNI (Purn.); Kepala Staf Angkatan Laut, 1986-1989.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.