Sarwono Kusumaatmadja: Pak Harto, Kisah Keunggulan Strategi

Kisah Keunggulan Strategi [1]

Sarwono Kusumaatmadja[2]

Jika saya menulis tentang Pak Harto, mungkin tidak tepat kalau·saya berpretensi menulis tentang seseorang yang saya kenai baik. Ada beberapa hal yang tidak memungkinkan saya mengenal beliau dari dekat. Sebagai pembantu beliau, saya baru berada di lingkungan pemerintahan sekitar tiga tahun. Ditilik dari segi lingkungan sosial, saya tidak pernah mempunyai alasan maupun kesempatan mengenalnya dari dekat. Apalagi dari segi usia; kami berdua adalah anggota dari dua generasi yang dibesarkan dalam kurun waktu yang berbeda.

Tetapi, bukannya tidak mungkin untuk menulis tentang seseorang yang secara pribadi tidak dapat diselami, apalagi jika kita berbicara tentang seorang tokoh nasional yang besar dan bersejarah seperti Pak Harto. Karena tokoh seperti beliau mempunyai pengaruh terhadap setiap orang di Indonesia. Tidak terkecuali diri saya. Kebetulan karena pengenalan saya mengenai beliau kurang lebih, tepat waktunya saat saya sebagai mahasiswa ITB bersentuhan dengan suatu bidang kehidupan yang ternyata merupakan bagian dari diri saya sampai sekarang, yaitu kehidupan politik.

Seperti banyak orang lain di Indonesia, pertama kali saya mendengar tentang Pak Harto adalah ketika mendengarkan pengumuman radio pada tanggal 1 Oktober 1965 jam tujuh malam. Setelah hampir seluruh hari kita mendengar pengumuman-pengumuman dari apa yang menamakan dirinya “Dewan Revolusi”, maka keterangan Mayjen. Soeharto, Panglima Kostrad, telah memberikan petunjuk yang jelas apa sebenarnya yang terjadi. Terlebih lagi, pengumuman Pangkostrad pada waktu itu memberikan pula petunjuk bahwa krisis yang sedang terjadi sedang diatasi. Bagi saya pada waktu itu, keterangan Pangkostrad adalah penting karena sebagaimana halnya bagian besar masyarakat lainnya di Bandung, pengumuman Dewan Revolusi bukan hanya kedengaran aneh, tapi juga menggelisahkan. Betapa tidak, karena dengan situasi politik pada waktu itu dimana terjadi ketegangan antara Angkatan Darat dengan pihak komunis, maka kabar yang dikumandangkan oleh Letkol. Untung membuat para mahasiswa anti-komunis di Bandung merasa khawatir bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan yang efektif terhadap pemerintah oleh PKI.

Pengumuman Pangkostrad itulah merupakan titik balik sejarah yang menentukan hancurnya komunisme di Indonesia, karena sejak itu terlihat betapa Mayjen. Soeharto dengan keberanian yang tinggi dan dengan sikap yang matang bukan saja menjelma menjadi pimpinan sementara Angkatan Darat, namun menjelma sebagai pimpinan seluruh kekuatan rakyat yang bangkit melawan komunisme. Apa yang terjadi selanjutnya, tentu telah menjadi bagian sejarah yang berlebihan jika diulang di sini. Namun ada baiknya jika artikel ini dipandang sebagai rangkaian peristiwa dari sudut lihat seorang mahasiswa terhadap peranan dari tokoh Soeharto dalam pembentukan Orde Baru.

Serangkaian operasi militer yang sukses dalam mematahkan G-30-S, demikian juga terkumpulnya bukti-bukti tentang keterlibatan PKI dalam upaya perebutan kekuasaan, serta sikap Bung Karno yang cenderung meremehkan peristiwa itu dan sikapnya yang tetap mempertahankan Nasakom, dinilai pada waktu itu oleh para mahasiswa di Bandung sebagai suatu bukti bahwa walaupun secara militer PKI telah kalah, namun secara politis kemungkinannya untuk berperan masih terbuka karena perlindungan dari Presiden .Hal itu amat mengecewakan, sekaligus juga mengkhawatirkan, karena terdapat perasaan yang meluas bahwa situasi ekonomi maupun politik hanya dapat pulih jika pimpinan nasional bersikap tegas dan mendukung upaya Angkatan Darat untuk menumpas dan membubarkan PKI. Oleh karena itu, kelompok-kelompok masyarakat non-militer dan anti-komunis segera mengambil prakarsa untuk berpihak dan menggalang kekuatan untuk bersama-sama dengan ABRI berjuang menumpas komunisme, baik ajaran maupun organisasinya. Oleh karena itulah di mana-mana terjadi demonstrasi dan bahkan bentrokan fisik antara kekuatan non-komunis dengan PKI dan para pendukungnya.

Proses perjuangan untuk menumpas PKI dan membubarkannya berkulminasi dengan lahirnya Surat Perintah 11 Maret. Merupakan kegembiraan bagi rakyat bahwa dengan keluarnya Surat Perintah itu, maka apa yang diperjuangkan terkabul juga yaitu pembubaran PKI pada esok harinya; dan bahwa Surat Perintah itu memberikan kekuasaan yang besar kepada tokoh Soeharto yang memainkan peranan yang begitu vital pada saat-saat penumpasan PKI.

Tanggal 11 Maret 1966 ternyata memperlihatkan sisi lain dari perjuangan rakyat. Sebelum itu, gambarannya adalah hitam dan putih. Pokoknya PKI dibubarkan, seakan-akan zaman baru akan terbit. Namun sebenarnya 11 Maret 1966 adalah peralihan dari suatu perjuangan moral, ke fase lain dimana pertimbangan moral dan pertimbangan politik berjalan sekaligus. Situasi hitam putih berakhir, dan yang kemudian terjadi adalah kesan seolah-olah proses perubahan yang diinginkan ternyata terhambat oleh proses-proses politik selanjutnya. Mahasiswa pada waktu itu melihatnya kembali pada peranan Bung Karno. Yang ada di pikiran para mahasiswa adalah bahwa Bung Karno bukan saja penghalang bagi reformasi yang dituntut rakyat banyak, malahan makin dicurigai sebagai terlibat dalam G-30-S itu sendiri. Dalam situasi itu sulit untuk memisahkan antara sikap anti-PKI dengan anti-Soekarno. Pada waktu itu sulit bagi orang untuk, misalnya, bersikap mendukung Bung Karno tapi anti PKI.

Di sini kita dapat melihat bahwa Pak Harto bukanlah orang yang dapat diseret oleh arus. Kendatipun semua orang ketika itu menerima kepemimpinan beliau dan juga mengharapkan beliau berbuat lebih banyak dan lebih drastis, apalagi dengan dilengkapi oleh Surat Perintah 11 Maret, namun masyarakat melihat ada sisi lain yang diperlihatkan Pak Harto. Yaitu kemampuannya untuk menahan diri serta senantiasa berpikir dan bertindak dalam kerangka yang lebih luas. Serta pula teguh dalam pendiriannya. Hanya sedikit yang melihat kualitas tersebut ketika emosi masih tinggi. Banyak diantara eksponen Orde Baru malahan menilainya ragu-ragu. Di kalangan para cendekiawan, mahasiswa dan pemuda pada waktu itu, salah satu perdebatan besar adalah justru tentang kepribadian Pak Harto. Ada yang meremehkan kemampuannya untuk berperan dalam kehidupan nasional di masa mendatang, tapi juga ada yang secara gigih berpendapat  bahwa apa yang dilakukannya adalah tanda-tanda kenegarawanan yang tinggi.

Bagaimana pendapat saya pada waktu itu? Terus terang pada waktu itu saya termasuk yang heran akan kehati-hatian Pak Harto, namun juga tidak sampai pada kesimpulan meremehkan. Mungkin karena naluri sebagai orang politik pun sedang lambat laun timbul dalam diri saya berkat pengalaman politik yang demikian intensifnya saya alami. Saya mulai merasakan dan mengetahui bahwa politik bukanlah ilmu eksakta. Dari perdebatan yang terjadi, saya hanya melihat bahwa yang cenderung memahami sikap Pak Harto adalah mereka yang lebih berpengalaman dalam politik. Saya waktu itu hanya mencatat bahwa mereka yang berpengalaman tentunya cenderung benar.

Keterlibatan saya dalam politik ternyata berlanjut, dan pada tahun 1971, melalui suatu proses yang agak luar biasa, saya menemukan diri saya sebagai anggota DPR. Tahun-tahun pertama tidak saya lalui dengan aktif dalam DPR karena saya sendiri harus mengejar ketinggalan saya dalam bidang studi, apalagi terancam oleh kemungkinan terkena pencabutan status kemahasiswaan    (kalau dalam istilah sekarang “kena DO”). Baru setelah awal tahun 1974, saya dapat aktif di DPR, itu pun sambil mencari nafkah.

Sehubungan dengan status saya yang junior sebagai anggota DPR maka peran saya waktu itu hanyalah peran ”pelengkap penderita”. Namun dengan keinginan tahu dan keinginan belajar yang besar, semua peristiwa politik saya ikuti. Saya ikuti betapa pada awal tahun 1970-an Presiden Soeharto mengalami kesulitan demi kesulitan dalam menghadapi tugas besarnya. Suatu hal yang saya catat di masa lampau dan saya herankan pada waktu itu, saya lihat kembali. Suatu gaya kepemimpinan yang sepintas lalu nyaris tanpa warna, datar dan terkesan agak lamban, namun bisa saja tiba-tiba mengeluarkan sikap tak terduga dan keras. Hal ini seringkali mebingungkan orang. Saya lantas bersikap tidak ingin terombangambing dan ikut bingung dan oleh karena itu, saya mulai mempelajari ucapan-ucapannya. Pidato-pidato beliau saya dengar baik-baik, dan dengan beberapa teman, baik sesama anggota DPR maupun dari pers, kami mulai membiasakan diri mendikusikannya. Dari situ terlihat bahwa ada suatu alur yang konsisten antara tindakan dengan ucapannya. Oleh karena itu saya kemudian mengambil kesimpulan bahwa kalau tidak ingin kaget dan tidak ingin salah hitung dalam politik, sebaiknya pidato-pidato Presiden Soeharto dipelajari dan dianalisa dengan cermat. Dengan perkataan lain, haruslah disimak.

Dalam keadaan ini, maka mungkin saya dinilai sebagai politisi yang relatif bisa diharapkan dan karena itu kemudian diangkat sebagai Sekretaris Fraksi pada tahun 1978. Karena jenis tugasnya, maka Sekretaris Fraksi diharuskan banyak berbicara pada pers disamping juga mempersiapkan bahan-bahan bagi pimpinan fraksi maupun komisi. Dengan demikian saya makin mempunyai keharusan dan juga kesempatan untuk mempelajari kebijakan, dan dari pengetahuan inilah kemudian timbul keberanian untuk berbicara, terkadang di luar kelaziman. Hal ini menjadikan masa-masa saya bertugas di DPR menjadi menarik dan kontroversial. Kendatipun sempat menjalani masa keanggotaan di DPR cukup lama, sampai tahun 1988, namun tiap kali pencalonan saya berada di ujung tanduk. Ada saja yang berusaha keras mencoret saya dari daftar calon. Saya baru mengetahui belakangan bahwa nasib saya sebagai politisi tidak saja terlindungi oleh dukungan ternan-ternan yang saya kenai, baik di Golkar, ABRI maupun pemerintah, tetapi ternyata karena dukungan yang didapat dari Pak Harto dalam kedudukan beliau sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar. Ceritera ini tentunya tidaklah saya dapatkan dari Pak Harto.

Saya bisa menarik kesimpulan bahwa Pak Harto mempunyai cita-cita besar menyangkut bangsa ini, mempunyai kesadaran lingkungan yang amat besar dan mempunyai persepsi realita yang prima.

Oleh karena itulah, beliau lambat laun diakui sebagai negarawan dan ahli strategi. Pengakuan ini memang lambat diberikan oleh banyak pihak, karena sebagai ahli strategi yang ulung, beliau tidak pernah membual dan berbincang panjang lebar mengenai strateginya. Bahwasanya beliau berhitung matang, seringkali diketahui belakangan dan tidak sebelumnya. Keunggulan visi dan strateginya itulah yang menyebabkan beliau sukses mengemban tugas kepresidenan selama ini. Termasuk sukses mengambil sikap yang tidak dapat diduga orang, tetapi terbukti benar oleh kejadian demi kejadian sesudah itu.

Terkadang bisa saja beliau mengambil sikap politik yang dianggap aneh dan terlalu berani, misalnya menaikkan harga BBM menjelang pemilihan umum 1982. Tetapi apa yang diduga orang ternyata meleset, Pak Harto terbukti betul. Karenanya seorang cendekiawan yang saya kenal menyatakan enggan melanjutkan kritiknya terhadap Pak Harto, bukan karena takut. “Karena terlalu sering terbukti Pak Harto akhirnya toh benar”, demikian ujarnya.

Itulah yang saya kenal mengenai Pak Harto dari jauh. Dari jarak lebih dekat, walaupun tetap tidak bisa dikatakan dekat betul, ada beberapa hal yang dapat saya kemukakan. Percakapan pertama antara saya dengan Pak Harto terjadi dalam rapat Dewan Pembina Golkar pada tahun 1983, ketika saya baru menjabat Sekretaris Jenderal DPP Golkar. Dalam kesempatan santap malam beliau mengajak saya duduk di dekatnya dan berbicara mengenai rencana penerbitan majalah Golkar Media Karya. Beliau memberikan berbagai jalan keluar agar majalah itu dapat terbit secara teratur dan berbicara dalam nada ringan tentang berbagai hal lain. Saya sendiri merasa tidak layak berada di samping beliau untuk waktu yang terlalu lama, dan setelah kurang lebih 10 menit, saya minta permisi dan pindah tempat. Saya berbesar hati karena pekerjaan yang memusingkan ternyata mendapat perhatian besar dari seseorang yang saya yakin dipenuhi oleh soal-soal lain yang jauh lebih penting.

Pola ini berulang, misalnya perhatian besar yang diberikannya ketika isteri saya sakit keras dan memerlukan pengobatan ke luar negeri. Secara langsung maupun melalui Ketua Umum Golkar, Pak Sudharmono, beliau memberikan perhatian dan bantuan. Perhatian ini masih diberikan sepenuh hati olehnya. Saya dengar memang begitulah sikap beliau terhadap orang per orang di lingkungannya.

Selama menjadi menteri, saya mendapat kesan bahwa beliau mempunyai kecenderungan mempercayai pembantunya dan memberikan keleluasaan yang besar. Yang ditekankannya adalah agar keleluasaan itu digunakan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan GBHN dan rencana-rencana pemerintah serta dengan kerjasama dan koordinasi dengan pejabat lainnya. Beliau juga adalah pendengar yang baik, tidak hanya memberi petunjuk namun juga terkadang menguji pendapat pembantunya. Dari situ dapat terjadi diskusi yang menarik. Tetapi jangan ditanya jika suatu keputusan sudah diambil. Beliau amat teguh dan sanggup bersikap keras. Sebenarnya mungkin akan juga menarik jika orang lebih berkesempatan untuk menggali pribadinya. Tetapi dalam kedudukan beliau sebagai Presiden, hanya sedikit orang yang dapat melakukannya, karena bagaimanapun juga jabatan Presiden adalah jabatan puncak yang membuat penyandangnya seakan-akan ditakdirkan untuk teguh dalam kesendiriannya.

Semoga beliau dikaruniai umur panjang, sehingga kita semua sempat lebih mengenalnya dari dekat, dan bangsa ini dapat lebih banyak lagi belajar dari seorang tokoh besar yang akan terbukti kelak mempunyai peran sejarah yang berpengaruh dalam perjalanan bangsa.

***



[1]     Sarwono Kusumaatmadja, “Kisah Keunggulan Strategi”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 423-429.

[2]     Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Kabinet Pembangunan V

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.