“SAFARI” KE LIMA NEGARA PERERAT PERSAHABATAN DAN KERJASAMA
Jakarta, Antara
SETELAH berada enam hari di Venezuela, Presiden Soeharto dan rombongan meninggalkan Caracas 30 November dengan DC-10 Garuda menyeberangi Samudera Atlantik menuju Afrika, untuk melanjutkan kunjungan ke ·zimbabwe, Tanzania dan Senegal. Sebelum ke Harare, ibukota Zimbabwe, Presiden yang disertai Ibu Tien Soeharto singgah dulu di Las Palmas, sebuah pulau yang luasnya hampir sama dengan Singapura untuk istirahat semalam.
Las Palmas, ibu kota kepu lauan Canarias (ada tujuh pulau) milik Spanyol ini letaknya sekitar 100 mil dari daratan Maroko, Afrika Barat Laut.
Sekitar lima juta wisatawan per tahun berlibur ke Las Palmas. Paling banyak turis Eropa karena hanya 2-3 jam terbang dari benua itu. Kepulauan yang menghasilkan tomat dan sayuran ini, cukup mengandalkan pantainya yang indah dan sinar matahari untuk menarik kunjungan wisatawan yang mencapai 10 juta orang tiap tahun.
Ketika penduduk kepulauan ini mulai tidur Minggu malam, DC-10 Garuda yang membawa Presiden dan rombongan meninggalkan bandara AU Spanyol di Las Palmas menuju Zimbabwe menyusuri Samudera Atlantik ke arab selatan, kemudian melintasi sebagian padang savanah Afrika dan akhirnya tiba di Harare, Senin pagi 2 Desember setelah terbang sembilan jam.
Tari dan Lagu
Bunyi gendang bertalu-talu disertai tari dan lagu gembira memeriahkan upacara penyambutan resmi kedatangan Presiden Soeharto di bandara Harare yang dibawakan oleh anak-anak dan orang dewasa semuanya berkulit hitam legam.
Sebagian anggota rombongan yang masih mengantuk, ketika turun dari tangga pesawat tersentak mendengar musik tradisional yang “hot” dan memikat perasaan. Presiden sambil tersenyum bertepuk-tepuk tangan mengikuti irama riang Afrika ini.
Sambutan hangat tidak hanya di bandara, tetapi juga di Balai Kota Harare. Sejumlah gadis dan ibu-ibu yang tubuhnya gemuk gempal memperagakan tarian Afrika yang penuh semangat. Ketika Presiden Soeharto selesai menyampaikan amanatnya selain mendapat tepuk tangan, juga teriakan-teriakan khas, “kluk, kuluk, kuluk” berulang kali.
“Saya kira mau panggil hujan,” ujar seorang rekan mendengar teriakan itu. Ternyata teriakan khas Afrika itu merupakan respek atau ungkapan hormat terhadap seseorang.
Stabil
Zimbabwe berasal dari dua suku kata bahasa Shona, yakni Zimba dan Ramabwe yang berarti rumah besar dari batu. Zimbabwe yang dulu bernama Rhodesia Selatan berpenduduk sekitar 10 juta jiwa dengan pendapatan per kapita lebih kurang 650 dolar AS. Kepadatan penduduk 23 orang/km2. Luas wilayahnya 390.580 km2 yang sebagian besar berupa padang savanah dan hanya 17 persen daerah subur.
Menurut kepala bidang politik KBRl di Harare, Nawan Hasbi, keadaan ekonomi dan politik Zimbabwe paling stabil dibanding dengan deIapan negara lainnya di Afrika bagian selatan, kecuali Afrika Selatan. Negara lainnya agak lumayan “keadaannya seperti Bostwana dan Malawi. Kemudian Zambia, Lesotho, Namibia dan Swasiland. Yang paling parah kondisinya adalah Mozambique dan Angola, bekas jajahan Portugal.
Zimbabwe mengekspor emas, tembakau, katun, asbestos, nikel, baja dan besi. Nilai ekspomya mencapai 1,6 miliar dolar tahun 1990, sedangkan nilai impornya 1,5 miliar dolar untuk mendatangkan mesin-mesin, hasil-hasil industri minyak, peralatan transpor dan barang jadi.
Negara tujuan ekspornya yang utama adalah Afrika Selatan walau belum ada hubungan diplomatik dengan Zimbabwe. Kemudian Inggris, Jerman dan Italia. Walau sudah mulai “liberal”, namun untuk investasi masih sulit karena Zimbabwe menganut rezim devisa yang ketat.
Aids
Masalah paling menonjol di negara yang menganut faham Marxisme-Leminisme ini (walau faham ini sudah mulai ditinggalkan sejak 1990) adalah angka penyakit AIDS yang sangat tinggi. Tercatat sekitar 6.000 orang menderita penyakit aids pada tahun 1990.
Menurut Zimbabwe National Aids Council ada setengah juta orang (5% dari jumlah penduduk Zimbabwe) mengidap virus HIV Meningkatnya penderita penyakit AIDS karena ketidak acuhan terhadap penyakit ini, tingginya biaya hidup sehingga pelacuran meningkat dan rendahnya tingkat pendidikan penduduk.
Selain itu ada tradisi “Lobola” yakni mas kawin terlalu tinggi yang harus diberikan seorang pria kepada calon isterinya. Akibatnya banyak pria tidak berani menikah dan akhirnya “hanyut” dalam pergaulan bebas.
Ekonomi
Dari pembicaraan antara Presiden Soeharto dan Presiden Robert Mugabe disepakati bahwa Indonesia dan Zimbabwe akan meningkatkan hubungan kerjasama khususnya dalam bidang ekonomi.
Dalam hubungan ini kedua pihak akan merumuskan suatu perjanjiann kerjasama ekonorni yang diharapkan akan menjadi “payung” bagi perjanjian-perjanjian lainnya.
Untuk tahap pertama, kedua pihak akan melakukan tukar menukar daftar barang ekspor-impor yang dapat dilakukan kedua pihak. Ada kendala yang dihadapi dalam ekspor-impor ini. Komoditi ekspor-impor Zimbabwe harus melalui negara ketiga, karena Zimbabwe tidak mempunyai laut.
Untuk mengatasi masalah ini akan dijajaki pemanfaatan pelabuhan-pelabuhan di Afrika Selatan atau di Mozambique. Zimbabwe yang penduduknya makan jagung (sadsa) ingin mengadakan kerjasama dengan Indonesia di bidang teknologi pertanian, karena Indonesia dianggap sudah maju dalam bidang ini.
Di bidang politik kedua negara tidak mempunyai masalah, kata menteri luar negeri Ali Alatas. Kedua pihak mempunyai pandangan dan posisi yang identik dan sejalan pada forum-forum internasional.
Zimbabwe yang pernah ditindas regimIan Smith ini cukup populer di Afrika karena menentang rezim rasialis. Harare pemah beberapa kali menjadi tempat pertemuan pertemuan intemasional seperti KTT Non Blok, KTT Persemakmuran dan KTT Antara Negara Afrika.
Zimbabwe memegang posisi kunci diantara negara-negara di Afrika bagian selatan yang dewasa ini satu persatu mulai meninggalkan sistem satu partai.
Presiden Mugabe yang pemah ke Indonesia tahun 1990, dalam pertemuan dengan Presiden Soeharto di Harare dengan tegas mendukung pelaksanaan KTT Non Blok di Jakarta, September tahun ini.
Kerjasama Indonesia dengan Zibabwe setidak-tidaknya memberikan citra baru bagi negara-negara di Afrika bagian selatan mengenai pentingnya peningkatan kerjasama di antara negara-negara yang sedang membangun.
Sumber : ANTARA (03/01/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 29-32.